Bagaimana Korporasi Mendapat Cuan dari Genosida di Gaza
Pelapor Khusus PBB tentang Gaza Francesca Albanese merilis laporan daftar perusahaan yang mendukung genosida Israel di Gaza, menggambarkan bagaimana mereka beroleh laba dari situ. BlackRock, perusahaan raksasa investasi yang menjajaki kerjasama dengan Danantara, masuk di dalamnya.

Jakarta, TheStanceID – Pelapor Khusus PBB asal Italia, Francesca Albanese, merilis laporan berisi daftar perusahaan yang terlibat genosida di Gaza.
Laporan berjudul From Economy of Occupation to Economy of Genocide itu dipresentasikan pada konferensi pers di Jenewa, Swiss, Kamis 3 Juli 2025.
Yang menarik, laporan itu menyoroti genosida di Gaza dari perspektif ekonomi, yaitu bagaimana aksi pencaplokan lahan, pengusiran, dan pembantaian terhadap warga Palestina memberikan keuntungan material kepada berbagai perusahaan yang terlibat.
Albanese menggunakan istilah "ekonomi genosida" untuk menjelaskan fenomena ini. Ini juga menjelaskan mengapa genosida di Gaza terus berlangsung, yang hingga kini telah diperkirakan telah menewaskan hampir 400 ribu orang warga Palestina.
"Karena menguntungkan bagi banyak orang," kata Albanese.
Dan bukan hanya perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yang terlibat dalam genosida ini. Perusahaan negara lain seperti dari Meksiko, Cina, Korea Selatan, juga terlibat.
Albanese menegaskan berbagai perusahaan itu, termasuk para CEO dan eksekutifnya, harus bertanggung jawab karena telah mendukung genosida di Gaza.
"Terlalu banyak entitas korporasi yang telah mengambil untung dari ekonomi Israel melalui pendudukan ilegal, apartheid, dan sekarang, genosida. Keterlibatan yang terungkap dalam laporan ini hanyalah puncak gunung es. Mengakhirinya tidak akan terjadi tanpa meminta pertanggungjawaban sektor swasta, termasuk para eksekutifnya," tulis laporan tersebut.
Sebanyak 48 Perusahaan Ambil Untung dari Genosida
Bagaimana berbagai perusahaan itu mendapat untung dari genosida di Gaza? Dengan menjadi kontraktor. Berbagai perusahaan itu memasok berbagai hal yang dibutuhkan Israel agar genosida di Gaza berjalan mulus.
Hyundai, misalnya, memasok alat-alat berat yang dibutuhkan Israel untuk meratakan rumah-rumah warga Palestina. Alphabet (induk Google) menyediakan layanan komputasi awan yang digunakan militer Israel untuk mendukung aksi genosida.
Albanese menegaskan bahwa para eksekutif perusahaan itu tahu bahwa layanan dan produk mereka digunakan dalam rangka genosida di Gaza. Tapi mereka tidak peduli.
Israel membayar para kontraktor genosida itu, dan mereka mendapat untung. Karena itu laporan tersebut menegaskan bahwa para eksekutif perusahaan itu harus dimintai pertanggungawaban.
Mereka tidak lagi sekadar berdagang atau berbisnis. Mereka secara sadar telah ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Baca Juga: Indonesia Bela Palestina, Tapi Jalin Kerja Sama dengan Perusahaan Intelijen Israel
Albanese menyebut ada 48 perusahaan yang terlibat genosida di Gaza, yang dibagi ke dalam beberapa kategori:
1. Militer dan alat perang
Laporan Albanese mencatat keterlibatan perusahaan penyedia alat tempur. Pengadaan jet tempur F-35 oleh Israel adalah bagian dari program pengadaan senjata terbesar di dunia, yang mengandalkan setidaknya 1.600 perusahaan di delapan negara.
Hal ini dipimpin oleh Lockheed Martin yang berbasis di AS, tetapi komponen F-35 dibuat secara global. Pabrikan Italia Leonardo SpA terdaftar sebagai kontributor utama di sektor militer, sementara FANUC Corporation Jepang menyediakan mesin robotik.
2. Perusahaan teknologi
Microsoft, Alphabet, dan Amazon memberi Israel “akses seluruh pemerintah terhadap teknologi cloud dan AI mereka”, sehingga meningkatkan kapasitas pemrosesan data dan pengawasannya.
Perusahaan teknologi AS IBM juga bertanggung jawab untuk melatih personel militer dan intelijen, serta mengelola basis data pusat Otoritas Kependudukan, Imigrasi dan Perbatasan Israel (PIBA) yang menyimpan data biometrik warga Palestina.
Sektor teknologi telah memungkinkan pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data biometrik warga Palestina oleh pemerintah, “mendukung rezim izin diskriminatif Israel”, kata laporan itu.
3. Perusahaan bangunan hingga mesin
Heidelberg, perusahaan semen asal Jerman berkontribusi dalam memasok bahan bangunan di kawasan pemukiman ilegal. Di Indonesia, mereka menjalin kerjasama strategis dengan Grup Salim.
Perusahaan ini menjadi pemegang saham mayoritas PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dengan kepemilikan sebesar 51%, dan menjual produknya dengan merek Semen Tiga Roda.
Perusahaan Caterpillar, Rada Electronic Industries milik Leonardo, HD Hyundai dari Korea Selatan, dan Volvo Group dari Swedia, berkontribusi dengan menyediakan alat berat untuk pembongkaran rumah dan pembangunan pemukiman ilegal di Tepi Barat.
"Sejak tahun 2000, mesin Volvo telah digunakan untuk menghancurkan wilayah Palestina, termasuk di Yerusalem timur dan Masafer Yatta. Selama lebih dari satu dekade, mesin HD Hyundai telah digunakan untuk menghancurkan rumah-rumah Palestina dan menghancurkan lahan pertanian, termasuk perkebunan zaitun," terang laporan tersebut.
4. Perusahaan listrik dan gas
Laporan tersebut menyebutkan Perusahaan Drummond Amerika dan Glencore Swiss sebagai pemasok utama batu bara untuk listrik ke Israel, yang sebagian besar berasal dari Kolombia.
Tidak ketinggalan BP (British Petroleum) dan Chevron juga merupakan kontributor terbesar impor minyak mentah Israel. Di Indonesia BP mengoperasikan 51 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
5. Agribisnis
Di sektor pertanian, Chinese Bright Dairy & Food Co. Ltd mempunyai mayoritas saham di Tnuva, konglomerat makanan terbesar di Israel. Perusahaan asal China ini telah mendorong dan mendapatkan keuntungan dari perampasan tanah.
6. Pariwisata
Booking dan Airbnb juga terus mendapatkan keuntungan dari persewaan di tanah yang diduduki Israel.
Airbnb misalnya menyewakan properti warga Palestina yang dirampas secara ilegal oleh Israel untuk turisme, lalu mendonasikan keuntungan dari penyewaan properti tersebut untuk tujuan kemanusiaan, sebuah praktik yang disebut dalam laporan tersebut sebagai “pencucian kemanusiaan”.
7. Perbankan dan Investasi
Obligasi negara juga memainkan peran penting dalam mendanai perang yang sedang berlangsung di Gaza.
Beberapa bank terbesar di dunia, termasuk BNP Paribas di Perancis dan Barclays di Inggris, tercatat telah mengambil langkah untuk mengizinkan Israel menahan premi suku bunga meskipun ada penurunan peringkat kredit.
BlackRock, manajer aset terbesar di dunia, terdaftar sebagai investor di sejumlah perusahaan yang menurut PBB memungkinkan dan mendapat untung dari genosida di Gaza.
Perusahaan itu merupakan institusi terbesar kedua di Palantir (8,6%), Microsoft (7,8%), Amazon (6,6%), Alphabet (6,6%) dan IBM (8,6%); dan yang terbesar ketiga di Lockheed Martin (7,2%) dan Caterpillar (7,5%).
Sedangkan Vanguard, manajer aset terbesar kedua di dunia, adalah investor institusi terbesar di Caterpillar (9,8%), Chevron (8,9%) dan Palantir (9,1%), dan yang terbesar kedua di Lockheed Martin (9,2%) dan produsen senjata Israel Elbit Systems (2%).
Danantara Jajaki Kerjasama dengan BlackRock
Terkait BlackRock, perusahaan investasi ini pernah disambangi Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Roeslani guna menjajaki kerjasama.
Dalam unggahan di akun instagram Rosan Roeslani pada 14 Mei 2025 lalu, dia menyatakan bahwa badan pengelola dana BUMN nasional itu sedang menjajaki kerja sama dengan BlackRock.
“Danantara dan BlackRock menjajaki kemitraan strategis untuk mendorong investasi berkelanjutan. Di New York, Selasa ini, saya bertemu para Senior Managing Director BlackRock, Mr. Adebayo Ogunlesi, Mr. Rajeev Rao, dan Mr. Charles Hatami,” tulis Roslan.
Rencana kerjasama ini pun dikritik.
Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) mempertanyakan rencana itu karena BlackRock pernah mendapat kecaman dari lembaga internasional atas keterlibatan dalam investasi sektor pertahanan yang memasok senjata ke Israel.
Menurut INDEF, langkah itu juga secara langsung berlawanan dengan komitmen publik Indonesia terhadap dukungan kemerdekaan Palestina.
Tercatat, pada 2025, BlackRock memiliki 7,4% saham di Lockheed Martin. Bahkan, CEO perusahaan itu baru-baru ini mengakui bahwa perang di Ukraina dan Gaza adalah pendorong pendapatan utama mereka.
Perang Gaza Jadi Ladang Keuntungan
Masih mengutip laporan tersebut, ekspansi Israel di tanah Palestina itu adalah contoh dari "kapitalisme rasial kolonial", di mana entitas korporasi mendapat untung dari pendudukan ilegal.
Bagi produsen senjata, perang telah menjadi usaha yang menguntungkan. Pengeluaran militer Israel dari 2023 hingga 2024 melonjak 65%, menjadi US$46,5 miliar (sekitar Rp755 triliun), menjadi salah satu yang tertinggi per kapita di seluruh dunia.
Laba beberapa entitas yang terdaftar di bursa saham, khususnya di sektor persenjataan, teknologi, dan infrastruktur, meroket sejak Oktober 2023. Indeks saham Tel Aviv juga mengalami kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya sebesar 179%, sehingga menambah nilai pasar sebesar US$157,9 miliar.
Perusahaan asuransi global, termasuk Allianz dan AXA, menginvestasikan sejumlah besar saham dan obligasi yang terkait dengan pendudukan Israel.
AS Minta Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese Dipecat
AS dan Israel berang atas laporan tersebut.
Menanggapi laporan tersebut, Amerika Serikat mengajukan permintaan resmi kepada PBB agar Francesca Albanese dipecat dari posisinya sebagai Pelapor Khusus PPB atas Situasi di Palestina.
Dia juga dituding 'teroris', 'pro-Hamas', dan menurut pihak AS, tidak memiliki izin untuk berpraktik sebagai pengacara.
Namun Albanese tidak gentar.
Dia menyerukan kepada negara-negara anggota PBB untuk menjatuhkan sanksi embargo senjata kepada Israel, dan menangguhkan semua perjanjian perdagangan kepada individu atau entitas yang membahayakan warga Palestina.
Dia juga menuntut Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyelidiki dan menuntut para eksekutif dan entitas perusahaan atas "peran mereka dalam melakukan kejahatan internasional dan pencucian uang dari hasil kejahatan tersebut".
Albanese menegaskan, perusahaan swasta tak bisa lepas dari kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia, meskipun negara tempat mereka gagal menegakkan hukum tersebut.
"Entitas korporat punya tanggung jawab untuk menilai dampak aktivitas dan hubungan bisnis mereka terhadap potensi pelanggaran HAM," tulis laporan tersebut. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.