Jakarta, TheStance – Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatra--Aceh, Sumatra Utara (Sumut) dan Sumatra Barat (Sumbar)--hingga kini masih menyisakan pilu.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban tewas per Selasa (2/12/2025) sore bertambah menjadi 712 orang, 507 orang hilang, 2.564 orang luka-luka, dengan total warga terdampak mencapai 3,3 juta jiwa.
Untuk luas cakupan, sebanyak 50 kabupaten/kota di Sumatra diterjang banjir dan tanah longsor tersebut.
Bila dilihat dari luas cakupannya, maka banjir ini sudah melampaui bencana tsunami 2004 lalu di Aceh. Sebab ketika itu tsunami hanya terutama menghantam Aceh dan Nias. Sedangkan banjir kali ini lebih luas.
Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan kerugian banjir Sumatra mencapai Rp68,67 triliun.
Berdebat Soal Penyebab

Saat ini banyak pejabat menyatakan banjr Sumatra disebabkan fenomena cuaca ekstrem Siklon Tropis Senyar. Dengan kata lain, ini salah alam, hingga tidak ada yang bertanggung jawab.
Banyak aktivis lingkungan membantah perspektif itu. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) misalnya, menyatakan banjir Sumatra tidak hanya disebabkan cuaca ekstrem semata, tapi terutama oleh masifnya alih fungsi lahan.
Catatan WALHI menyebutkan, sejak 2016 hingga 2024, ketiga provinsi tersebut kehilangan sekitar 1,4 juta hektare hutan. Sebanyak 631 perusahaan tercatat beroperasi di area hutan Sumatra.
Hutan alam Sumatra hilang, beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, pertanian lahan kering, atau hutan tanaman. Mayoritas Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatra sudah kritis dengan tutupan hutan alam di bawah 30%.
Ironisnya, banjir karena hilangnya hutan sebenarnya bukan kali pertama terjadi di Sumatra.
Mengingat Lagi Tragedi Banjir Bandang Bahorok

Salah satu tragedi terbesar terjadi 22 tahun lalu, pada 2 November 2003. Yaitu banjir bandang yang menghantam kawasan wisata Bukit Lawang di kecamatan Bahorok, kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Peristiwa itu menjadi salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah Indonesia modern yang berkaitan langsung dengan kerusakan lingkungan. Bencana itu bermula ketika hujan turun berhari-hari di Langkat Hulu.
Intensitas hujan yang tinggi bertepatan dengan bulan Ramadan. Sebagian besar warga Bukit Lawang sedang melaksanakan salat tarawih di masjid dan mushola ketika tragedi terjadi.
Mendadak suara gemuruh dari perbukitan terdengar menuruni aliran Sungai Bahorok. Warga pun panik. Tidak lama, air beserta lumpur, pasir, batu, dan kayu gelondongan datang menghantam.
Bangunan di sepanjang sungai Bahorok seketika hancur diterjang air bah dan disodok kayu-kayu gelondongan berukuran besar.
Berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia di majalah Intip Hutan edisi Juni 2024, hanya dalam waktu setengah jam sekitar 300 orang tewas. Sedangkan 400 bangunan hancur.
Tragedi itu jadi sorotan internasional karena sebagian korban merupakan wisatawan asing yang sedang menikmati keindahan Bukit Lawang dan habitat orangutan.
Sama seperti tragedi banjir Sumatra 2025, ketika itu juga banyak pejabat mengklaim banjir bandang Bahorok disebabkan curah hujan yang sangat tinggi. Atau dengan kata lain: salah alam. Tidak ada manusia yang bertanggung jawab.
Tragedi Bahorok dan Penebangan Liar

Menyalahkan alam tentu saja taktik usang, sekaligus sangat tidak bertanggung jawab. Banjir Bahorok bukan karena cuaca ekstrem, melainkan karena kerusakan hutan secara masif wilayah hulu, tepatnya di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGl).
Jauh sebelum malapetaka terjadi, Bupati Langkat saat itu, H. Syamsul Arifin, sudah mengungkapkan kerisauannya karena lebih dari 42 ribu hektar hutan TNGL di Langkat telah hilang.
Pasalnya, 300 ribu hektar wilayah TNGL--dari total 830 ribu hektar--berada di wilayah Langkat. Sisanya di wilayah Aceh. Dengan 42 ribu hektar hutan TNGL yang hilang, berarti hampir seperlima hutan di Langkat telah mengalami deforestasi.
Lebih parah lagi karena Balai Taman Nasional Gunung Leuser (BTNGL) sebagai pengelola, menyatakan bahwa lebih dari 30% hutan di kawasan Taman Nasional itu sudah rusak karena perambahan dan penebangan liar.
Hutan TNGL dikeruk secara ilegal oleh mafia kayu dan sejumlah perusahaan pengolahan yang beroperasi tanpa pengawasan ketat. Batang-batang pohon besar dibiarkan menumpuk di aliran sungai, membentuk bendungan alami.
Alhasil, saat hujan deras, bendungan kayu itu tidak mampu menahan tekanan air dan akhirnya jebol, melepaskan gelombang besar yang menjadi banjir bandang ke pemukiman.
Para ahli lingkungan menyebut kondisi itu sebagai “bencana ekologis hasil ulah manusia”. Ketika itu banyak media asing menjadikan tragedi Bahorok sebagai contoh ekstrem dampak deforestasi di negara tropis.
Bahorok dan Banjir Sumatra 2025: Pola yang Berulang

Tragedi Bahorok memberi pelajaran penting hutan bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga benteng alam yang melindungi manusia dari bencana. Peristiwa itu juga membuat warga Bukit Lawang makin mawas diri.
Warga menerapkan hukuman berat terhadap mereka yang menebang kayu di area TNGL Warga tak ingin petaka tahun 2003 terulang. Langkah lainnya, makin berhati-hati dalam membangun rumah atau penginapan di tepi sungai.
Mereka memundurkan bangunan sekitar 3-5 meter dari bibir sungai. Lahan kosong 3-5 meter itu ditanami berbagai tanaman keras seperti trembesi, waru, mahoni, sengon, dan angsana.
Ironisnya, 22 tahun kemudian, pola yang sama berulang. Di Aceh, banyak DAS rusak karena penebangan dalam 10 tahun terakhir.
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), WALHI, misalnya melaporkan DAS Peusangan telah kehilangan 75% tutupan hutannya, diikuti DAS Singkil (66%) Krueng Trumon (43%) Tripa (42%) Jambo Aye (45%) dan Tamiang (36%).
Di Sumut, kerusakan di DAS Batang Toru makin parah akibat penebangan liar, alih fungsi hutan jadi perkebunan sawit, hingga aktivitas penambangan emas di hulu. Akibatnya saat hujan deras, aliran sungai Batang Toru makin tak terbendung.
Baca Juga: Kayu Gelondongan di Banjir Sumatra Hasil Illegal Logging, 8 Perusahaan Diperiksa
Betapa menyedihkannya bahwa pola serupa kembali terulang setelah mapaletaka Bahorok 22 tahun silam. Dari tragedi Bahorok, pemerintah seharusnya sadar bahwa ketika hutan dibabat habis, tidak lama kemudian alam akan datang menagih.
Keledai yang paling bodoh pun tidak akan dua kali terperosok di lubang yang sama. Tapi manusia, karena keserakahan, sering terperosok di lubang yang sama berkali-kali. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance