Jakarta, TheStance – Janji Presiden Prabowo Subianto saat dilantik untuk mengejar koruptor sampai ke Antartika kini seolah "jauh panggang dari api" setelah muncul kesan obral pengampunan kepada terdakwa kasus korupsi.

Terbaru, Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi.

Dua orang yang menjabat direksi bersama Ira dan jadi terdawa kasus korupsi di ASDP, yakni M. Yusuf Hadi (Direktur Komersial dan Pelayanan) dan Harry Muhammad Adhi Caksono (Direktur Perencanaan dan Pengembangan) juga mendapat rehabilitasi.

Prabowo menandatangani surat rehabilitasi itu Selasa sore (25/11/2025). "Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, alhamdulillah pada hari ini Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut," jelas Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad di kompleks Istana Merdeka, Selasa (25/11/2025).

Sebelumnya, Ira Puspadewi divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor dalam perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN). Kasus ini disorot karena salah satu hakim mengajukan perbedaan pendapat (dissenting opinion).

Ketua Majelis Hakim Sunoto menilai Ira Puspadewi dkk seharusnya mendapat putusan lepas atau dibebaskan karena minim bukti melakukan korupsi.

Selain tak ada aliran dana, akusisi itu adalah kebijakan bisnis yang jika dinilai sebagai tindakan korupsi justru memicu ketakutan bagi seluruh BUMN.

Pertimbangan Prabowo Beri Rehabilitasi

suasana sidang

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menjelaskan, pemberian rehabilitasi ini diawali dari aspirasi masyarakat yang ditampung DPR.

Selain itu, lanjut Prasetyo, Kementerian Hukum (Kemenkum) juga menerima aspirasi terkait kasus-kasus hukum, termasuk yang menimpa Ira.

Selanjutnya, Kemenkum bersurat kepada Presiden Prabowo Subianto agar kepala negara menggunakan hak rehabilitasi untuk Ira dan dua pejabat ASDP lainnya.

Isu pemberian rehabilitasi Ira Puspadewi ini kemudian dibawa ke dalam rapat terbatas (ratas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo.

"Dan Bapak Presiden memberikan keputusan untuk menggunakan hak beliau di dalam kasus yang tadi sudah disebutkan kasusnya, sudah berjalan cukup lama kepada Dirut ASDP beserta beberapa orang jajaran di ASDP," jelasnya.

Dari situlah Prabowo lantas menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) rehabilitasi kepada tiga mantan direksi ASDP tersebut.

"Berdasarkan permohonan dari Kementerian Hukum, Bapak Presiden memberikan persetujuan dan alhamdulillah baru pada sore hari ini beliau membubuhkan tanda tangan dan kami bertiga diminta menyampaikan ke publik," tambahnya.

Rehabilitasi Mantan Dirut ASDP Sesuai Prosedur

Menko Yusril

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril ihza mahendra menegaskan pemberian rehabilitasi kepada terpidana kasus korupsi eks Dirut ASDP Ira Puspadewi dkk sudah sesuai prosedur.

Menurut Yusril, rehabilitasi kepada Ira dkk telah sesuai ketentuan Pasal 14 UUD 45 dan konvensi ketatanegaraan yang berlaku, karena sudah meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Yusril menambahkan putusan pengadilan tipikor PN Jakarta Pusat yang mengadili ketiga eks direksi PT ASDP telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) karena ketiga terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum KPK tidak mengajukan banding.

Karena itu, Yusril menyatakan Prabowo berwenang memberikan rehabilitasi kepada mereka. Dengan pemberian rehabilitasi ini, kata Yusril, Ira Puspadewi dkk tidak perlu menjalani pidana yang dijatuhkan.

"Kemampuan, kedudukan, harkat dan martabat ketiganya sebagai warga negara dipulihkan kembali kepada keadaan semula sebelum ketiganya diadili dan dijatuhi putusan pidana oleh Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," kata Yusril.

Dia menyebut, pemberian rehabilitasi kepada individu warga negara RI pernah diberikan oleh Presiden BJ Habibie kepada Heru Rekso Dharsono pada 1998.

Prabowo baru-baru ini juga merehabilitasi dua guru di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yakni Abdul Muis dan Rasnal yang kini telah kembali aktif mengajar, setelah keduanya menjalani pidana sebagai pelaksanaan Putusan MA.

KPK Pasrah

ASDP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku pasrah atas rehabilitasi Prabowo terhadap Ira dkk. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak mengatakan pemberian rehabilitasi merupakan hak prerogatif dari Presiden dan tak dapat diganggu gugat lembaga lain.

"Hak prerogatif Presiden tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga lain karena kekuasaan tersebut diberikan langsung oleh UUD 1945 untuk memastikan Presiden dapat menjalankan tugasnya secara efektif," kata Tanak dalam keterangan tertulis, Selasa (25/11/2025).

Berdasarkan UUD 1945 Presiden memiliki hak prerogatif memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA, serta memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

KPK mengeklaim penanganan perkara korupsi pada akuisisi JN oleh ASDP sudah sesuai prosedur, dengan argumen: majelis hakim yang menyatakan ketiga terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menegaskan kinerja penyelidik, penyidik, bahkan para penuntut umum telah diuji dalam persidangan.

"Secara formil apa yang dilakukan oleh penyidik dan penyelidik itu tidak melanggar hukum. Artinya sesuai dengan prosedur yang ada. Kemudian secara material juga sudah dipertanggungjawabkan di persidangan," kata Asep dalam keterangannya yang dikutip Rabu (26/11/2025).

Bahkan, kata Asep, saat masih menjadi tersangka Ira dan dua orang lainnya sempat mengajukan praperadilan dan ditolak oleh hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Namun, KPK tak bisa mengintervensi keputusan Presiden yang merehabilitasi Ira dan dua terdakwa lainnya. "Itu sudah lagi tidak lagi berada dalam ranahnya kami, artinya tidak ada lagi dalam ranah penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan," kata Asep.

Saat ini, KPK menunggu salinan Keppres pemberian rehabilitasi terhadap Ira dkk sebelum mengeluarkan dia dari rumah tahanan.

Pukulan Telak Pemberantasan Korupsi

Praswad Nugraha

Keputusan Prabowo yang memberikan rehabilitasi pada terdakwa kasus korupsi itu justru memicu kritik tajam dari kalangan pengamat.

Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Praswad Nugraha, menilai langkah tersebut berpotensi menciptakan preseden berbahaya yang bisa dijadikan “blueprint” bagi pelaku korupsi lain untuk menghindari jerat hukum.

“Keputusan ini bisa menjadi blueprint bagi koruptor lain untuk mencari celah hukum guna menghindari pertanggungjawaban,” kata Praswad dalam keterangan tertulis, Rabu (26/11/2025).

Ia menyebut rehabilitasi ini sebagai pukulan telak bagi agenda pemberantasan korupsi di tanah air karena seolah mengirimkan sinyal bahwa hukum dapat dinegosiasikan melalui kekuasaan.

Menurutnya, kebijakan ini berpotensi melemahkan semangat pemberantasan korupsi di level institusi karena penegak hukum bisa kehilangan motivasi membangun kasus yang solid, jika putusan pengadilan dapat dianulir oleh keputusan politik sepihak.

Apalagi, menurut dia, fakta persidangan juga mengungkap praktik korupsi korporasi yang sistematis, mulai dari manipulasi proses akuisisi hingga mark-up harga kapal bekas.

“Ketika putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap bisa dikalahkan oleh keputusan politik sepihak dari istana, maka kita sedang menyaksikan kematian perlahan-lahan terhadap jerih payah bangsa ini berperang melawan korupsi,” ujarnya.

Praswad menyoroti standar ganda presiden. Di satu sisi Prabowo dinilai responsif terhadap aktor korporasi, namun lemah ketika menghadapi tuntutan publik merehabilitasi aktivis antikorupsi yang dikriminalisasi di berbagai daerah.

Wajah Buruk Penegakan Hukum

Zaenur Rohman

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menilai penggunaan kewenangan presiden dalam memberikan amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi di sejumlah kasus hukum memperburuk penegakan hukum.

Penganuliran hasil penyelidikan KPK oleh presiden ini merupakan yang kedua kali. Sebelumnya Prabowo memberikan amnesti untuk Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan yang menjadi terdakwa KPK dalam kasus suap PAW Harun Masiku.

Meski sudah divonis 3,5 tahun penjara, Hasto akhirnya dibebaskan dan kasusnya dianulir berkat amnesti Prabowo. Selain itu juga ada "anulir" putusan peradilan untuk mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong.

“Kalau kita hitung, untuk Tom Lembong, Hasto, kemudian kasus guru, dan sekarang kasus ASDP. Itu artinya sudah empat kelompok kasus,” ujarnya merinci.

Menurutnya, meski merupakan hak prerogratif presiden, penggunaan beruntun kewenangan tersebut menimbulkan tanda tanya serius mengenai kualitas proses penegakan hukum.

“Kita tidak bisa terus-menerus mengiyakan pemberian amnesti, grasi, abolisi, dan rehabilitasi, terutama jika kasusnya adalah tindak pidana korupsi. Harusnya langkah selanjutnya adalah legal reform, reformasi penegakan hukum,” tegas Zaenur.

Dalam dakwaan, KPK menunjukkan sejumlah tindakan menyimpang dalam akuisisi JN. Jika memang posisi Ira kuat, idealnya proses peradilan bisa membantah dakwaan-dakwaan tersebut. Namun, faktanya Ira kalah dan tak mengajukan banding.

“KPK yakin ada banyak persiapan yang berujung pada akuisisi tersebut, yang dalam prosesnya terdapat perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan,” jelasnya.

Baca Juga: Vonis 4,5 Tahun Mantan Dirut ASDP: Ketika Keputusan Bisnis Dipidanakan

Zaenur menegaskan bahwa rangkaian pemberian amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi tidak dapat menjadi solusi permanen terhadap masalah hukum di Tanah Air.

Problem mendasarnya justru terletak pada proses peradilan yang tidak ideal. Untuk itu, ia mendesak pemerintah agar tak menjadikan kewenangan prerogatif sebagai alat untuk “merevisi” putusan yudisial.

“Ayolah, presiden harus concern memperbaiki UU Tipikor, UU KPK, dan melanjutkan reformasi kepolisian. Reformasi penegakan hukum diperlukan agar eksekutif tidak terus menerus menggunakan hak prerogatifnya,” pungkasnya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance