APBN Makin Boros, Penghasilan Anggota DPR Naik hingga Rp100 Juta per Bulan
Anggota DPR RI kini tidak mendapat rumah dinas. Sebagai gantinya, mereka mendapat tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan, Ini membuat take home pay mereka menjadi sekitar Rp100 juta per bulan. ICW menghitung pemborosan anggaran karena tunjangan rumah ini mencapai Rp1,74 triliun.

Jakarta, TheStanceID – Kabar kenaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencapai angka Rp100 juta per bulan ramai jadi perbincangan publik.
Besaran gaji yang diterima anggota DPR ini terungkap pertama kali ketika anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menanggapi pertanyaan wartawan mengenai sulitnya mencari uang yang halal di parlemen.
Sebelumnya, dalam sebuah forum diskusi dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 11 Agustus 2025 lalu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, mengeluarkan pernyataan mengejutkan: dia mengaku sulit memperoleh uang halal selama menjabat anggota parlemen.
“Sulit mendapatkan uang halal ketika menjadi politikus atau anggota DPR RI,” ujar Arse, yang kini menjalani periode keduanya sebagai legislator dari Partai Golkar.
Seolah ingin membantah pernyataan Arse, Hasanuddin kemudian membuka penghasilan resmi yang diterimanya melalui gaji pokok, tunjangan rumah, dan tunjangan lainnya yang jumlahnya melebihi Rp100 juta.
"Kami ini hanya menerima. Buat saya diberi berapapun saya bersyukur," ujar Hasanuddin.
Berdasarkan penelusuran TheStanceID, angka dari Rp100 juta ini lebih besar dua kali lipat dibandingkan penghasilan anggota DPR 2019-2024.
Di periode lalu, jika seluruh komponen gaji dan tunjangan anggota DPR digabung, maka penghasilan seorang anggota DPR sekitar Rp50 juta per bulan.
Sebagai contoh, seorang anggota DPR RI yang tidak menjabat Ketua atau Wakil Ketua dan memiliki seorang istri serta dua anak, maka akan memperoleh pendapatan Rp54.310.173 setiap bulannya.
Anggota DPR Mendapat Tunjangan Perumahan Rp50 juta Per Bulan
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menyatakan perbedaan penerimaan anggota DPR periode lalu dengan saat ini karena adanya tambahan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas.
Indra menambahkan, besaran tunjangan perumahan Rp50 juta itu didapat dari hasil pembahasan dengan Kementerian Keuangan.
"Nilai itu ditetapkan berdasarkan kajian dengan salah satu benchmark-nya yaitu tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Jakarta," kata Indra dalam keterangannya, Senin (18/8/2025).
Kebijakan tunjangan rumah ini dicantumkan di surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024.
"Salah itu kalau gaji Rp100 juta. Cek saja ke Kemenkeu. Kalau tunjangan perumahan itu beda dengan gaji," katanya.
Indra menjelaskan, tunjangan anggota DPR masih berlandaskan Surat Edaran (SE) Setjen DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010.
Selain itu, gaji pokok anggota DPR masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Dan Anggota Lembaga Tinggi Negara Serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara.
Dengan demikian, kata Indra, gaji anggota DPR tidak mencapai setengah dari Rp100 juta, seperti yang diberitakan.
"Iya, di luar tunjangan perumahan itu enggak sampai setengahnya," imbuh Indra.
Alasan Pemberian Tunjangan Perumahan
Lebih lanjut, Indra Iskandar, mengatakan dengan tunjangan perumahan ini, anggota DPR periode 2024-2029 tidak lagi menempati Rumah Jabatan Anggota (RJA) di Kalibata, Jakarta Selatan maupun rumah dinas di Pos Pengumben, Ulujami, Jakarta Barat.
Ia menyebut, kondisi fisik rumah dinas terutama di Kalibata, secara umum sudah tidak layak untuk dipertahankan. Selain itu, biaya pemeliharaan rumah dinas juga cukup besar. Masalah ini kerap dikeluhkan anggota DPR.
"Karena biaya pemeliharaan selama ini tidak sepadan, kami banyak menerima keluhan dari anggota DPR RI terkait dengan bangunan yang sudah berusia tua dan sering mengalami kerusakan yang cukup parah. Terutama bocoran dan air hujan dari sungai yang melintasi tengah-tengah perumahan juga," jelas Indra.
Sebagai informasi, rumah dinas yang berlokasi di Kalibata itu dibangun sejak tahun 1988 dan sudah berusia hampir 40 tahun.
Lantas, mengapa tidak memlilih dilakukan renovasi?
Indra berdalih, berdasarkan kalkulasi mereka, jika rumah dinas anggota DPR di Kalibata dibenahi, akan memakan biaya sangat besar. Hanya, berapa taksiran biaya perbaikan, Indra tidak menyebutkan.
"Terkait efisiensi anggaran, yang dilakukan Sekretariat Jenderal DPR RI adalah justru dalam rangka mempertimbangkan efisiensi dan fleksibilitas anggaran. Kami menilai bahwa untuk melakukan revitalisasi RJA secara menyeluruh dibutuhkan anggaran yang sangat besar," jelasnya.
Anggaran dari Kementerian Keuangan pun, menurutnya, terbilang kecil dan tidak cukup untuk memelihara segala keperluan seperti bangunan fisik, lingkungan, saluran air, jaringan listrik, dan lain-lain.
"Biaya pemeliharaan rutin juga dianggap tidak lagi seimbang dengan manfaat yang didapat," tambahnya.
Selain itu, keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN) juga menjadi pertimbangan karena Anggota DPR rencananya akan dipindahkan ke IKN, jika sarana dan prasarana di sana sudah rampung.
Sebagai catatan, wacana mengganti fasilitas rumah dinas anggota DPR dengan uang kompensasi sebenarnya sudah bergulir sejak 2018.
Alasannya pun sama, biaya perawatan rumah dinas semakin tinggi, dan rumah dinilai tidak layak huni.
Lalu, bagaimana nasib rumah dinas anggota DPR yang sudah tidak dihuni?
Rencana Kompleks DPR Kalibata Jadi Rumah Dinas Menteri
Sekjen DPR RI Indra Iskandar memastikan rumah jabatan anggota DPR sudah diserahkan kepada negara melalui Kemensetneg.
"Mekanisme penyerahan rumah jabatan Kalibata masih terus dikoordinasikan dengan Kemenkeu dan juga Setneg. Dan mulai tahun 2025 Setjen DPR tidak lagi menganggarkan apa pun untuk pemeliharaan Kalibata," ujar Indra.
Terkait penggunaan rumah dinas itu ke depannya, Indra meminta untuk menanyakan langsung pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, menyebut aset negara Kompleks DPR di Kalibata, Jakarta Selatan akan digunakan untuk rumah dinas Menteri, Wakil Menteri, hingga digunakan untuk membangun proyek 3 juta rumah.
Juri menjelaskan di Kompleks DPR ada dua bagian kawasan. Pertama kawasan Blok A hingga E yang aset tanahnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan dan aset bangunannya milik Kemensetneg. Sementara itu, kawasan yang kedua adalah Blok F yang bangunan dan tanahnya murni milik Kemensetneg.
Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto sudah sepakat untuk kawasan Kompleks DPR dari Blok A hingga E akan digunakan untuk rumah dinas menteri dan wakil menteri yang belum mendapatkan rumah dinas sebelumnya.
"Itu sudah disepakati dan mendapat arahan presiden bahwa untuk Blok A-E akan menjadi rumah dinas menteri yang belum mendapat rumah dinas di Widya Chandra maupun di tempat lain, dan wakil menteri," beber Juri dalam rapat kerja dengan Komisi XIII DPR, Kamis (17/7/2025).
Sedangkan untuk kawasan Blok F di Kompleks DPR Kalibata bakal digunakan untuk membangun rumah masyarakat sesuai dengan proyek 3 juta rumah yang dibesut Prabowo.
"Sementara untuk F kami akan manfaatkan untuk membangun rumah untuk masyarakat MBR, jadi untuk mendukung program pembangunan 3 juta rumah," kata Juri.
Meski demikian, belum diketahui, kapan proyek pembangunan bekas komplek anggota DPR tersebut.
Beragam Cara Anggota DPR Manfaatkan Tunjangan Perumahan
Tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR bersifat lump sump atau dibayarkan sekaligus.
Artinya, sekretariat parlemen tidak membutuhkan pertanggungjawaban secara detail dari legislator terkait penggunaan tunjangan perumahan tersebut.
Sejumlah anggota DPR memanfaatkan tunjangan perumahan itu dengan cara yang berbeda.
Anggota Komisi I DPR, Oleh Soleh menjelaskan uang tunjangan perumahan itu ia pakai untuk menyewa rumah di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.
Ia sengaja memilih lokasi rumah yang tidak berada di pusat kota Jakarta. Sebab, menurut dia, nominal Rp50 juta untuk sewa rumah di Jakarta hanya cukup untuk kelas standar.
"Kalau di wilayah di segitiga emas misalnya, pasti mahal. Kalau di pinggiran Jakarta tentu agak murah," ujar politisi PKB tersebut.
Menurutnya, tunjangan perumahan Rp50 juta itu sangat bermanfaat terutama untuk legislator yang berasal dari daerah pemilihan di luar Jakarta.
Sementara, anggota Komisi VII DPR asal Fraksi PKS, Tifatul Sembiring mengaku tidak memanfaatkan tunjangan perumahan senilai Rp50 juta itu untuk menyewa rumah.
Uang itu, kata Tifatul, dimanfaatkannya untuk menyewa hotel yang dekat dari gedung Parlemen Senayan bila ada kegiatan pagi.
"Kalau agenda harus hadir pagi-pagi, kami menyewa hotel yang terdekat ke kantor," katanya.
Dia memilih tidak menyewa rumah di kawasan Jakarta dengan tunjangan perumahan tersebut, karena keluarganya tinggal di Depok, Jawa Barat.
Berpotensi Menguras Anggaran Hingga Rp1,74 triliun
Nominal Rp50 juta per bulan untuk biaya sewa rumah para anggota DPR dinilai berlebihan oleh sejumlah pengamat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan ICW menghitung pemborosan anggaran karena tunjangan rumah ini selama periode 2024-2029 mencapai Rp1,74 triliun dengan asumsi Rp50 juta dikalikan masa jabatan 60 bulan untuk 580 anggota DPR.
lronisnya, pemerintah saat ini mengeklaim tengah melakukan efisiensi anggaran yang berdampak pada pemotongan dana berbagai instansi dan pelayanan publik.
Ia menilai, seharusnya DPR perlu mempertimbangkan aspek etika publik dalam mengambil kebijakan ini.
"Apakah patut mengeluarkan anggaran sedemikian besarnya sampai triliunan rupiah selama 60 bulan?" kata Egi dalam keterangannya, Senin (18/8/2025).
Apalagi saat ini, banyak persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat.
Kenaikan harga beras, PPN, PBB, serta lonjakan PHK yang meningkat 32,19% dalam semester I 2025 semakin menegaskan ketidakpekaan anggaran sebesar itu bagi DPR.
“Ketika warga kesulitan memenuhi kebutuhan pokok dan pajak justru naik, pemberian tunjangan rumah sebesar ini tidak patut,” katanya.
ICW berpandangan surat Setjen DPR terkait tunjangan rumah yang dikeluarkan akhir tahun lalu itu harus dibatalkan, karena tidak patut di tengah masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat.
Apalagi, sebelum ada tunjangan perumahan, tunjangan yang diterima DPR sudah cukup besar.
Mulai dari tunjangan melekat anggota DPR, tunjangan lain anggota DPR yang jika dijumlahkan semua, maka seorang anggota DPR dapat membawa pulang uang setidaknya sebesar Rp54.051.903 per bulan di luar tunjangan rumah, uang perjalanan dinas, dan dana ke daerah pemilihan yang dulu dikenal dengan dana aspirasi.
"Sayangnya, gaji dan tunjangan ini pun tak sebanding dengan kinerja para anggota dewan tersebut," kata Egi.
Tunjangan Fantastis DPR Tak Sebanding dengan Kinerja
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai tunjangan fantastis anggota DPR ini tidak sebanding dengan kinerja rendah DPR.
Ini tercermin dari survei Indikator Politik Indonesia pada Januari 2025, di mana tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69% atau berada di peringkat 10 dari 11 lembaga negara. Posisi terendah dihuni partai politik, dengan 62%.
"DPR memang paling kreatif untuk menemukan jenis tunjangan baru yang dibebankan kepada negara. Tunjangan reses, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan kunjungan kerja. Sekarang, tunjangan perumahan," kata Lucius.
Keberadaan tunjangan rumah dengan anggaran Rp50 juta per bulan dinilainya tak masuk akal. Apalagi jika dalihnya agar bisa menyewa tempat tinggal di sekitar Gedung DPR.
Alasan ini, kata Lucius, bisa dipersoalkan karena kehadiran anggota DPR dalam rapat juga tak pernah maksimal. Akibatnya pembahasan RUU juga cenderung terkendala.
"Ada banyak sekali jenis tunjangan yang diterima anggota sampai mereka sendiri lupa mengingat satu per satu. Jadi, tunjangan-tunjangan ini seperti strategi untuk menambah pendapatan saja. Karena kalau mengandalkan gaji sangat kecil," kata Lucius. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.