Perdagangan Naik Dobel Berkat IA-CEPA, Kerja Sama Program Katalis Diperkuat
Pakta Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) berujung pada lonjakan perdagangan kedua negara. Pada 2019, total perdagangan Indonesia dan Australia tercatat sebesar AU$17,7 miliar, lalu melonjak menjadi AU$35,5 miliar (sekitar Rp382 triliun) pada 2024.

Jakarta, TheStanceID – Pemerintah Indonesia dan Australia kembali menegaskan komitmen kerja sama ekonomi bilateral melalui program Katalis, sebuah inisiatif di bawah payung Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).
Program ini tidak hanya berfokus pada peningkatan perdagangan antarnegara, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gita Kamath, menyampaikan bahwa program Katalis menjadi bukti nyata kolaborasi kedua negara untuk memperkuat hubungan ekonomi.
"Katalis bertujuan untuk meningkatkan perdagangan, menciptakan lapangan kerja, membangun keterampilan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi bersama yang tangguh dan inklusif," ujar Gita Kamath usai membuka 'Indonesia-Australia Prosperity Exhibition 2025' yang digelar di Hotel Ritz Charlton, Mega Kuningan Jakarta Selatan, Rabu (06/8/2025).
Pameran program Katalis ini menyoroti lima tahun kolaborasi IA-CEPA yang berdampak besar dan menampilkan berbagai kisah sukses dari sektor prioritas, termasuk kesehatan dan perawatan warga lanjut usia (lansia), pelatihan vokasi, transformasi digital, dan pertanian.
Dorong UMKM Indonesia Tembus Pasar Australia
Hal senada juga diungkapkan Wakil Menteri Perdagangan RI, Dyah Roro Esti. Ia menekankan pentingnya kerja sama strategis dalam mendorong pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar dapat menembus pasar dunia, khususnya Australia.
“UMKM di Indonesia didominasi oleh pelaku perempuan. Menariknya, beberapa komoditas seperti cokelat Indonesia sudah berhasil menembus pasar Australia dan diminati di sana. Ini adalah prestasi yang membanggakan," kata Dyah.
Pemerintah Indonesia berharap nilai perdagangan bilateral antara Indonesia dan Australia ke depan terus meningkat. Program-program seperti SheTrades dan business matching antara pelaku usaha Indonesia dan calon pembeli di Australia terus didorong untuk membuka lebih banyak peluang pasar.
Dyah juga menyoroti pentingnya capacity building dalam meningkatkan daya saing UMKM Indonesia. "Kita harus tahan banting, mampu beradaptasi, dan siap menghadapi tantangan. Program peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi fokus utama dalam mendukung hal ini," tegasnya.
Terkait tantangan ekspor produk Indonesia ke Australia, khususnya dalam aspek biosecurity, Dyah menegaskan bahwa pemerintah Indonesia siap menjalin komunikasi terbuka untuk mencari solusi bersama.
"Karena dengan adanya IACEPA ini merupakan fondasi agar kemudian perdagangan itu bisa berjalan dengan panjang. Jadi kalaupun ada roadblocks, kita dengan tugas kita masing-masing tentunya terbuka untuk berkomunikasi dan mencarikan jalan keluar," ujar Dyah.
Baca Juga: Tak Terbendung Sensor dan Lobi, Warga Australia Sukses Dorong Penyelamatan Gaza
Menanggapi hal tersebut, Gita Kamath menyampaikan bahwa pekan lalu Menteri Pertanian Australia Julie Collins MP telah mengunjungi Indonesia dan menandatangani nota kesepahaman di bidang biosecurity.
Langkah ini diharapkan dapat mengoptimalkan perdagangan produk-produk pertanian antara kedua negara.
Ke depan, program Catalyst 2.0 akan digulirkan dalam jangka waktu lima tahun mendatang, dengan fokus pada peningkatan kualitas kerja sama ekonomi dan penguatan dukungan terhadap UMKM sebagai motor penggerak ekonomi nasional.
Perdagangan RI-Australia Melonjak 2 Kali Lipat
Untuk diketahui, IA-CEPA mencatat pencapaian signifikan pada tahun kelima pelaksanaannya. Nilai perdagangan barang dan jasa antara kedua negara meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Pada 2019, total perdagangan Indonesia dan Australia tercatat sebesar AU$17,7 miliar, yang melonjak menjadi AU$35,5 miliar atau sekitar Rp382 triliun pada 2024.
Indonesia kini menikmati surplus perdagangan terhadap Australia sebesar AU$3,13 miliar (sekitar Rp33,7 triliun) pada 2024.
Kemitraan ekonomi Indonesia dan Australia berkembang pesat di sektor-sektor yang saling melengkapi, seperti pertambangan, pertanian, makanan, pendidikan, dan jasa. Hal ini memperkuat posisi keduanya sebagai mitra utama di kawasan Indo-Pasifik.
Dalam waktu dekat, Indonesia dan Australia akan melakukan peninjauan terhadap IA-CEPA untuk memperluas cakupan kerja sama. Langkah ini bertujuan memaksimalkan potensi ekonomi kedua negara dan sejalan dengan kesepakatan antara Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dan Presiden Prabowo Subianto.
Peninjauan ini mencakup sektor-sektor strategis baru, seperti energi hijau dan mineral kritis. Perdana Menteri Albanese melihat Indonesia sebagai salah satu ekonomi paling menjanjikan di dunia.
Ekspor Cokelat Premium Indonesia Makin Diminati
Salah satu brand lokal yang berhasil menembus pasar Australia adalah Pipiltin Cocoa, produsen cokelat berbasis biji lokal fermentasi.
Berkat dukungan program Katalis, Pipiltin mulai mengekspor produknya ke Australia sejak tahun 2024, menyusul kesuksesan di pasar Jepang dan Eropa.
Menurut Co-Founder Pipiltin Cocoa, Tissa Aunilla, langkah ekspor ke Australia dimulai dari riset pasar mendalam yang difasilitasi oleh program Katalis pada tahun 2023.
“Katalis membantu kami dan lima brand lain termasuk koperasi dari Bali untuk eksplorasi pasar Australia. Mereka bahkan sudah siapkan market research paper sebelum kami datang ke sana,” ujarnya.
“Kami ikut pameran, buka booth, dan ternyata tanggapannya luar biasa. Dari sana, kami dikenalkan dengan retailer dan supermarket. Akhirnya, satu perusahaan di sana yang memang sourcing cokelat dari seluruh dunia memutuskan untuk membeli dari kami,” tambah Tissa.
Meskipun angka ekspor masih belum besar, Tissa menegaskan bahwa yang terpenting adalah pintu pasar sudah terbuka. “Angkanya masih kecil, tapi yang penting jalannya sudah ada. Bahkan sekarang ada pembicaraan dengan calon distributor di Melbourne dan Sydney,” ungkapnya.
Namun, Tissa juga menyoroti tantangan besar industri cokelat di Indonesia, yakni produktivitas kakao yang rendah dan minimnya dukungan sistemik. “Dulu kita produsen nomor tiga dunia, sekarang turun ke peringkat tujuh. Petani belum aware, pemerintah belum optimal support, dan industri masih berkembang,” jelasnya.
Ia berharap kesadaran terhadap nilai tinggi biji kakao fermentasi bisa ditingkatkan. “Padahal marginnya bisa 40–50% lebih tinggi dari biji non-fermentasi. Tapi ketika pasar global membutuhkan, kita belum siap. Dulu Afrika berhenti ekspor, semua cari ke Indonesia, tapi kita enggak siap,” ujarnya.
Baru 21 Persen Pelaku Usaha Manfaatkan IA-CEPA
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani menyoroti masih rendahnya pemanfaatan IA-CEPA oleh pelaku usaha di Tanah Air.
Ia menegaskan pentingnya memperkuat sosialisasi dan pemahaman teknis agar pelaku usaha dapat mengoptimalkan peluang perdagangan dan investasi antarnegara.
“Baru sekitar 21 persen pelaku usaha di Indonesia yang memanfaatkan IA-CEPA,” ungkap Shinta di sesi diskusi 'Katalis Program Showcase'. “Sebanyak 68 persen tidak tahu manfaatnya dan 47 persen tidak memahami regulasi teknis untuk implementasinya.”
Temuan tersebut menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman di kalangan dunia usaha. Banyak perusahaan belum familiar dengan perjanjian perdagangan bebas (FTA) seperti IA-CEPA meski sudah ada sosialisasi dari pemerintah dan mitra.
Padahal, menurut Shinta, IA-CEPA bisa menjadi jembatan untuk memperkuat kerja sama di bidang investasi dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia.
“Banyak yang belum menyadari bahwa perjanjian perdagangan juga mencakup penguatan kapasitas, seperti program pertukaran keterampilan. Ini penting agar tenaga kerja dan industri kita lebih siap bersaing,” tegasnya.
Shinta menyoroti sejumlah sektor potensial yang bisa dimaksimalkan melalui perjanjian IA-CEPA ini, di antaranya pendidikan, kesehatan dan energi hijau.
“IA-CEPA bisa memberikan manfaat besar, apalagi disertai perjanjian fasilitasi yang dapat melindungi kepentingan kedua belah pihak,” tutupnya.
Investasi Australia Masih Perlu Digenjot
Peneliti ekonomi dan kebijakan dari Australian National University, Arianto A. Patunru, menyampaikan bahwa Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) telah menunjukkan dampak positif terhadap tren perdagangan antara kedua negara.
“Setelah penandatanganan IA-CEPA, terdapat tren peningkatan baik pada ekspor maupun impor antara Indonesia dan Australia,” kata Arianto.
Ia mencatat bahwa ekspor Indonesia ke Australia menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, meskipun secara total angka ekspor Indonesia ke Australia masih lebih rendah dibandingkan ke Tiongkok dan Amerika Serikat.
Selain itu, ia juga menyoroti bahwa pemanfaatan potensi investasi dan kerja sama antar-masyarakat masih perlu diperkuat.
Di luar perdagangan dan investasi, hubungan antarwarga (people-to-people) juga menjadi aspek penting yang disorot. Arianto mencatat bahwa pasca pandemi, terjadi peningkatan jumlah turis asal Australia ke Indonesia, sebuah tren yang membuka peluang besar di sektor jasa seperti kesehatan dan pendidikan.
Ia juga menyarankan agar kerja sama antarnegara diperluas dalam hal mobilitas tenaga kerja dan pendidikan.
“Australia secara praktis bisa melonggarkan visa kerja untuk warga Indonesia, dan sebaliknya, Indonesia bisa lebih banyak mendatangkan pengajar dari Australia,” jelasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.