Kamis, 07 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Depok Jadi Kota dengan Biaya Transportasi Termahal, Bikin Warga Tetap Miskin

Kementerian Perhubungan dan Badan Pusat Statistik merilis daftar 10 kota dengan biaya transportasi termahal di Indonesia. Depok jadi kota termahal. Warga Depok rata-rata mengeluarkan Rp1.8 juta per bulan untuk biaya transportasi, atau sekitar 16,32% dari total biaya hidup sehari-hari. Bank Dunia menetapkan idealnya porsi pengeluaran transportasi tidak mencapai lebih dari 10% dari total pendapatan. Mahalnya biaya transportasi ini bisa membuat pekerja tetap miskin.

By
in Now You Know on
Depok Jadi Kota dengan Biaya Transportasi Termahal, Bikin Warga Tetap Miskin
Ilustrasi penumpang KRL Commuter Line

Jakarta, TheStanceID – Di tengah meningkatnya biaya hidup di kota-kota besar, biaya transportasi menjadi salah satu komponen pengeluaran terbesar masyarakat, terutama bagi para pekerja komuter.

Dian (41 tahun), asal Depok, mengaku harus merogoh kocek hampir Rp50 ribu per hari untuk ongkos pulang pergi dari rumah ke tempatnya bekerja di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Meskipun sudah menggunakan transportasi publik berupa KRL Commuter Line, tapi ia masih harus merogoh kocek tambahan untuk biaya transportasi daring dari stasiun ke tempat kerjanya.

Biaya transportasi itu bisa sedikit ia tekan, karena setiap hari dari rumah menuju stasiun KR, ia masih diantar jemput oleh suami.

Biasanya, jika tidak sedang diantar jemput suami, Dian harus menggunakan jasa ojek daring dari rumah ke stasiun. Minimal, ia harus mengeluarkan biaya tambahan Rp15 ribu-Rp20 ribu untuk sekali jalan.

"Kalo gak dianter jemput suami sih bisa lebih dari Rp50 ribuan deh untuk ongkos aja," ujar Dian yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini kepada TheStanceID, Selasa (5/8/2025).

pekerja komuter

Lain lagi cerita Aldi (35 tahun), asal Kota Bekasi, Jawa Barat. Meskipun bisa menggunakan KRL atau Light Rapid Transit (LRT), ia tetap harus mengeluarkan biaya tambahan untuk ojek daring. Tak heran, per hari, dia bisa menghabiskan ongkos sampai Rp50 ribu-Rp60 ribu, untuk sampai ke tempat kerjanya di kawasan Ampera, Jakarta Selatan.

Dengan gaji per bulan lebih tinggi sedikit dari angka UMR, ia mengaku untuk ongkos dan operasional harian saja bisa memakan 25% dari gaji bulanannya.

“Ya memang segituan rata-rata buat ongkos doang. Mau gak mau harus pake ojek daring dari stasiun ke kantor karena angkutan umum relatif jarang, apalagi kalo udah ngejar biar gak telat absen,” ujar Aldi kepada TheStanceID, Selasa (4/8/2025).

Guna menekan biaya transportasi dan karena alasan keterbatasan akses transportasi yang memadai, terkadang membuat banyak pekerja komuter di Jabodetabek memilih menggunakan kendaraan pribadi dari rumah menuju tempat kerjanya.

Ary (43 tahun), asal Pondok Rajeg Depok, mengaku maksud hati ingin bisa lebih hemat ongkos dengan berkendara motor menuju tempat kerja. Tapi, ternyata penggunaan kendaraan pribadi juga tak sedikit memangkas gaji bulanannya. Rerata untuk ongkos, ia bisa menghabiskan lebih dari Rp1 juta, termasuk perawatan rutin kendaraannya.

“Untuk ongkos, jujur nggak berarti hemat emang, belum capek di jalan. Tapi mau gimana lagi kan transportasi umum lama banget, belum kalau angkot biasanya pake ngetem lama,” kata Ary, Selasa (5/8/2025).

Depok Jadi Kota dengan Biaya Transportasi Termahal

ojek online

Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang diolah dari Survei Biaya Hidup Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap daftar 10 kota dengan biaya transportasi termahal di Indonesia.

Yang menarik, kota Depok, Jawa Barat menempati posisi puncak sebagai kota dengan pengeluaran transportasi bulanan tertinggi.

Tingginya angka ini bukan semata disebabkan oleh tarif angkutan umum, melainkan oleh biaya tambahan seperti ongkos menuju dan dari titik transportasi umum atau yang dikenal dengan istilah first mile dan last mile.

Menurut laporan tersebut, warga Depok rata-rata mengeluarkan Rp1.802.751 per bulan untuk biaya transportasi. Jumlah ini menyumbang sekitar 16,32% dari total biaya hidup sehari-hari, menjadikannya yang paling tinggi di seluruh Indonesia.

Faktor tingginya biaya transportasi di Depok kemungkinan disebabkan oleh kurangnya konektivitas transportasi publik yang memadai, padatnya arus komuter ke Jakarta, serta tingginya ketergantungan pada kendaraan pribadi maupun layanan transportasi ojek daring.

Kota Bekasi berada di urutan kedua dengan ongkos transportasi per bulan tembus 14,02 persen dari biaya hidup. Sementara biaya ongkos transportasi bulanan Kota Bogor mencapai Rp1,2 juta atau setara 12,54 persen dari biaya hidup.

Di luar Jabodetabek, ada Surabaya (13,61%) dan Jayapura (12,45%) yang masuk dalam posisi lima teratas.

Kemacetan Jadi Faktor Tingginya Biaya Transportasi Jakarta

macet jakarta

Meski menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi, Jakarta justru berada di peringkat ke-6. Biaya transportasi rata-rata di Jakarta mencapai Rp1.590.544 per bulan atau 11,82% dari pengeluaran hidup.

Dirjen Integrasi Transportasi Multimoda Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, menjelaskan meskipun Jakarta memiliki jaringan transportasi publik yang luas seperti MRT, LRT, dan Transjakarta, tantangan mobilitas tetap tinggi, terutama karena kemacetan dan belum meratanya akses transportasi massal di seluruh wilayah.

Menurut Risal, total biaya transportasi yang dikeluarkan masyarakat Indonesia tembus 12,46% dari total pendapatan.

Padahal, Bank Dunia menetapkan bahwa idealnya porsi pengeluaran transportasi tidak boleh mencapai lebih dari 10% dari total pendapatan.

Beberapa kota dari wilayah Indonesia Timur juga mulai menempati posisi dalam daftar ini.

Misalnya, Jayapura di Papua dengan biaya Rp 1.127.798 per bulan, serta Makassar dan Balikpapan. Ini menunjukkan tingginya ongkos transportasi tidak hanya menjadi masalah kota besar di Jawa, tetapi juga di wilayah lainnya.

Untuk wilayah Indonesia Timur, mahalnya biaya transportasi terkait dengan faktor geografis, distribusi moda transportasi yang belum merata, serta harga bahan bakar dan suku cadang yang lebih mahal dibandingkan wilayah Barat Indonesia.

Warga Terjebak Menjadi Working Poor

Yusuf Rendy Manilet (CORE)

Melonjaknya biaya transportasi di berbagai kota di Indonesia menuntut masyarakat untuk lebih cerdas dalam mengatur anggaran perjalanan harian.

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengungkapkan bahwa jika lebih dari 10% pendapatan rumah tangga habis untuk biaya transportasi, maka bakal memiliki dampak cukup besar terhadap kesejahteraan.

Dalam kajian ekonomi transportasi, angka di atas 10–15% sudah dianggap beban berat (transportation cost burden). Sebab, memaksa keluarga mengorbankan kebutuhan penting lain seperti makanan, pendidikan, kesehatan, atau biaya tempat tinggal.

Akibatnya, banyak rumah tangga mengurangi pengeluaran yang produktif, berisiko terlilit utang, dan mengalami tekanan finansial. Situasi ini menciptakan kondisi yang disebut transport poverty, yaitu situasi di mana seseorang tetap bekerja, tapi penghasilannya habis untuk mobilitas, sehingga tidak bisa menabung atau memenuhi kebutuhan dasar.

Fenomena ini, menurut Yusuf, merupakan bagian dari kemiskinan struktural, yang diperparah oleh urbanisasi, ketergantungan pada kendaraan pribadi, serta tata kota yang belum mendukung efisiensi perjalanan.

Dalam kondisi seperti ini, banyak orang terjebak sebagai working poor alias punya pekerjaan, tapi tidak mampu meningkatkan taraf hidup.

“Perlu perencanaan kota yang terpadu, seperti kawasan mixed-use yang membuat tempat tinggal, kerja, dan layanan publik berada dalam jarak dekat. Selain itu, subsidi transportasi atau insentif seperti perjalanan juga bisa membantu. Tidak kalah penting, kebijakan harus berbasis data misalnya dengan menggunakan indeks Transport Poverty Risk,” ungkap Yusuf dalam keterangannya, Senin (4/8/2025).

Angkutan Umum ke Kawasan Perumahan Masih Minim

Djoko Setijowarno, Pengamat MTI

Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menilai saah satu faktor tingginya biaya tansportasi pekerja komuter karena transportasi publik umumnya baru sebatas moda transportasi koridor utama atau backbone dan belum merambah ke kawasan pemukiman atau pelosok.

Idealnya, akses transportasi umum seharusnya berada dalam jarak 200 hingga maksimal 500 meter dari rumah atau tempat aktivitas seperti sekolah, perkantoran, dan pasar.

Dia menyoroti masih minimnya angkutan umum yang menjangkau kawasan perumahan di Kota Bekasi.

Menurut Djoko, kepala daerah, khususnya Wali Kota Bekasi, wajib untuk menyediakan akses transportasi publik yang terhubung langsung dengan seluruh kawasan perumahan. Ia menilai, transportasi umum akan mengurangi ketergantungan masyarakat dengan kendaraan pribadi.

“Jadi, tugas Wali Kota Bekasi itu menyediakan angkutan umum atau feeder yang masuk ke kawasan-kawasan perumahan. Itu kewajiban dia. Sangat disayangkan kalau wali kotanya nggak paham itu, apalagi dia alumni Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD). Kacau itu wali kotanya,” kata Djoko dalam keterangannya, Senin, (4/8/2025).

Ia menyebut, meskipun Bekasi telah dilayani berbagai moda transportasi massal seperti KRL, LRT, dan Transjabodetabek, namun layanan itu belum menyentuh titik-titik permukiman padat penduduk.

Pemerintah Kota Bekasi juga harus serius menyiapkan peran sebagai daerah mitra Jakarta dalam sistem transportasi Jabodetabek. Apalagi, Bekasi memiliki hampir 1.500 kawasan perumahan.

“Wali kotanya sudah tahu belum jumlah perumahan di Bekasi? Hampir 1.500 titik. Buat apa perumahan banyak, tapi nggak ada angkutan umum? Banyak rumah sudah dibangun tapi nggak laku karena nggak ada transportasi,” ujarnya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.

\