
Oleh Budi Laksono, dikenal sebagai “Dokter Jamban” setelah mencetak rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) atas dedikasinya membangun jamban berkelanjutan terbanyak di Indonesia, melalui yayasannya Wahana Bakti Sejahtera. Dosen Disaster Management Universitas Diponegoro (Undip) ini kerap menjadi relawan di daerah bencana.
Ketika 15 tahun lalu saya berwisata ke China, saya dipertunjukkan keindahan alam puncak dunia.
Tetapi saya berpikir, enggak akan kembali lagi ke China. Bukan karena kurang baik, atau karena makanan, melainkan karena hampir setiap saat sulit cari toilet yang baik. Hampir semua bau dan jorok.
Bukan itu saja, persepsi kesehatan dasar kita terusik, takut tertular traveler diarhea bahkan penyakit usus lain seperti tifus, desentri, Hepatitis A dll karena sanitasi buruk.
Bulan lalu, ada sahabat yang cerita kalau watercloset (WC) di China sudah bagus, terutama untuk area wisata. Dari Medsos diiklankan paket yang murah meriah juga. Maka, saya iseng daftar di ulang tahun (ultah) istri.
Yang saya amati pertama adalah toilet. Maklum, toilet adalah wajah kita yang baik atau jorok. Sejak mendarat di bandara hingga balik, tidak banyak petugas yang ditanam di WC seperti di Indonesia saat ini. Tetapi, toiletnya bersih, tidak bau.
Jarang saya jumpai petugas jaga, bahkan cuma sekali menemukan petugas jaga, dari lebih dari 20 kali ke toilet.
Kenapa? Ternyata petugas kerja sangat efektif, efisien. Selain memakai alat spray kotoran yang efektif, tempat kencingnya otomatis mengalirkan air ketika kita siap memakai, begitu juga ketika kita selesai.
Akibatnya, tak ada air kencing yang sempat berubah menjadi uap yang bau. Bahkan toilet, bila ada yang lupa guyur, otomatis airnya mengguyur juga.
Petugas yang terlatih, mungkin lulus Sekolah Teknik Menengah (STM), hanya seorang. Cukup bersihkan yang kotor. Juga perbaiki elektronik toilet yang rusak.
Untuk melatih anak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jadi petugas tidaklah sulit. Semua adakah ilmu dasar sanitasi.
Hubungan Toilet dan Kunjungan Wisata

Wisata saat ini menjadi tumpuan devisa negara. Itulah mengapa Jepang memberikan tiket masuk wisata gratis.
Bahkan mereka sedih ketika China mencegah 1 juta wisatawannya ke Jepang Desember ini gara-gara ucapan keliru ibu Perdana Menteri (PM) Jepang.
Kadang orang Indonesia, terutama pejabat wisata, heran. Mengapa Indonesia yang punya pantai lebih bagus, tarian lebih bagus, pemandangan lebih cantik, peninggalan budaya nomor satu dunia, wisatawannya kalah dari Malaysia, apalagi Thailand.
Banyak mereka muter-muter alasan, berkilah dan saling menyalahkan antar birokrasi kementerian karena ini.
Ibarat mencari setan, tetapi takut lihat setan di mana. Mereka cari setannya di laci, di pintu, di puncak gedung. Bahkan menyalahkan iklim, hujan, asongan, dll yang mereka punya alasan tak bisa kendalikan. Mereka lupa tanya atau survei wisata.
Mereka malas membaca riset jurnal wisata. Padahal di jurnal itu, ada jawabannya.
Sebanyak 62% wisatawan Eropa, Amerika bahkan Jepang, mengeluhkan sakit perut, diare setelah balik dari Indonesia. 35% nya malah harus berobat ke dokter. Padahal mereka sebelum ke Indonesia sudah divaksin tipus, kolera, dan disentri.
Memang itu melindungi. Tapi ada ratusan kuman usus lain yang berpotensi bikin masalah, dari golongan cacing, jamur, dan virus lainnya.
Maka, di London saja ada lebih dari 30 klinik wisata yang melayani orang yang mau berwisata ke Selatan. Mereka diwanti-wanti, jangan makan minum kecuali yang terstandarisasi, panas dll karena Selatan (termasuk Indonesia) sanitasinya jorok.
Indonesia Seperti Eropa 2 Abad Lalu
Jutaan orang masuk tak punya WC dan buang air sembarangan. Semua air sungai tercemar kuman usus. Setiap dari anda, pasti rendah diri karena daerah kita dianggap primitif, sama seperti Eropa juga (tapi 200 tahun lalu).
China baru saja membuka pintu bagi wisatawan asing. Tetapi Tiongkok cepat belajar, mereka memperbaiki diri seperti Huawai yang dengan cepat membuat mesin litografi--demi menjawab sanksi Amerika Serikat (AS).
Bukannya tak pernah bicara. Sebagai sekretaris Perhimpunan Kesehatan Wisata Indonesia (PKWI), saya seminarkan kesehatan wisata dan mengadvokasi pentingnya sanitasi area wisata.
Tetapi, kita selalu bicara sok. Ada Toilet terbanyak di dunia, toilet tangkai emas dll. Bukan itu solusinya, tetapi toilet sehat untuk semua area wisata: WC4ALL DESTINATION.
Banyak pengelola wisata mengeluh, tak ada dana, tak ada petugasnya. Keluhan ini mudah diatasi. Tidak perlu studi banding, Cukup serukan: bisa kerja atau tidak.
Memang manajemen mempengaruhi. Itulah mengapa saat ini, banyak pengusaha mengajari kita bagaimana 2 orang bisa kelola 100 ruang apartemen hotel dengan gaji @Rp4 juta. Ini bisa, karena pekerja langsung kerja pada management tanpa broker.
Manajemen tahu, benerin seprai itu perlu berapa menit, inspeksi WC perlu berapa menit. Bahkan pada detik, menit, jam berapa petugas itu membersihkan lantai depan kamar.
Baca juga: Air Minum Terbaik Manusia, Melawan Komersialisasi Air Minum Kemasan
Dari atas bisa disimpulkan bahwa toilet adalah destinasi riil wisata nomor 1. Untuk mencapai itu mudah murah asal manajemen tidak bodoh.
Bahkan Gerakan WC4ALL Destinasi Wisata bisa mudah digerakan mendasari kunjungan wisata daerah. WC4ALL FAMILY, adalah dasar dari desa, area wisata kita.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance