Jakarta, TheStance – Cuaca ekstrem pada Senin (24/112025) dan Selasa (25/11/2025) menyebabkan bencana di empat kabupaten di Sumatera Utara, meliputi Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan.
Hujan deras selama lebih dari dua hari memicu banjir bandang dan tanah longsor di daerah tersebut.
Laporan Polda Sumatera Utara pada 27 November 2025 menyebut setidaknya lebih dari 40 orang meninggal dunia. Ribuan rumah terdampak banjir dan hampir 3000 orang terpaksa mengungsi.
Data ini masih mungkin bertambah karena evakuasi dan pencarian korban masih terus dilakukan. Belum lagi mereka yang masih terjebak di dalam hutan karena terkepung banjir dan tanah longsor.
Banjir yang melanda wilayah Tapanuli dan sekitarnya ini bukan merupakan kejadian baru di Sumatera Utara.
Dalam lima tahun terakhir, sejumlah wilayah seperti Deli Serdang, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, hingga Nias, berulang kali mengalami banjir dan longsor yang memakan korban jiwa.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa cuaca ekstrem yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara dalam beberapa hari terakhir merupakan dampak langsung dari Siklon Tropis Senyar, yang sebelumnya dikenal sebagai Bibit Siklon Tropis 95B.
Bibit Siklon Terbentuk Pertengahan November

Kepala BBMKG Wilayah I Medan, Hendro Nugroho, menjelaskan bibit siklon tersebut mulai berkembang sejak 21 November 2025 di perairan timur Aceh, tepatnya di Selat Malaka.
"Dampaknya dalam satu minggu terakhir wilayah Sumatera Utara dilanda hujan setiap hari," kata Hendro dalam keterangannya, Rabu (26/11/2025).
Siklon Tropis Senyar memicu peningkatan intensitas hujan, angin kencang serta gelombang tinggi, terutama di wilayah Pantai Barat Sumatera Utara.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi BNPB, Abdul Muhari mengatakan hujan masih turun secara berkelanjutan di wilayah Sumatera Utara. Akibatnya, risiko banjir dan longsor susulan masih tinggi.
Hingga saat ini tak ada aliran listrik dan jaringan telekomunikasi di Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Utara.
Wilayah Sibolga Tapteng dilaporkan juga masih terisolir karena dampak banjir dan longsor. Tim evakuasi yang dikerahkan melalui jalur laut pun, kata Abdul, terhadang cuaca ekstrem dan gelombang tinggi.
"Dari laporan visual, banjir mengalir cukup deras dan menghantam rumah, menyeret kendaraan hingga infrastruktur lain," kata Abdul Muhari.
Risiko Banjir dan Longsor Susulan Masih Tinggi

Di Kabupaten Tapanuli Selatan, bencana banjir dan tanah longsor menyebabkan delapan warga meninggal dunia, 58 luka-luka dan 2.851 warga terpaksa mengungsi.
Ada 11 kecamatan yang terdampak bencana banjir dan longsor, yakni: Sipirok, Marancar, Batangtoru, Angkola Barat, Muara Batangtoru, Angkola Sangkunur, Angkola Selatan, Sayur Matinggi, Batang Angkola, Tanah Timbangan dan Angkola Muaratais.
Di Kabupaten Tapanuli Utara tercatat 50 unit rumah terdampak dan dua jembatan putus akibat banjir serta tanah longsor.
Sedangkan di Tapanuli Tengah dilaporkan sebanyak 1.902 unit rumah terdampak banjir di sembilan kecamatan, antara lain kecamatan Pandan, Sarudik, Badiri, Kolang, Tukka, Lumut, Barus, Sorkam dan Pinangsori.
Bahkan, di media sosial, viral video di mana 50 orang warga dilaporkan terjebak di hutan di Kelurahan Hutanabolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah. Ada warga lanjut usia (lansia) hingga bayi yang ikut terjebak.
Video itu merupakan komunikasi terakhir antara pengungsi dari hutan di Hutanabolon ke salah satu pihak keluarga.
Mereka berada di hutan setelah lari dari Gereja BNKP Hutanabolon, tempat pengungsian yang mereka tempati sejak 22 November, untuk menyelamatkan diri dari terjangan longsor dan banjir.
Dalam video tersebut, para pengungsi tampak basah kuyup akibat hujan deras. Mereka sempat berseru "Pak Bupati tolong kami di sini. Kiri-kanan sudah longsor. Tidak ada lagi jalan keluar, Pak Bupati."
Sampai artikel ini ditulis, evakuasi masih terus dilakukan oleh BNPB, tapi terhambat karena jalur transportasi yang terputus.
Rusaknya Ekosistem di Wilayah Hulu

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara (Sumut) menilai, penyebab banjir bandang dan tanah longsor di Sibolga dan Tapanuli tidak bisa dilepaskan dari campur tangan manusia.
Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut, Jaka Kelana Damanik, menolak anggapan bahwa bencana tersebut disebabkan hujan secara terus-menerus. Keterlibatan manusia juga ada.
Salah satu indikatornya adalah saat banjir terjadi, banyak kayu terbawa arus. Citra satelit juga menunjukkan hutan sekitar lokasi bencana sudah gundul.
Walhi Sumut meyakini, bencana banjir bandang dikarenakan dampak rusaknya ekosistem di wilayah hulu. Wilayah hulu sudah tidak mampu lagi menahan laju hujan dengan intensitas tinggi hingga terjadi banjir bandang.
Selain itu, berdasarkan kajian risiko bencana nasional 2022–2026, wilayah yang saat ini terdampak bencana masuk kategori risiko tinggi banjir bandang dan tanah longsor.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Utara, Rianda Purba, menjelasan, kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan yang berada di hulu kondisinya saat ini berimpitan dengan area penambangan dan area perkebunan.
Belum lagi pembangunan PLTA di daerah aliran sungai (DAS), yang menurut Walhi Sumut turut berperan menyebabkan bencana.
Aktivitas penambangan, perkebunan dan pembangunan PLTA ini mengubah daerah aliran sungai (DAS). Selain itu, penebangan hutan di sekeliling wilayah terdampak banjir bandang ini juga sangat tinggi.
Dampaknya saat hujan deras, aliran sungai Batang Toru makin tidak terbendung.
Aktivitas Penambangan dan Pembangunan PLTA di Batang Toru

Kerusakan hutan itu disinyalir akibat penebangan kayu yang masif dan pertambangan emas yang dioperasikan PT Agincourt Resources.
Hal itu terlihat dalam sejumlah video yang viral yang memperlihatkan batang-batang pohon hanyut bersama terjangan banjir bandang.
"Yang meluap itu Sungai Batang Toru. Di hulunya ada tiga sumber aliran air yang tutupan hutannya sebagian sudah hilang," kata Rianda. "Kami duga keras ini penyebab utama dari banjir saat ini," tambahnya.
Walhi Sumut menuding PT Agincourt Resources bertanggung jawab atas deforestasi di Batang Toru. Perusahaan ini memegang konsesi 30 tahun tambang Martabe seluas 130.253 hektare yang diterbitkan pemerintah pada 1997.
PT Agincourt Resources adalah anak usaha PT Danusa Tambang Nusantara, yang mayoritas sahamnya dipegang oleh PT United Tractors Tbk, anak usaha dari PT Astra International Tbk yang dikenal dengan kampanye Satu Indonesia.
Baca Juga: Jembatan Gantung Situ Gunung: Bukti Pariwisata Bisa Selaras dengan Alam
Untuk itu, WALHI Sumut menegaskan bahwa pemerintah harus segera menghentikan perluasan eksploitasi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di ekosistem Batang Toru, khususnya PT AR.
Sebab selama para pelaku perusakan hutan masih dilindungi oleh izin negara, bencana ekologis akan terus berulang. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance