Polemik Dam Haji Tamattu, Ketika Syariat Dipaksa Menyesuaikan Logika Ekonomi
MUI bergeming: penyembelihan dam (kurban denda haji) harus dilakukan di Mekah sesuai nash Al Quran dan hadist, tak bisa di Indonesia. Tapi pemerintah bersikeras penyembelihan dilakukan di dalam negeri karena manfaat ekonominya sangat besar. Kementarian Agama abaikan fatwa MUI.

Jakarta, TheStanceID – Majelis Ulama Indonesia (MU) bergeming dengan fatwanya bahwa hewan dam (denda haji) Tamattu harus disembelih di Mekah. Tidak ada revisi fatwa.
Bila dam disembelih di luar Mekah, maka ibadahnya tidak sah.
Ini disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Ni’am, dalam seminar nasional tentang haji di Universitas Yarsi, Jakarta, Rabu pekan lalu.
"Penyembelihan hewan dam di luar Tanah Haram, itu tidak sah," katanya (30/7/2025).
MUI tidak mundur meski Kementerian Agama mengabaikan fatwa itu dan berkeras penyembelihan bisa dilakukan di Indonesia.
Apa itu Dam Haji Tamattu?
Ibadah haji memiliki tiga bentuk pelaksanaan, yaitu haji ifrad, tamattu, dan qiran. Perbedaan antara ketiganya terletak pada menggabungkan umrah atau tidak.
Haji tamattu adalah haji yang memisahkan umrah dengan haji, diawali dengan umrah terlebih dahulu lalu haji.
Tamattu sendiri dalam bahasa Arab artinya bersenang-senang.
Mengapa disebut haji bersenang-senang (tamattu)? Karena ringan.
Ketika jemaah haji memasuki kota Mekah dan niat ber-ihram dengan mengenakan pakaian ihram yang hanya kain dua lapis (tanpa celana dalam), ketentuan syariat sudah berlaku. Misalnya dilarang membunuh hewan, dilarang berhubungan suami-istri, dan sebagainya.
Tapi bagaimana bila jemaah haji itu termasuk kloter pertama, yang bisa berada di Mekah sampai 40 hari? Apakah mereka harus berihram selama 40 hari?
Jelas sangat berat bila harus berihram sampai 40 hari.
Lazimnya setelah memasuki Mekah, jemaah haji melakukan umrah terlebih dahulu, setelah itu melepas pakaian ihram mereka (kembali berpakaian biasa), dan menunggu puncak pelaksaanan haji pada hari Arafah (9 Dzulhijjah).
Mereka tetap berada di Mekah, tapi tidak terkena ketentuan ihram hingga bisa beraktvitas seperti biasa, juga boleh berhubungan suami istri.
Biasanya pada tanggal 8 Dzulhijjah, atau sehari sebelum hari Arafah, jemaah kembali niat ber-ihram dan mengikuti seluruh rangkaian ibadah haji hingga puncaknya.
Adanya fase non-ihram selama di Mekah ini yang disebut bersenang-senang (tamattu).
Konsekuensi dari haji jenis ini, jemaah harus membayar denda (dam) berupa hewan kurban, bisa kambing atau unta.
Bila tidak mampu berkurban, maka diganti dengan berpuasa selama 10 hari, yaitu 3 hari di Mekah, dan 7 hari setelah pulang ke tanah air.
Perlu ditegaskan ketentuan membayar dam dalam haji tamattu ini merupakan salah satu syariat dalam agama Islam.
Ini bukan peraturan pemerntah Arab Saudi, juga bukan pendapat sebagian ulama.
Ketentuan membayar hewan dam ini merupakan bagian dari ibadah haji yang dicantumkan secara eksplisit dalam Al Quran.
فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin bersenang-senang mengerjakan 'umrah sebelum haji, hewan korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqarah: 196)
Tidak ada pedebatan soal ketentuan membayar dam.
Perdebatan terjadi dalam soal lokasi. Yaitu, di mana hewan dam disembelih?
Apakah harus disembeih di Mekah, atau boleh disembelih di tempat lain, yaitu di Indonesia?
Mengapa Terjadi Perselisihan?
Mengapa terjadi perselisihan antara MUI versus Kemenag tentang lokasi penyembelihan dam?
Ini karena nilai ekonomi hewan dam sangat besar.
Setiap tahunnya, Indonesia rata-rata mengirim sampai 200 ribu jemaah haji, dan mayoritas memilih haji tamattu.
Sebelumnya, ratusan ribu kambing dam dari jemaah Indonesia itu disembelih di Mekah, lalu dagingnya didistribusikan di Mekah dan tempat lain.
Dari persepektif ekonomi, ini jelas kerugian.
Bayangkan seandainya 200 ribu ekor kambing itu bisa disembelih di Indonesia. Berapa banyak manfaat yang bisa diperoleh?
Uang membeli hewan dam yang dibayar di Arab Saudi itu bisa berputar di Indonesia, menguntungkan banyak orang: mulai dari pedagang kambing, panitia, dan semua pihak yang terlibat.
Belum lagi daging hewan dam yang bisa dinikmati fakir miskin Indonesia.
Ini yang membuat pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, berusaha agar penyembelihan hewan dam tidak dilakukan di Arab Saud, tapi di Indonesia.
Namun MUI menolak keras gagasan tesebut, dan berkeras penyembelihan harus tetap dilakukan di Mekah sesuai syariat.
Perspektif Logika Manfaat
Perspektif logika manfaat ini sangat kental di kalangan pihak yang mendukung pelaksanaan dam haji tamattu di Indonesia.
Ini misalnya disampaikan Mochammad Irfan Yusuf (Gus Irfan), Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji).
"Anggap saja 200 ribu ekor kambing disembelih di Indonesia. Itu dampaknya luar biasa," katanya di Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Dengan asumsi satu kambing berbobot 25 kilogram, kata dia, maka ada 5.000 ton daging yang bisa dimanfaatkan masyarakat.
Irfan juga menyatakan pemerintah Arab Saudi menyambut baik keinginan Indonesia untuk melakukan dam haji tamattu di tanah air. Bahkan katanya, dia ditagih Menteri Haji Saudi mengenai kelanjutan rencana ini
"Beliau bilang, kalau Indonesia menjalankan dam di tanah air, saya akan berterima kasih, karena mereka harus kerja keras, mengundang 20.000 petugas penyembelihan, mengelola dagingnya," kata Irfan.
"Jadi kalau Indonesia bisa lakukan di sini, itu sangat membantu," tambahnya.
Pendapat senada juga datang dari Pengurus Pusat (PP) Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), yang merupakan wadah para alumni haji.
Ketua Umum PP IPHI, Erman Suparno, mengatakan pelaksanaan dam haji tamattu di Indonesia bisa bermanfaat secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat luas.
“Kami ingin memastikan apakah secara fikih memungkinkan dam dilaksanakan di dalam negeri. Tentu tanpa melanggar ketentuan syariat,” kata Erman saat membuka Seminar Nasional IPHI bertema "Bisakah Dam Haji Tamattu, dilaksanakan di Tanah Air?" di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Erman juga mengaitkan pelaksanaan dam di tanah air dengan pemenuhan gizi masyarakat, yaitu soal kurang gizi (stunting).
Menurutnya, berdasarkan data BPS, sebanyak 25% anak Indonesia menderita stunting, sementara dari kalagan kaum tidak mampu (dhuafa), jumlah penderita stunting mencapai 21 juta orang.
Sedangkan jemaah haji Indonesia rata-rata mengeluaran Rp3 juta untuk membayar dam di Arab Saudi.
Bila dikalkan dengan 220 ribu jemaah, maka dana yang dikeluarkan jemaah haji Indonesia untuk dam mencapai Rp660 miliar.
“Jumlah ini sangat besar. Pertanyaannya, sejauh mana manfaatnya dirasakan kembali oleh masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam?" tanya Erman.
“Ini bukan soal pro atau kontra, tapi soal mencari titik temu. Negara-negara seperti Turki dan Mesir sudah lebih dulu menerapkan mekanisme penyembelihan hewan dam di dalam negeri mereka, demi kepentingan umat. Kita bisa belajar dari mereka,” tambah Mantan Menteri Ketenagakerjaan era Presiden SBY ini.
MUI Dinilai Terlalu Tekstual
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Jimly Asshiddiqie, menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih kontekstual dalam memahami praktik dam (denda) bagi jemaah haji tamattu.
“Saya bukan ahli dalam bidang dam, jadi kita serahkan pada ulama. Tapi saya memberi nasihat agar jangan memahami syariat Islam hanya secara tekstual. Harus dilihat maqashid syariah-nya, yaitu maksud dan tujuan dari suatu norma, demi kemaslahatan umum,” ujar Jimly ditemui usai menjadi pembicara Seminar Nasional IPHI.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini kemudian berpendapat persoalan dam bukan merupakan pokok (inti) dalam ajaran agama, melainkan masuk dalam kategori furu’ (cabang) yang memungkinkan adanya ijtihad. Atau dengan kata lain, terbuka ruang untuk berbeda pendapat.
Pernyataan Jimly ini secara tidak langsung membantah fatwa MUI yang menyatakan hukum menyembelih dam di luar Mekah tidak sah.
Sebab dalam konteks ijthad, tidak bisa dipatok bahwa suatu pendapat adalah benar sedang lainnya salah.
Counter-Fatwa dari Kementerian Agama
Tap benarkah ini soal ijtihad? Ijtihad lazimnya mengandung makna sesuatu yang tidak diatur dalam Al Quran atau hadist, hingga seseorang boleh merumuskan pendapatnya sendiri.
Namun seperti terungkap dalam pembahasan di Mudzakarah (Simposium) Perhajian Indonesia 2024 yang diadakan Kemenag, ketentuan dam disembelih di Mekah ternyata juga disinggung secara eksplisit dalam Al Quran.
Hanya, terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam menafsiran ayat Al Quran tersebut, meski yang berbeda jumlahnya minoritas.
Sekadar catatan, Mudzakarah (Simposium) Perhajian yang digelar Kemenag ini bisa dibilang semacam forum "counter-fatwa" terhadap MUI.
Forum ini menghasilkan keputusan yang formatnya seperti fatwa, lengkap dengan dalil Al Quran, hadist, dan pendapat ulama dari berbagai madzhab, dan kemudian berujung pada penetapan hukum secara syariat.
Tentu saja hasil forum fatwa Kemenag ini berbeda dari fatwa MUI.
Tapi forum ini memberikan legitimasi bahwa keputusan Kemenag menyembelih dam di Indonesia dapat dibenarkan secara syariat
Berdasarkan putusan Mudzkarah Perhajian Indonesia 2024, maka soal dam dapat disederhanakan sebagai berikut:
Perbedaan dimulai ketika memahami ayat هَدْيًا ۢ بٰلِغَ الْكَعْبَة, yang artinya “Hewan dam sebagai hadiah yang disampaikan ke Ka’bah (tanah haram)." (QS Al-Maidah: 95).
Mayoritas ulama madzhab Syafii berpendapat ayat ini menegaskan hewan dam wajib hukumnya disembelih di Mekah dan dagingnya didistribusikan di Mekah. Ini karena ayat itu secara eskplsit menyebutkan soal dam yang disampaikan ke tanah haram.
Mayoritas ulama madzhab Hanafi berpendapat penyembelihan hewan dam wajib dilakukan di Mekah, sedangkan distribusi dagingnya boleh ke tempat lain.
Madzhab Maliki membolehkan penyembelihan hewan dam di mana saja, tidak harus di Mekah.
Fatwa lembaga ulama Mesir dan Arab Saudi yang membolehkan penyembelihan di tempat lain.
Begitulah poin-poin dalll dalam Mudzakarah Perhajian Indonesia 2024, yang kemudian berujung pada penetapan hukum versi Kemenag bahwa penyembelihan hewan dam di tanah air hukumnya "boleh dan sah".
Dalam catatan TheStance, ada beberapa hal yang bisa dikritisi dari counter-fatwa Kemenag tersebut:
Pengutipan pendapat Imam Malik yang problematis. Imam Malik membolehkan penyembelihan hewan dam di luar Mekah tidak ditujukan untuk dam hajinya, melainkan untuk dam atas pelanggaran haji (misalnya membunuh hewan ketika berihram). Soal madzhab Mailiki ini sempat dibahas Kiai Aniq Muhammadun, Rais Syuriah PBNU dalam forum Musyawarah Nasional NU 2023. Dilansir dari situs NU Online, ketika itu Kiai Aniq mengoreksi pihak-pihak yang menjadikan pendapat madzhab Maliki sebagai dalil bolehnya menyembelih hewan dam di tanah.
Pendapat yang membolehkan penyembelihan hewan dam di luar Mekah merupakan pendapat yang minoritas atau marjuh (lemah, kalah) baik dari madzhab Syafii atau Hanafi. Ini terungkap dari putusan Mudzakarah Kemenag itu sendiri.
Keliru ketika menempatkan pendapat minoritas atau marjuh setara dengan pendapat mayoritas. Sikap itu justru bertentangan dengan tradisi keilmuan bahwa fatwa syariat berusaha mencari pendapat terkuat, bukannya mengikuti pendapat yang lemah.
Pengutipan pendapat ulama Mesir dan Arab Saudi juga berisiko sebagai hujjah, karena akan tergantung siapa ulama yang dikutip. Sebagai contoh, fatwa Kemenag ini mengutip pendapat Syekh Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam, mufti negara Mesir saat ini, yang membolehkan penyembelihan dam di luar Mekah.Tapi bila mengacu pada pendapat Syekh Atthyah Saqr, mutfi Al-Azhar yang sangat terkenal, wajib hukumnya menyembelih dam di Mekah (Fatwa MUI mengutip pendapat Atthiyah Saqr, bukan Syauqi Ibrahim).
Penetapan hukum dam oleh forum Mudzakarah ini terlihat lemah, dan sulit meninggalkan kesan bahwa argumen utamanya adalah logika manfaat ekonomi --bahwa penyembelihan dam di Indonesia akan lebih menguntungkan-- dan bukannya nash.
Fatwa MUI tentang Dam Haji: Patuh Meski Tidak Logis
Menarik untuk mencermati bahwa MUI pun sebenarnya juga menyadari bahwa akan lebih menguntungkan bila hewan dam disembelih di tanah air. Ada maslahat ekonomi yang besar yang bisa diperoleh.
Tapi, MUI dengan sengaja mengabaikan aspek maslahat ekonomi tersebut.
Mengapa demikian?
KH Asrorun Niam menjelaskan, "Karena maslahat itu dinegasikan oleh nash (ayat)," katanya.
Menurut Ketua MUI bidang Fatwa ini, memang tidak bisa dimungkiri bahwa penyembelihan dam di tanah air akan mendatangkan maslahat bagi umat Islam di Indonesia. Para ulama juga menyadari hal itu.
Namun ketika dihadapkan dengan nash dari Al Quran dan hadist yang cenderung bermakna penyembelihan dam harus dilakukan di tanah haram (Mekah), maka para ulama mendahulukan nash dan mengabaikan aspek logika manfaat.
"Meski ada maslahat. jika tidak sesuai dengan nash, maka tidak sah," kata Asrorun.
Dalam catatan TheStance, sikap MUI ini bisa dibilang sikap "patuh meski tidak logis".
Dalam fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2011 tentang dam haji tamattu, semangat "patuh meski tidak logis" ini antara lain terlihat dari butir pertimbangan MUI.
MUI misalnya mengutip pendapat Imam al-Marghinani, ulama fiqih terkenal dari madzhab Hanafi. yang menyatakan penyembelihan hadyu (hewan dam) termasuk ibadah yang di luar nalar, tidak bisa dilogika.
Bagaimana bisa menyembelih hewan (qurbah) menjadi ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah? Apalagi esensi penyembeiihan adalah pengaliran darah. Ini di luar nalar.
Meski demikian, umat Islam tetap waib menerima ketentuan yang tidak logis tersebut sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
Qurbah memang berbeda dari ibadah lain seperti zakat, di mana aspek maslahat dipentingkan, hingga dibolehkan qimah (penggantian dengan nilai barang yang sebanding).
Dalam zakat fitrah, bisa membayar dengan makanan pokok atau menggantinya dengan uang yang senilai dengan makanan pokok tersebut.
Tapi dalam soal hewan dam, tidak dikenal qimah. Hewan dam tidak bisa diganti dengan uang.
Ketika jemaah membayar hewan dam dengan menyetor uang ke lembaga pengelola, uang itu bukanlah qimah atau pengganti yang sebanding. Akadnya adalah pendelegasian.
Uang itu dibayarkan ke pengelola, yang kemudian menggunakannya untuk membeli kambing untuk disembelih. Ujungnya tetap ada penyembelihan hewan, darah yang dialirkan.
Sikap "patuh meski tidak logis" ini juga bukan sesuatu yang keliru dalam tradisi Islam.
Sebaliknya, Al Quran mengkritik orang-orang yang mematuhi ketentuan hanya karena ketentuan itu mendatangkan maslahat bagi mereka, tapi enggan patuh ketika tidak mendatangkan maslahat.
Prinsip ini sangat terkenal, populer dengan frasa Sami'na wa atho'na (Kami mendengar dan kami patuh), yang berasal dari QS An Nuur ayat 41, di mana umat muslim diperintahkan patuh pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak memilah dengan patuh hanya pada ketentuan yang membawa maslahat baginya.
Poin menarik lain dari fatwa MUI itu adalah pendapat Syekh Atthiyah Saqr, mantan ketua Lajnah Fatwa Universitas Al-Azhar, Mesir, yang menegaskan bahwa penyembelihan hewan dam harus dilakukan di Mekah, dengan penegasan bahwa itu merupakan pendapat mayoritas ulama (jumhur).
Setidaknya mayoritas ulama dari tiga madzhab, yaitu Hanafi, Syafii dan Hambali, berpendapat bahwa penyembelihan hewan dam tetap harus dilakukan di Mekah. Fatwa MUI tersebut juga mengutip pendapat dari ulama madzhab Hambali (Hanabilah).
Dalam catatan TheStance, pendapat jumhur memang memiliki positioning strategis dalam penetapan hukum. Lazimnya, pendapat jumhur diakui sebagai pendapat yang lebih mendekati kebenaran.
Ini memang sesuatu yang khas dalam tradisi keilmuan Islam. Pendapat yang diikuti oleh berbagai ulama dari berbagai masa secara terus-menerus, akumulatif hingga akhirnya mencapai status jumhur, dinilai sebagai pendapat yang rajih (kuat) dan bisa menjadi dasar pengambilan hukum.
Hasil Musyawarah Nasional (Munas) NU tentang Dam Haji Tamattu
Salah satu ormas Islam terbesar, Nadhlatul Ulama (NU) sebenarnya juga sudah mempunyai sikap sendiri terkait polemik dam hai tamattu.
NU bahkan sudah dua kali membahas itu, yaitu pada Munas NU 2023 dan 2025.
Dilansir dari NU Online, pada Munas 2023, para ulama NU juga sependapat dengan fatwa MUI, bahwa penyembelihan dam hai tamattu harus dilakukan di Mekah. Bila dilakukan di luar Mekah, maka hukumnya tidak sah.
Pada Februari 2025, NU kembali menggelar Munas dan soal dam haji tamattu kembali dibahas.
Lagi-lagi putusannya sama. Dam harus disembelih di tanah haram.
Perlu disampaikan bahwa baik MUI maupun Munas NU membolehkan penyembelihan di luar tanah haram sepanjang ada kondisi darurat atau udzur syar'i yang membuat penyembelihan di Mekah tidak bisa dilakukan.
Misalnya: ada wabah penyakit hewan di Mekah, tidak ada Rumah Pemotongan Hewan (RPH), kambing di Mekah sudah habis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan secara syariat.
Sedangkan untuk distribusi dagingnya, putusan Munas NU dan fatwa MUI juga sama: boleh didistribusikan ke luar Mekah, termasuk ke Indonesia.
Yang menarik adalah sikap "patuh pada teks agama meski tidak logis" yang juga ditunjukkan oleh kiai NU.
Ini terlihat dari pernyataan salah satu pembahas dalam Munas NU 2025 yaitu KH Cholil Nafis.
Rais Syuriah PBNU yang juga ketua bidang dakwah MUI ini sempat merespon pertanyaan warganet, apa tdak rugi uang dam dari jemaah Indonesia masuk ke kantong orang Arab?
Jawab KH Choli lewat akun X-nya: ini soal ibadah, tuduk pada teks agama, bukan tunduk pada logika ekonomi.
Ibadah ketundukan sesuai teks agama bukan akal ekonom. https://t.co/FVU2ugffWt
— cholil nafis (@cholilnafis) May 29, 2025
Kemenag Abaikan Pendapat Mayoritas Ulama
Sejauh ini Kemenag berdalih bahwa soal dam haji tamattu adalah wilayah ijtihad, hingga sah saja berbeda pendapat.
Kemenag sengaja tidak menyinggung bahwa itu pendapat lemah sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya.
Upaya untuk memberikan semacam "legitimasi syariat" melalui forum Mudzarakah Perhajian justru jadi bumerang, karena tradisi kelimuan fiqih bukanlah mencari pendapat lemah atau yang sesuai kepentingan, melainkan pendapat yang rajih (kuat) dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu MUI merupakan gabungan dari berbagai kelompok Islam, yang merpresentasikan mayoritas ulama di Indonesia.
Jadi tidak hanya mengabaikan pendapat jumhur ulama di tingkat global dari setidaknya tiga madzhab (Hanafi, Syafii, Hambali), Kemenag juga mengabaikan pendapat mayoritas ulama di Indonesia.
Penyembelihan Dam Haji Tamattu di Indonesia Tetap Dijalankan
Pada April 2025, Menteri Agama Nasaruddin Umar menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 437 Tahun 2005 tentang Tata Kelola Dam.
KMA itu terbit dua bulan sebelum pelaksanaan ibadah Haji yang jatuh pada awal Juni 2025.
KMA itu kemudian diikuti dengan penerbitan SK Dirjen terkait pengaturan teknis, yang akhirnya mengatur:
Jemaah haji Indonesia bisa memilih membayar dam di Mekah atau di Indonesia.
Khusus untuk petugas haji, wajib membayardam di Indonesia.
Dua hal itu sudah dijalankan.
Dilansir dari situs resmi Kemenag, sebanyak 863 petugas haji sudah membayar dam di Indonesia melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan terkumpul dana sebesar Rp2,1 miliar.
Menarik untuk mencermati bahwa MUI tetap pada sikapnya meski pemerintah berkeras melakukan eksekusi dam di tanah air.
MUI memang bukan penyelenggara negara, melainkan kumpulan para ulama yang menyatakan fatwa atas suatu perkara syariat. Meski fatwa MUI tidak digubris, tidak ada kewaiban bagi MUI untuk mendukung plihan pemerintah.
Baca Juga: Sound Horeg Kian Meresahkan, Dapat Fatwa Haram MUI Sampai Bikin Warga Ngungsi
Dalam catatan TheStance, yang terjadi justru sebaliknya. Kemenag sempat mengirim surat ke MUI meminta "dukungan fatwa" atas pelaksanaan dam haji tamattu di dalam negeri.
Tapi bukannya mendukung, MUI melalui surat bernomor B-1444/DP-MUI/V/2025 tertanggal 20 Mei 2025, justru menyatakan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 437 Tahun 2005 bertentangan dengan fatwa MUI.
Hingga kini kedua pihak tetap bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Belum ada titik temu.
Oleh MUI, pelaksanaan dam di dalam negeri yang sudah dilakukan itu tetap dihukumi tidak sah.
Pertanyaanya tentu: bila dam haji tamattu di dalam negeri dihukumi tidak sah, lantas bagaimana hukum pelaku hajinya? Apakah hajinya menjadi tidak sah juga?
Dam Haji Wewenang Siapa?
Dalam sebuah diskusi di akarta pada 3 Juli 2025 lalu, mantan wakil presiden KH Ma'ruf Amin ikut memberi pandangan terkait polemik dam haji ini.
Seadar catatan, sebelum menjadi wapres, KH Ma'ruf sudah terkenal sebagai ahli fiqih (fuqaha) dan bahkan sempat 10 tahun lebih menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI.
KH Ma'ruf tidak masuk ke pembahasan dalil soal dam, melainkan hanya menetapkan perspektif dasar dalam memandang permasalahan ini melalui dua pertanyaan.
Yaitu: dam haji termasuk ibadah atau bukan? Dam haji termasuk wewenang penguasa atau wewenang syariat? (est/bsf)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.