Jakarta, TheStance –  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan jejak obat diabetes metformin yang mencemari aliran Sungai Angke, Jakarta, mengindikasikan bahaya masuknya residu obat diabetes ke air permukaan di ibu kota.

Peneliti BRIN, Wulan Koagouw, yang terlibat dalam penelitian itu, menjelaskan bahwa pengambilan sampel dilakukan di enam titik berbeda Sungai Angke sejak Juni 2022.

Studi itu menunjukkan metformin terdeteksi di tiga lokasi, dengan kadar antara 27 nanogram per liter (ng/L) sampai 414 ng/L.

Penelitian itu juga menemukan bahwa konsentrasi metformin di Sungai Angke lebih tinggi dari 5% data sungai di seluruh dunia. Bahkan kadar tertingginya bisa melampaui 40% rata-rata global, yang dinilai mengkhawatirkan.

Metformin adalah obat penderita diabetes tipe 2. Obat ini tak terurai di tubuh dan dikeluarkan hampir sepenuhnya dalam bentuk asli melalui urin. Karenanya, penggunaan obat ini di masyarakat berdampak langsung pada kualitas air.

Temuan ini menguak problem baru di Jakarta terkait polutan baru yang dikategorikan sebagai emerging contaminants, yaitu bahan aktif obat-obatan yang dapat mencemari lingkungan tetapi sering luput dari pemantauan kualitas air rutin.

Dalam publikasi yang dirilis melalui Springer Nature, tim peneliti menjelaskan bahwa ketiadaan proses degradasi alami membuat senyawa tersebut berisiko kembali masuk ke rantai makanan dan pada akhirnya mempengaruhi kesehatan manusia.

Koagouw menekankan bahwa keberadaan metformin di Sungai Angke tidak boleh disepelekan. Walaupun kadarnya masih lebih rendah dari beberapa negara lain, situasi ini tetap dianggap tidak aman.

Berdampak Serius pada Organisme Air

obatMetformin diketahui bisa berdampak serius pada organisme perairan, seperti kerusakan jaringan reproduksi ikan, perubahan ekspresi gen, gangguan pertumbuhan ikan muda, hingga peningkatan produksi hormon steroid pada ikan betina dewasa.

Selain itu, temuan tersebut menunjukkan bahwa paparan jangka panjang, meskipun dalam konsentrasi kecil seperti yang ditemukan di Sungai Angke, tetap berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem.

Di sisi lain, temuan itu juga menunjukkan bahwa Sungai Angke kini menjadi saluran pembuangan limbah kota, mulai dari limbah rumah tangga, industri, hingga sampah padat kini menghadapi tambahan jenis polutan baru berupa residu metformin.

Penelitian ini diharapkan menjadi dasar penting pemerintah memperkuat pengelolaan limbah domestik, meningkatkan pengawasan terhadap polutan farmasi, dan merumuskan strategi pengendalian pencemaran yang berbasis bukti.

Epidemiolog cum Pakar Keamanan Kesehatan Global dari Griffith University, Dicky Budiman, menilai temuan BRIN tersebut merupakan sinyal serius yang menunjukkan semakin kompleksnya persoalan kualitas air dan limbah perkotaan.

Menurutnya, temuan tersebut menguatkan indikasi bahwa Indonesia kini menghadapi emerging contaminants zat aktif farmasi yang selama ini tidak terpantau dalam sistem kualitas air konvensional.

“Metformin terdeteksi di tiga titik sepanjang Sungai Angke dengan konsentrasi 27 hingga 414 nanogram per liter, dan obat ini dikenal sulit terurai secara alami,” ujarnya kepada TheStance, Selasa (25/11/2025).

Karena metformin hampir tidak bisa diproses dalam metabolisme tubuh manusia, sebagian besar dikeluarkan dalam bentuk utuh dan menjadi indikator penting aliran polutan farmasi di lingkungan.

Dampak Ekologis Jangka Panjang

Dicky juga menyoroti potensi dampak ekologis jangka panjang. Meski dalam konsentrasi rendah, zat aktif farmasi pada tingkat nanogram atau mikrogram per liter tetap dapat menimbulkan efek biologis pada organisme air dan rantai makanan.

Dari sudut kesehatan masyarakat, belum ada bukti risiko akut bagi manusia, tetapi temuan ini harus dianggap sebagai peringatan bahwa integritas sistem air dan limbah perlu diperkuat.

Ia menilai, sistem pemantauan kualitas air harus diperluas melampaui parameter dasar seperti BOD, COD, amonia, dan E. coli. “Pemantauan residu farmasi sudah menjadi standar di banyak negara maju, dan Indonesia perlu mengarah ke sana,” kata Dicky.

Terkait sumber kontaminasi, ia menjelaskan bahwa metformin sebagian besar masuk ke lingkungan melalui ekskresi manusia.

Limbah domestik dari urin dan feses membawa zat tersebut ke sistem pembuangan, lalu ke instalasi pengolahan air limbah (IPAL), atau bahkan langsung ke sungai jika tidak melewati proses pengolahan yang memadai.

Pengolahan limbah pun belum tentu efektif, karena tingkat eliminasi metformin di berbagai negara sangat bervariasi, antara 22% hingga 99%.

Selain itu, kontaminasi juga bisa berasal dari fasilitas kesehatan atau industri farmasi melalui limpasan air hujan dan buruknya infrastruktur drainase yang memungkinkan polutan terbawa ke badan air.

Dicky menegaskan bahwa temuan ini menunjukkan adanya celah dalam sistem pengelolaan limbah cair di kota. Sungai-sungai besar di Jakarta, selama ini menerima limbah rumah tangga, industri, dan sampah padat tanpa pengolahan memadai.

Baca Juga: Where does the City of Banjarmasin Go in the Future?

Fakta bahwa metformin dapat lolos ke aliran sungai menjadi bukti bahwa sistem pengolahan limbah belum optimal, baik dari sisi kapasitas maupun teknologi.

“Ini adalah alarm penting. Kita perlu memperkuat regulasi, meningkatkan teknologi pengolahan air limbah, dan memperluas pemantauan polutan mikro seperti residu obat,” ujarnya, sembari menekankan perlunya edukasi publik terkait pengelolaan obat.

Ia mengusulkan program take-back obat agar masyarakat tidak membuang obat kedaluwarsa atau sisa pemakaian langsung ke saluran air, sehingga polutan farmasi tak semakin mencemari lingkungan. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance