Paradoks RUU Haji: Niat Melindungi Jemaah Terancam Batal Gara-Gara 'Indonesia-sentris'
Revisi UU Haji ini memperlihatkan tarik-menarik antara niat baik untuk melindungi jemaah dan realitas lapangan yang ditentukan oleh kebijakan Saudi. Jika revisi ini terlalu Indonesia-sentris, dikhawatirkan regulasi yang lahir tidak lebih dari dokumen administratif yang kelak sulit diimplementasikan.

Jakarta, TheStance – Wacana revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah kini berada di persimpangan jalan, antara melindungi jamaah dengan semangat nasionalisme atau terbuka pada dinamika pelaksanaan di lapangan.
Di satu sisi, ada niat mulia dari pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan perlindungan jemaah. Namun di sisi lain, kerangka RUU tersebut dikritik secara fundamental karena dinilai terlalu ‘Indonesia-sentris.’
Dinamika pembuatan kebijakan (rule making) demikian berisiko membuat regulasi ini usang bahkan sebelum disahkan, terutama di hadapan Visi 2030 Arab Saudi.
Paradoks ini mengkristal dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “Revisi UU Haji Demi Meningkatkan Kualitas Pelayanan dan Pengelolaan Ibadah Haji di Indonesia” yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Forum diskusi tersebut membedah jurang antara desain regulasi yang diusulkan dengan realitas operasional di lapangan yang 90% dikendalikan oleh kebijakan Arab Saudi.
Ketua Komisi Nasional Haji, Mustolih Siradj, sebagai pembicara utama, menegaskan bahwa revisi UU ini adalah sebuah keniscayaan.
Faktor pendorongnya bukan hanya kehendak domestik, tetapi juga tekanan eksternal seperti transformasi besar-besaran di Arab Saudi, dampak pandemi, hingga digitalisasi masif melalui aplikasi Nusuk.
Di tengah perubahan demikian, Mustolih menemukan bahwa RUU ini mengandung kelemahan struktural yang serius.
Cacat Logika Regulasi 'Indonesiasentris'
Kritik paling mendasar yang dilontarkan Mustolih adalah cara pandang RUU yang terlalu fokus ke dalam (inward looking).
Ia menilai draf yang sekarang tak cukup mempertimbangkan bahwa penyelenggaraan haji adalah "event internasional" yang tunduk aturan tuan rumah.
“Undang-undang ini terlalu Indonesiasentris, padahal penyelenggaraan ibadah haji itu 90% berlangsung di Arab Saudi. Sementara di Indonesia hanya terbatas pada pendaftaran, manasik, serta dokumen-dokumen seperti paspor dan visa. Sisanya seluruh pelaksanaan ibadah haji dilakukan di Arab Saudi sebagai negara tujuan atau tuan rumah,” tuturnya.
Logika ini berimplikasi fatal. Jika regulasi Indonesia terlalu kaku dan hanya berparadigma domestik, ia tidak akan mampu merespons kebijakan Arab Saudi yang seringkali berubah dan bersifat mendadak.
“Tanpa mempertimbangkan dinamika perubahan di Arab Saudi, maka undang-undang hasil revisi ini tidak akan banyak berfungsi,” tegasnya.
Bahkan, menurut Mustolih, kekakuan ini bisa menjebak penyelenggara haji—baik Kementerian Agama maupun Badan Pengelola Ibadah Haji (BPIH) nantinya—untuk terperosok ke dalam jerat pelanggaran hukum.
“Mengapa? Karena undang-undangnya terlalu kaku dan rigid. Selain itu, saya melihat undang-undang ini terlalu banyak mengadopsi aturan-aturan dari PMA (Peraturan Menteri Agama) dan Peraturan Dirjen.”
Problem kekakuan ini paling nyata terlihat dalam perdebatan soal kuota haji khusus. RUU yang baru disebut masih mempertahankan angka absolut 8%, sebuah formula yang menurut Mustolih sulit direalisasikan di lapangan.
Kekakuan Kuota dan Birokrasi
Hal ini menempatkan penyelenggara pada posisi dilematis. Bahkan seandainya pun Indonesia menerima kuota tambahan yang mendadak.
“Akibatnya, penyelenggara haji berpotensi melanggar aturan tentang besaran kuota. Sayangnya, hal ini belum dipahami sepenuhnya, apalagi dalam revisi undang-undang yang baru, khususnya Pasal 9 yang menimbulkan banyak perdebatan,” paparnya.
Mustolih menawarkan solusi yang lebih fleksibel dan adaptif. “Karena itu, saya sependapat frasa yang paling tepat dalam undang-undang adalah “minimal 8 persen” untuk haji khusus,” ujarnya.
Dengan demikian, lanjut dia, jika ada tambahan kuota dari Arab Saudi, bisa langsung diserap. Namun jika tidak ada, maka BPIH atau Kementerian Agama tidak bisa diperkarakan karena tidak menjalankan amanat UU tersebut.
Kekakuan juga berpotensi diperparah dengan perluasan kewenangan DPR dalam urusan kuota, yang dinilai bisa menambah rantai birokrasi di saat pemerintah membutuhkan kecepatan untuk mengeksekusi kebijakan.
Namun, Mustolih mengakui ada dua poin positif dalam RUU sekarang. Pertama, penguatan perlindungan jemaah reguler melalui skema kompensasi dan ganti rugi. Kedua, perlindungan bagi jemaah haji furoda yang kerap menjadi korban ketakpastian visa.
“Adanya ketentuan mengenai kompensasi dan ganti rugi bagi jamaah yang tidak mendapatkan layanan konsumsi, akomodasi, atau transportasi. Ini menarik, karena dana haji sepenuhnya berasal dari jamaah... sudah sepatutnya ada jaminan perlindungan,” ujarnya.
Terkait jemaah furoda, ia menambahkan, “Perlu ada aturan yang lebih jelas dan tegas agar jamaah furoda terlindungi.”
Pembahasan RUU Jalan Terus
Dari sisi legislatif, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, memastikan proses pembahasan akan segera berjalan. Melalui rekaman video, ia mengonfirmasi bahwa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah telah diterima.
“RUU Haji sudah di DPR karena pemerintah sudah menyampaikan DIM. Sekarang akan kita bahas di Komisi VIII,” ujar Abidin.
Ia menjanjikan sinergi dengan Visi Arab Saudi 2030 dan peningkatan status penyelenggara haji setara kementerian. Namun, ia juga mengisyaratkan bahwa kerangka pembahasan kemungkinan tidak akan banyak bergeser dari draf awal pemerintah.
“Prinsipnya, nanti pembahasannya tidak banyak berubah dari yang sudah diserahkan pemerintah. Seperti biasa, pembahasan juga akan melibatkan berbagai pihak terkait,” jelasnya.
Pernyataan ini menciptakan sebuah tegangan dinamis: di saat para ahli dan praktisi menyerukan perubahan paradigma yang fundamental, jalur legislatif tampaknya bergerak di atas rel yang sudah mereka tetapkan sendiri.
Baca Juga: Polemik Dam Haji Tamattu, Ketika Syariat Dipaksa Menyesuaikan Logika Ekonomi
Paradoks revisi UU Haji ini memperlihatkan tarik-menarik antara niat baik untuk melindungi jemaah dan realitas lapangan yang ditentukan oleh kebijakan Arab Saudi.
Jika revisi ini hanya berhenti pada kerangka “Indonesia-sentris”, dikhawatirkan regulasi yang lahir tidak lebih dari dokumen administratif yang sulit diimplementasikan.
Sebaliknya, bila mampu mengakomodasi fleksibilitas, digitalisasi, serta sinkronisasi dengan dinamika internasional, revisi UU ini berpotensi menjadi pijakan strategis yang benar-benar memberi perlindungan dan kepastian bagi jutaan jemaah haji Indonesia.
Ujian sesungguhnya akan terjadi di ruang rapat Komisi VIII: apakah DPR mampu menerjemahkan kritik substantif menjadi sebuah UU yang adaptif, atau justru melahirkan regulasi yang kokoh di atas kertas tapi rapuh dalam implementasi.
“Kita harap pembahasan bisa segera dilakukan dan selesai secepatnya,” pungkas Abidin. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.