Dicari: Penunggang Krisis Fiskal 2025 dan Pemicu Kegaduhan Sosial Daerah
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan ini seperti ada yang menggerakkan. Seperti ada konsensus di antara pemerintah daerah tersebut. Pertama, kenaikan terjadi serentak di berbagai daerah. Kedua, jumlah kenaikan tersebut sangat fantastis dan tak masuk akal, mencapai beberapa ratus persen.

Oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), akademisi yang mengawali karir di Institut Bisnis Indonesia (IBII), peraih gelar Magister Ekonomi Bisnis dari Erasmus University Rotterdam dan gelar profesional di bidang akuntansi manajemen dari Institute of Certified Management Accountants.
Ekonomi Indonesia saat ini sedang memasuki masa kritis. Krisis fiskal sedang bertransformasi dengan cepat. Banyak pemerintah daerah, Kabupaten dan Kota, secara serentak menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun ini.
Kenaikan pajak daerah yang sangat tinggi dan tidak wajar ini tidak bisa dipandang sepele. Karena, ini bukan masalah daerah semata, atau bukan masalah bupati arogan saja. Tetapi jauh lebih besar dan serius dari itu.
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di berbagai daerah secara serentak mencerminkan keuangan negara dalam kondisi kritis. Indonesia masuk krisis fiskal.
Yang memprihatinkan, pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan, mencoba lepas tanggung jawab.
Yang lebih bahaya, Kementerian Keuangan mengalihkan krisis fiskal yang merupakan permasalahan nasional menjadi permasalahan daerah, yang berpotensi besar memicu ketidakstabilan politik dan sosial di daerah.
Akar masalah krisis fiskal ini akibat penarikan utang secara ugal-ugalan selama sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Utang pemerintah melonjak dari Rp2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp8.680,13 triliun pada akhir 2024, atau naik 232,7%.
Dengan jumlah utang yang sangat besar tersebut, dan suku bunga pinjaman yang sangat tinggi, sekitar rata-rata 7% per tahun, maka beban bunga pinjaman juga melonjak tajam, membuat fiskal (APBN) semakin tertekan.
Jumlah (beban) bunga utang melonjak dari Rp133,4 triliun pada 2014 menjadi Rp527,2 triliun pada 2024, atau naik menjadi 4 kali lipat dalam 10 tahun. Beban bunga utang yang sangat besar ini tentu saja sangat menekan APBN.
Utang Naik, Pajak Malah Melemah
Di lain sisi, penerimaan pajak semakin melemah. Akibatnya sangat buruk. Penerimaan pajak terkuras untuk bayar bunga utang. Porsi penerimaan pajak untuk membayar bunga utang melonjak, dari hanya 11,6% pada 2014 menjadi 23,6% pada 2024.
Artinya, hampir satu per empat dari penerimaan pajak pemerintah habis untuk membayar bunga utang. Kondisi ini mencerminkan kondisi fiskal Indonesia sangat tidak sehat.
Kondisi fiskal yang terus melemah dan tidak sehat tersebut sudah berlangsung lama, secara konsisten. Artinya, kondisi ini merupakan permasalahan struktural, permasalahan fundamental.
Oleh karena itu, tanpa ada koreksi atau perbaikan secara struktural, maka krisis fiskal hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan saat ini waktunya sudah tiba, tahun 2025, Indonesia memasuki krisis fiskal.
Penerimaan pajak selama 6 bulan pertama tahun 2025 hanya mencapai Rp985,2 triliun, turun 4,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlah ini sangat rendah, hanya 8,48% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Di lain sisi, pembayaran bunga utang naik cukup tajam, menjadi Rp247,2 triliun selama periode Januari-Juni 2025, atau mencapai 25,1% dari penerimaan pajak, atau 2,1% dari PDB. Kondisi fiskal seperti ini sangat tidak sehat.
Krisis fiskal tidak terhindarkan. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya 8,48% sedangkan rasio pembayaran bunga utang mencapai 2,13% sehingga penerimaan pajak (net bunga pinjaman) yang dapat digunakan untuk belanja negara tersisa 6,35% saja.
Krisis Fiskal Tak Terhindarkan
Jumlah ini sangat rendah untuk bisa survived. Sebagai perbandingan, rasio penerimaan pajak (net bunga pinjaman) tahun 2008 dan tahun 2014 masing-masing mencapai 11,5% dan 9,6%. Krisis fiskal 2025 tidak dapat dihindarkan.
Nampaknya, Sri Mulyani mencoba mengalihkan krisis fiskal dari pusat ke daerah. Pada awal Februari 2025, dia memotong dana ‘transfer ke daerah’ sebesar Rp50,5 triliun atau sekitar 5,5% dari pagu anggaran.
Di samping itu, Sri Mulyani juga minta daerah kreatif mencari duit sendiri, jangan tergantung dari APBN atau APBD.
Dana APBN yang diterima pemerintah daerah, melalui ‘transfer ke daerah’, sebagian besar digunakan untuk belanja rutin. Oleh karena itu, pemotongan anggaran ‘transfer ke daerah’ membuat fiskal daerah menjadi kritis dan masuk krisis.
Sri Mulyani secara eksplisit minta daerah mencari sumber pendapatan sendiri. Cara yang paling mudah menaikkan pendapatan daerah melalui kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan. Jumlah ini juga paling besar.
Baca Juga: Pati, Kebijakan Pajak dan Krisis Politik
Anehnya, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan ini seperti ada yang menggerakkan. Seperti ada konsensus di antara pemerintah daerah tersebut.
Pertama, kenaikan Pajak dan Bumi Bangunan terjadi secara serentak di berbagai daerah. Kedua, jumlah kenaikan tersebut sangat fantastis dan tidak masuk akal, mencapai beberapa ratus persen.
Kenaikan pajak yang sangat tinggi ini dipastikan akan memicu protes keras dari penduduk setempat, yang bisa menjelma menjadi kerusuhan. Dan itu terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Kemungkinan besar protes ala Pati akan diikuti oleh daerah-daerah lain yang juga menaikkan pajak dalam jumlah yang tidak wajar, apabila tidak segera dikoreksi atau dibatalkan.
Pertanyaannya, siapa yang menggerakkan kenaikan pajak yang tidak wajar tersebut di berbagai daerah? Siapa yang menunggangi krisis fiskal untuk menciptakan kegaduhan politik?***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.