Jakarta, TheStance – Koalisi masyarakat sipil meminta Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status darurat bencana nasional di 3 provinsi Sumatra yakni Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar).
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu (30/11/2025), korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor yang menerjang Sumut, Sumbar dan Aceh bertambah menjadi total 442 orang.
Selain itu, sebanyak 402 orang dinyatakan masih hilang. BNPB juga menyatakan setidaknya 290 ribu orang mengungsi akibat bencana yang terjadi di 46 kabupaten dan kota itu, serta setidaknya 2.800 rumah rusak, baik ringan, sedang, maupun berat.
"Kami mendesak Presiden RI untuk segera menetapkan status darurat bencana nasional atas bencana banjir besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat," kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian dalam keterangannya di Banda Aceh, Minggu (30/11/2025).
Pemda Kewalahan, Warga Kelaparan Jarah Minimarket

Alfian menjelaskan banjir besar dan longsor yang terjadi tiga provinsi tersebut telah menimbulkan dampak luar biasa, korban jiwa, kerusakan infrastruktur, kerugian harta benda, hingga lumpuhnya ekonomi dan sosial masyarakat.
Hingga kini ribuan warga masih terisolasi, puluhan ribu rumah terendam, dan berbagai fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jembatan, dan jalan nasional, baik yang menghubungkan antar-provinsi maupun antar-kabupaten/kota rusak berat.
"Di sejumlah wilayah, akses transportasi terputus total sehingga bantuan logistik tidak dapat disalurkan," ujarnya.
Situasi ini, semakin diperburuk oleh kelangkaan sembako yang menyebabkan masyarakat kelaparan, serta padamnya pasokan listrik dan lumpuhnya jaringan komunikasi, sehingga membuat penanganan darurat semakin terhambat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Irvan Saputra, mencontohkan insiden penjarahan ke gudang Bulog dan minimarket di Sibolga, Sumatra Utara, beberapa waktu lalu.
Insiden itu, kata Irvan, terjadi karena warga kehilangan harta benda mereka sehingga tidak bisa membeli bahan pokok. Sementara di sisi lain, pemerintah daerah sudah kewalahan menyediakan bahan makanan.
"Indikator penetapan bencana nasional itu sebenarnya sudah terpenuhi," kata Irvan dalam keterangan pers bersama perwakilan masyarakat sipil di daerah-daerah terdampak seperti Aceh dan Sumbar pada Minggu (30/11/2025).
"Status bencana nasional itu sudah prioritas. Ini akan berdampak terhadap korban yang sangat membutuhkan bantuan." tambahnya.
Memiliki Landasan Hukum yang Kuat

Anggota Koalisi yang juga Advokat LBH Banda Aceh, Rahmad Maulidin menjelaskan penetapan status darurat bencana nasional ini memiliki landasan hukum yang kuat.
Ada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Lalu, PP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Keadaan Tertentu, dan pedoman-pedoman lain terkait penetapan status keadaan darurat bencana.
Dalam aturan terdapat beberapa indikator penetapan darurat bencana nasional, yaitu jumlah korban jiwa atau pengungsi dalam skala besar, kerugian material yang signifikan, cakupan wilayah terdampak, dan terganggunya fungsi pelayanan publik.
Selain indikator itu, status darurat bencana nasional juga bisa ditetapkan jika provinsi terdampak tak mampu lagi memobilisasi sumber daya manusia dan logistik penanganan bencana, termasuk evakuasi, penyelamatan, dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Sebelumnya, Pemda Aceh mengaku kewalahan, bahkan "angkat tangan" dalam penanganan bencana. Ia merujuk pernyataan Gubernur Muzakir Manaf, Kamis (27/11/2025) yang mengaku kewalahan karena beberapa jembatan di Aceh terputus.
Ada pula pernyataan Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky pada Minggu (30/11/2025) yang menyebut "dua hari dua malam rakyat kami tidak makan."
Penting untuk Fase Pemulihan
Sementara itu, Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi menilai tak hanya dalam penanganan bencana, penetapan status bencana nasional itu juga penting dalam fase pemulihan bencana.
Menurutnya, dengan masifnya kerusakan infrastruktur, pemerintah daerah diperkirakan bakal kewalahan di tengah anggaran yang terbatas karena efisiensi.
"Jadi, kenapa enggak ditetapkan bencana nasional, sehingga bisa diakomodisasi pemerintah pusat," ujar Diki. "Pemulihan korban, perbaikan infrastruktur itu titik krusial. Siapa yang bisa bertanggung jawab?.
Sebelumnya, desakan agar pemerintah pusat menetapkan banjir dan longsor di Sumatra ditetapkan sebagai darurat bencana nasional juga disuarakan sejumlah anggota DPR dari Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
Salah satunya, Anggota DPR Fraksi PKS yang berasal dari daerah pemilihan Aceh, Nasir Djamil.
Menurutnya kondisi warga di wilayahnya kini kian memprihatinkan. Banjir telah menyebabkan banyak keluarga terjebak, akses darat terputus, dan distribusi bantuan belum mampu menjangkau seluruh titik terdampak.
"Jika tidak segera ditetapkan sebagai bencana nasional, saya khawatir jumlah korban akan terus bertambah. Dengan kerendahan hati, saya meminta dan mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan status tersebut," ujar Nasir dalam keterangannya, Jumat (28/11/2025).
Perbedaan Penanganan Bencana Nasional dan Bencana Daerah

Pemerintah Indonesia memiliki mekanisme khusus dalam menentukan penanganan bencana berdasarkan tingkat dampak dan kewenangan wilayah.
Berdasarkan catatan TheStance, perbedaan klasifikasi antara bencana nasional dan bencana provinsi menjadi kunci dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab, bagaimana sumber daya digerakkan, dan sejauh mana pemerintah pusat terlibat.
Presiden berwenang menetapkan status bencana nasional ketika sebuah bencana memiliki dampak sangat luas. Kriteria utamanya meliputi gangguan lintas batas antarprovinsi, terganggunya layanan publik strategis, dan ancaman stabilitas nasional.
Dalam situasi ini, penanganan dikoordinasikan langsung oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dengan dukungan penuh dari kementerian terkait, TNI, Polri, hingga optimalisasi sumber daya nasional.
Status ini memungkinkan mobilisasi personel dan logistik dalam skala besar, serta akses anggaran yang lebih luas untuk memastikan pemulihan berjalan cepat dan efektif.
Jika dampak bencana meluas di 1 provinsi, Gubernur menetapkannya sebagai bencana provinsi, yang ditangani pemerintah kabupaten dan kota terdampak di bawah koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi.
Pendanaan dan logistik umumnya bersumber dari anggaran daerah, dan skala mobilisasi disesuaikan dengan kemampuan provinsi tersebut. Pemerintah pusat tetap mendukung bila diperlukan, tetapi tidak mengambil alih penanganan secara penuh.
Perbedaan status ini otomatis berdampak pada sejumlah aspek, mulai dari tingkat pengerahan personel, cakupan distribusi logistik, penggunaan anggaran, hingga tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
Dengan klasifikasi ini, pemerintah memastikan penanganan bencana yang cepat, tepat, dan proporsional sesuai skala kerusakan.
Diklaim Masih Terkendali, Tak Seperti Info di Sosmed
Hingga artikel ini disusun, pemerintah belum menetapkan banjir bandang dan longsor di tiga provinsi di Sumatra sebagai bencana nasional.
Saat dikonfirmasi perihal potensi penetapan status bencana nasional, Presiden Prabowo pada Jumat (28/11) malam hanya mengatakan, "Kita terus monitor, kita kirim bantuan terus. Nanti kita menilai kondisinya."
Pada Senin (1/12/2025) pagi, Presiden Prabowo terbang dari Jakarta menuju Sumatra guna meninjau lokasi banjir dan longsor yang terjadi di tiga wilayah provinsi di pulau Sumatra, Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar).
Pada kunjungan itu, Prabowo diagendakan meninjau langsung kondisi lapangan termasuk situasi di titik-titik yang mengalami kerusakan serta gangguan layanan dasar.
Ia juga akan melihat langsung apakah langkah-langkah darurat telah dilaksanakan sesuai standar penanganan bencana yang cepat, tepat dan terkoordinasi.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Suharyanto mengatakan skala dan karakteristik bencana Sumatera belum memenuhi kriteria yang pernah digunakan pemerintah dalam penetapan status bencana nasional.
“Yang dimaksud dengan status bencana nasional yang pernah ditetapkan oleh Indonesia itu kan Covid-19. Sementara bencana-bencana tsunami 2004. Hanya dua itu yang bencana nasional,” katanya dalam konferensi pers daring, Sabtu (29/11/2025).
Tetap Ditangani Tanpa Berstatus Bencana Nasional
Suharyanto pun mengingatkan, tanpa status bencana nasional, banyak bencana besar di Tanah Air yang sebelumnya tetap ditangani oleh pemerintah, seperti gempa Palu, gempa NTB, dan gempa Cianjur.
Menurutnya, penetapan status nasional ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk jumlah korban dan tingkat kesulitan akses.
“Mungkin skala korban ya, kemudian juga kesulitan akses. Rekan-rekan media bisa bandingkan saja dengan kejadian sekarang ini,” ucap dia.
Suharyanto pun mengeklaim, situasi bencana di Sumatera kini juga jauh lebih terkendali dibandingkan kesan awal yang beredar di media sosial.
“Memang kemarin kelihatannya mencekam ya, tapi begitu sampai ke sini sekarang, begitu rekan-rekan media hadir di lokasi, kemudian tidak hujan, coba di Sumatera Utara yang kemarin kelihatannya mencekam, kan sekarang yang menjadi hal yang sangat serius di Tapanuli Tengah. Yang lain kan relatif,” ujar Suharyanto.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa status bencana yang melanda Sumatera saat ini tetap berada di tingkat provinsi. Meski begitu, dia menyebut pemerintah pusat tetap terlibat penuh dalam penanganan bencana.
“Buktinya bahwa Presiden sendiri membantu besar-besaran, kemudian TNI–Polri mengerahkan alutsista besar-besaran, kami pun mengerahkan segala kekuatan ke sini,” katanya.
Perkembangan Penanganan Bencana

Dalam Rapat Koordinasi Penanganan Darurat Bencana Aceh, Sumut, dan Sumbar yang disiarkan lewat Youtube BNPB, Suharyanto mengaku masih banyak ruas jalan di Aceh yang terputus akibat banjir dan longsor.
Dia mencontohkan jalur darat dari Banda Aceh menuju Lhokseumawe di pantai timur. Kedua kota berjarak sekitar 280 kilometer. Ada pula ruas jalan antara Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Kedua wilayah ini terbentang di Bukit Barisan, sisi barat Sumatra.
"Selain itu, wilayah Aceh Tengah juga masih putus, Bener Meriah masih terisolir, Subulussalam juga masih terisolir." terang Suharyanto.
Pada Minggu (30/11/2025), BNPB telah mendistribusikan sejumlah bantuan dan peralatan penanganan bencana lewat jalur laut, mengingat terputusnya akses darat
Bantuan diberangkatkan dari Pelabuhan Ulee Lheu di Banda Aceh menuju Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang.
Di Sumatera Utara, akses darat ke beberapa kabupaten masih terputus. Di Tapanuli Utara, jalan Tarutung-Sibolga terputus di sejumlah titik dan sejumlah desa di Parmonangan dan Adiankoting tak terjangkau, dengan lebih dari 12.000 jiwa terdampak.
"Untuk Tarutung-Sibolga ini masih normalisasi. Yang bisa ditembus alat berat ini 40 kilometer," kata Suharyanto.
Baca Juga: Deforestrasi dan Tambang Penyebab Banjir Bandang Sumut
Sumatra Utara masih mencatat korban jiwa tertinggi. Sebanyak 217 orang meninggal dunia di Sumut imbas banjir dan longsor, kemudian ada 209 hilang dan 16 luka-luka.
Korban meninggal dunia ini tersebar di Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Kota Sibolga, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Barat, Kota Padang Sidempuan, Deli Serdang, dan Nias. Di Sumatera Barat, 129 orang wafat, 118 hilang, dan 16 luka-luka.
"Korban tersebar di Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, Kota Padang, Padang Pariaman, Tanah Datar, Pasaman Barat, Pasaman, Solok, Kota Solok, dan Pesisir Selatan," kata Suharyanto.
Total pengungsi mencapai 11.820 KK atau 77.918 jiwa, dengan konsentrasi terbesar di Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan.
Tim gabungan BNPB, TNI/Polri, Basarnas, kementerian/lembaga serta pemerintah daerah terus bekerja mempercepat operasi pencarian, pertolongan, logistik, dan pembukaan akses wilayah terdampak. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance