Jakarta, TheStance – Kematian Irene Sokoy (31), seorang ibu dan bayi dalam kandungannya setelah ditolak empat rumah sakit di Jayapura, Papua, viral dan disorot banyak kalangan.
Prabowo langsung memerintahkan audit dan terhadap rumah sakit sekaligus pejabat terkait yang diduga tidak memberikan pelayanan memadai.
Kasus ini menjadi cermin buruknya layanan kesehatan di Papua.
Kronologi Kematian Irene Sokoy

Irene Sokoy, yang lagi haml 6 bulan, meninggal pada Senin, 17 November 2025, setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan ke empat rumah sakit tanpa mendapatkan penanganan.
Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey, yang juga mertua almarhum, menceritakan bahwa Irene mulai merasakan kontraksi pada Minggu siang (16/11/2025). Keluarga kemudian membawanya menggunakan speedboat menuju RSUD Yowari.
Namun, kondisi Irene yang memburuk tidak segera ditangani karena dokter tidak ada di tempat dan pembuatan surat rujukan pun sangat lambat.
"Pelayanan sangat lama. Hampir jam 12 malam surat belum dibuat," kata Abraham.
Keluarga kemudian membawa Irene ke RS Dian Harapan dan RSUD Abepura, namun kembali tidak mendapat layanan.
Perjalanan dilanjutkan ke RS Bhayangkara. Namun keluarga malah diminta membayar uang muka Rp 4 juta karena kamar BPJS penuh.
Karena keluarga tidak memiliki uang sebesar itu, tidak ada tindakan medis yang dilakukan di IGD. Keluarga kemudian diarahkan untuk melanjutkan perjalanan menuju RS Dok II Jayapura, rumah sakit berikutnya yang menjadi rujukan.
Namun kondisi Irene kian memburuk di perjalanan. Ketubannya sudah pecah sejak sore dan dalam kondisi gawat janin.
Irene meninggal di dalam mobil karena pendarahan bersama janin di kandungannya sebelum tiba di RS Bhayangkara.
Total, ada empat rumah sakit yang menolak Irene, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yowari, RSUD Abepura, RS Bhayangkara, dan RS Dian Harapan.
Hasil Investigasi Kemenkes

Direktur Jenderal (Dirjen) Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan, Azhar Jaya, menjelaskan kemenkes sudah menerjunkan tim investigasi ke Papua untuk menyelidiki kronologi kematian Irene dan bayinya.
Hasilnya, tim menyimpulkan empat hal yang menjadi penyebab rumah sakit menolak Irene Sokoy.
"Yang pertama adalah kelangkaan dokter spesialis," kata Azhar saat konferensi pers di Kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Kamis (27/11/2025).
Azhar menjelaskan rumah sakit pertama yang dituju Irene tidak dapat memberikan pelayanan karena satu-satunya dokter spesialis obgyn di rumah sakit tersebut sedang cuti.
Kedua adalah sarana yang tidak optimal, seperti yang terjadi di RS Abepura.
"RS tersebut empat kamar operasinya semuanya sedang direnovasi. Jadi tidak bisa melakukan operasi," katanya.
Penyebab ketiga adalah prosedur buruk baik di lapangan, yaitu ketka RS Bhayangkara meminta keluarga Irene membayar uang muka Rp4 juta karena kamar BPJS penuh.
"Seorang pasien berada dalam keadaan darurat tidak boleh diminta administrasi atau pertanggungjawaban (biaya), harus ditolong dulu. Distabilkan, baru kita bicara soal administrasi," katanya.
Yang keempat, sistem referensi atau rujukan yang harus diperbaiki.
Kemenkes, kata Azhar, berjanji akan memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, terutama dalam menangani pasien gawat darurat agar kejadian ini tidak terulang.
Pasien Gawat Darurat Harus Dilayani Tanpa Alasan Apa Pun

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyesali kematian tragis Irene Sokoy.
"Kementerian Kesehatan dan saya pribadi mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Ibu Irene Sokoy beserta calon bayinya," kata Budi saat konferensi pers di Kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Kamis (27/11/2025).
Menurut Budi, peristiwa pilu yang dialami Irene seharusnya tidak terjadi. Terlebih lagi, Kemenkes sedang menekan angka kasus kematian ibu dan bayi.
"Kami menyesal sekali hal ini terjadi," katanya.
Budi menegaskan, pasien gawat darurat harus dilayani tanpa alasan apa pun.
"Di Undang-Undang Kesehatan yang baru, sanksinya jelas bagi pimpinan rumah sakit yang tidak melayani pasien di masa kegawatdaruratan," kata Budi.
"(Pasien) harus dilayani dan BPJS pun pasti akan membayar. Jadi tidak ada alasan tidak terlayani," tambahnya.
Budi menyebut kasus kematian seperti Iren Sokoy bukan hanya terjadi di Papua, tapi juga di kota-kota besar.
"Ini kebetulan yang masuk ke berita. Tapi daerah-daerah lain hal ini pun terjadi," katanya.
Budi berjanji akan memperbaiki tata kelola rumah sakit, khususnya rumah sakit di daerah.
Dia memastikan dalam waktu tiga bulan, Kemenkes akan kembali mengecek hasil pemeriksaan terkait tata kelola layanan rumah sakit di Papua.
"Kami akan monitor pelaksanaan dari hasil pemeriksaan ini, nanti dalam 3 bulan lagi kami akan datang ke sana," jelasnya.
Ancam Copot Direktur Rumah Sakit

Gubernur Papua, Mathius Derek Fakhiri, mengultimatum semua fasilitas kesehatan di provinsi tersebut.
Mathius mengatakan, semua fasilitas kesehatan di Papua tidak boleh menolak pasien dalam kondisi apa pun, termasuk pasien yang tidak memiliki kemampuan finansial.
Dia berjanji akan memberikan sanksi bagi fasilitas kesehatan yang menolak pasien.
"Saya pastikan rumah sakit yang di bawah pemerintahan provinsi, akan saya ganti semua direktur rumah sakitnya," kata Mathius, Jumat (21/11/2025).
Mathius mengakui kasus kematian Irene Sokoy adalah cermin bobroknya pelayanan kesehatan di Papua
"Tuhan punya cara untuk membukakan mata kami pemerintah bahwa inilah bobrok pelayanan kesehatan di Papua," kata Mathius saat mengunjungi rumah keluarga Irene di dermaga Kampung Ifar Besar, Kabupaten Jayapura, pada Jumat (21/11/2025) malam.
Angka Kematian Ibu dan Bayi di Papua Tertinggi se-Indonesia

Kematian Irene Sokoy memang menyedihkan. Tapi tragedi ini peristiwa tunggal, lebih bersifat struktrural, dan bahkan telah berlangsung lama.
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2020, Papua ternyata memiliki angka kematian ibu tertinggi di Indonesia, sebanyak 565 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu tersebut jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Bayi (AKB) di Papua juga tertinggi nasional, yaitu 38,17 per 1.000 kelahiran hidup. Padahal, AKB rata-rata nasional hanya 19 per 1.000 kelahiran hidup.
Tingginya kematian bayi berkaitan dengan sejumlah faktor, mulai dari keterbatasan layanan neonatal, minimnya tenaga kesehatan, hingga sulitnya akses transportasi bagi ibu dan bayi di daerah terpencil.
Angka-angka ini menggambarkan krisis sistemik yang tidak bisa dijawab dengan permintaan maaf semata.
Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, meminta investigasi menyeluruh terhadap rumah sakit yang terlibat.
“Rumah sakit tidak boleh menolak pasien dalam kondisi kritis, bahkan tanpa KTP sekalipun,” kata Filep dalam keterangannya (24/11/2025).
Ia menilai kematian Irene bukan insiden tunggal, melainkan puncak gunung es dari lemahnya layanan kelahiran di Papua.
Tanpa investigasi independen, sanksi tegas, serta perbaikan struktural layanan kesehatan, risiko kematian seperti yang dialami Irene akan terus menghantui para perempuan Papua lainnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance