Jakarta, TheStance – Gelondongan kayu yang terbawa arus banjir di Sumatra menuai sorotan publik. Banyak warganet yang mengaitkan gelondongan kayu itu dengan praktik pembalakan liar alias ilegal logging yang memperparah banjir dan longsor.
Sebelumnya, dalam banyak video amatir warga tampak banjir bandang membawa muatan gelondongan kayu di Sumatra Utara (Sumut), baik di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, maupun Sibolga.
Tak hanya di Sumut, gelondongan kayu juga tampak berserakan di pantai Air Tawar, Padang, Sumatera Barat (Sumbar) setelah banjir menerjang berbagai wilayah di provinsi tersebut.
Kementerian Kehutanan sampai harus menglarifikasi kembali pemberitaan yang mengutip pernyataan pejabatnya mengenai sumber kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang di Sumatra.
Kemenhut Masih Selidiki Asal Muasal Kayu Gelondongan

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menjelaskan bahwa kayu yang terseret banjir bisa dari pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan legal.
Namun pihaknya tidak menutup kemungkinan kayu tersebut adalah dampak dari aktivitas yang melanggar hukum, termasuk penyalahgunaan Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) dan illegal logging.
Dwi mengaku masih menelusuri lebih lanjut soal asal muasal kayu gelondongan itu, berjanji bakal menelusuri secara profesional setiap indikasi pelanggaran dan memproses bukti kejahatan kehutanan melalui mekanisme hukum yang berlaku.
“Terkait pemberitaan yang berkembang, saya perlu menegaskan bahwa penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir,” katanya dalam keterangannya, Sabtu (29/11/2025).
Dwi mengakui Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Kehutanan (Kemenhut) kerap membongkar modus operandi pencucian kayu ilegal hasil pembalakan liar melalui Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT).
Sebagian terjadi di wilayah yang kini terdampak banjir di Aceh, Sumut dan Sumbar. Kayu dari hutan diseret masuk ke skema legal dengan memanfaatkan dokumen PHAT yang dipalsukan, digandakan, atau dipinjam namanya
"Karena itu, kami tidak hanya menindak penebangan liar di lapangan, tetapi juga menelusuri dokumen, alur barang, dan alur dana di belakangnya," tutur Dwi.
Saat disinggung apakah kayu geondongan di banjir itu merupakan hasil pencucian kayu ilegal lewat skema PHAT, Dwi tidak menampik ada potensi ke sana. "Kawan-kawan masih ngecek, ya tapi kami sinyalir ke situ," jelasnya.
Panggil 8 Perusahaan

Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan akan memanggil delapan perusahaan yang bergerak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Sumatera Utara. Hal ini demi mengusut sumber asal gelondongan kayu yang terseret banjir.
Ia menyampaikan pihaknya sudah mengidentifikasi delapan perusahaan di wilayah terdampak banjir di DAS Batang Toru mulai dari perkebunan sawit sampai dengan perusahaan tambang emas.
"Ada delapan yang berdasarkan analisa citra satelit kami berkontribusi memperparah hujan ini. Jadi, kami sedang mendalami dan saya sudah minta di Deputi Gakkum (Penegakan Hukum) untuk melakukan langkah-langkah cepat dan terukur," kata Hanif, usai acara penyelenggaraan Anugerah Proklim Tahun 2025 di Jakarta, Senin (1/12/2025) dilansir Antara.
Hanif menyebut pihaknya akan meminta penjelasan dari masing-masing perusahaan tersebut dengan citra satelit resolusi tinggi untuk memastikan keadaan lokasi situs tempat perusahaan berada sebelum banjir.
"Supaya bisa membuktikan ini, kayu itu dari mana asalnya," katanya.
Bupati Tapteng: Kayu Gelondongan Hasil Illegal Logging

Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng) Masinton Pasaribu, sebelumnya memastikan bahwa kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Sumatra merupakan hasil illegal logging atau penebangan liar mengingat sebelumnya telah terungkap sejumlah kasus peredaran kayu ilegal di wilayah terdampak.
Hal itu disampaikannya dalam sambungan telepon dengan rekan sejawatnya di Partai PDI Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka.
"Saya pastikan illegal [logging]," ujarnya dilansir dari akun Tiktok @riekediahp_official, dikutip Minggu (30/11/2025).
Menurut Masinton, telah terjadi pembabatan hutan di daerah perbukitan kemudian lahannya diganti tanaman sawit.
"Kemarin beberapa kita tindak. Sekarang sedang kita buatkan moratorium untuk penghentian tanaman sawit di kawasan perbukitan," kata Masinton.
Masinton mengaku intens berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Utara, namun mereka juga mengalami kendala untuk memobilisasi personel dan lain sebagainya.
DPR Kaji Pembentukan Pansus Pembalakan Liar

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI yang membidangi kehutanan dan lingkungan hidup, Alex Indra Lukman, mendorong pemerintah membentuk tim investigasi khusus untuk mengusut kayu gelondongan yang terbawa arus banjir Sumatra.
Menurutnya, setelah proses pemulihan rampung, pemerintah harus mengusut biangkerok penyebab banjir Sumatra. Salah satunya dengan mendalami dugaan illegal logging di balik gelondongan kayu yang terbawa arus banjir bandang.
"Saya berharap di masa ini kita justru fokus untuk membantu masyarakat yang terdampak gitulah. Hal-hal yang lainnya tentu akan butuh pendalaman ya, sehingga persoalannya tidak terjadi berulang lagi," kata Legislator Fraksi PDIP itu.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI dari fraksi PKB, Daniel Johan menyebut, Komisi IV akan memanggil Menteri Kehutanan pada Kamis (4/12) pekan ini untuk mendapatkan penjelasan lebih detail terkait bencana alam berujung kayu gelondongan itu.
"Komisi IV tentu mendukung upaya pengungkapan dan menginvestigasi secara mendalam untuk mencari penyebab adanya gelondong kayu yang ikut arus banjir bandang yang terjadi dan dilakukan tindakan hukum yang tegas bagi pelakunya," tuturnya.
Pihaknya juga akan mengkaji pembentukan panitia khusus (pansus) pembalakan liar untuk mengusut adanya dugaan perusakan hutan di Sumatera.
"Kita akan koordinasikan dan konsultasikan dengan pimpinan dan fraksi-fraksi untuk mendapatkan masukan dan pandangan terkait perlunya pansus pembalakan liar atau perusakan hutan," kata Daniel.
Pansus ditujukan untuk mengungkap berbagai faktor dari kejadian bencana yang menimpa warga Aceh, Sumbar, dan Sumut dan sebagai bahan evaluasi kebijakan pembangunan pemerintah, khususnya yang terkait dengan aspek kelestarian lingkungan.
Walhi: Butuh 5 Sampai 10 Tahun untuk Pemulihan Hutan dan DAS

Deputi Eksternal Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Mukri Friatna menyebut berdasarkan hasil analisis forensik lingkungan, kayu gelondongan dan batu besar yang berserakan didominasi oleh hasil dari kegiatan industri ekstraktif.
Perlu diketahui, industri ekstraktif adalah segala kegiatan yang mengambil sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batu bara, minyak bumi dan gas bumi.
Selain itu, berdasarkan pengalamannya sebagai investigator hutan, Mukri menyatakan, kemampuan pencurian kayu oleh masyarakat sangat terbatas dan biasanya lokasinya berada jauh dari jangkauan publik.
"Para pelaku pencurian kayu ilegal kemampuannya terbatas, dan lokasi yang dicuri pun jauh dari jangkauan publik," ujar Mukri.
Akar penyebab banjir Sumatra adalah praktik eksploitasi sumber daya alam oleh industri yang didukung perizinan pemerintah. "Ini akibat akumulasi alih fungsi lahan baik legal maupun ilegal yang mengganggu daya dukung lingkungan," kata Mukri.
Untuk itu, Walhi mendesak Presiden Prabowo Subianto segera memerintahkan Satgas Penyelamatan Kawasan Hutan (PKH) yang telah terbentuk untuk turun ke lapangan.
Satgas bersama Ditjen Penegakan Hukum Kemenhut dan Aparat Penegak Hukum (APH) harus menyelidiki konsesi-konsesi yang diduga besar kontribusinya terhadap bencana.
Selanjutnya, semua temuan harus diumumkan ke publik, dan sanksi pencabutan izin sebagian atau seluruhnya, serta denda pemulihan lingkungan, harus diterapkan.
Baca Juga: Prabowo Didesak Tetapkan Banjir Sumut Bencana Nasional, Warga Mulai Kelaparan hingga Menjarah
Walhi memperkirakan diperlukan waktu 5 hingga 10 tahun untuk memulihkan kerusakan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi akar masalah bencana ini.
"Pemulihan ekosistem yang rusak parah tidak instan. Butuh komitmen konsisten selama 5-10 tahun," kata Mukri.
Dia mengingatkan, proyeksi 5-10 tahun pemulihan hanya bisa tercapai dengan satu syarat utama yaitu tidak ada lagi intervensi dan kerusakan baru selain upaya menanam dan merawat hutan.
Artinya, aktivitas alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan industri ekstraktif lainnya harus dihentikan. "Jika kerusakan terus terjadi, upaya pemulihan akan sia-sia. Kami mendesak moratorium izin baru untuk industri ekstraktif". (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance