Pati, Kebijakan Pajak dan Krisis Politik
Kebijakan penaikan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Pati memicu demo besar yang berujung krisis politik. DPRD Pati membentuk Panitia Khusus (Pansus) pemakzulan. Daerah lain juga ramai menaikkan tarif PBB-P2, bahkan hingga 1.000%, menyusul efisiensi anggaran dari pusat.

Jakarta, TheStanceID – Bupati Pati, Sudewo, 56 tahun, kini merasakan amarah warganya sendiri.
Kebijakannya menaikkan PBB-P2 hingga 250% disambut demonstrasi warga Pati. Diperkirakan sampai 100 ribu massa berkumpul di pendopo kabupaten Pati, Rabu lalu (13/8/2025).
Polisi sudah terlihat kewalahan karena kalah jumlah.
Sudewo sempat naik ke mobil rantis polisi, berpidato di hadapan massa. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya," katanya. Tapi dia cuma bertahan 16 detik di atas mobil rantis, tidak sempat bicara hal lain lagi.
Pasalnya berbagai benda melayang ke arahnya: botol plastik, tomat dan telur busuk, hingga sandal jepit. Massa melempari Sudewo.
Polisi segera melindungi Sudewo dari berbagai lemparan dengan perisai anti-huru hara, membawanya masuk ke dalam gedung.
Akhirnya demonstrasi itu berujung ricuh. Polisi dipukul mundur. Massa bahkan menggulingkan dan membakar 1 unit mobil polisi dan sempat menduduki gedung DPRD.
DPRD Pati lalu menggelar rapat paripurna kilat. Mereka sepakat membentuk Panitia Khusus (Pansus) pemakzulan bupati. Semua partai setuju pembentukan Pansus tersebut, termasuk Gerindra --partai asal Sudewo.
Namun belum tentu pemakzulan itu akan berhasil. Sebab, berdasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), DPRD hanya mengusulkan.
Pemakzulan kepala daerah akan diuji dan diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA). MA yang akan memvonis, dari bahan-bahan yang disetorkan Pansus DPRD, apakah pemakzulan itu bisa diterima atau tidak.
Bupati Arogan, Massa Tuntut Sudewo Mundur
Sikap Sudewo yang terbuka meminta maaf kepada massa ini sangat berbeda dengan sikapnya pada awal Agustus lalu. Ketika itu, usai menaikkan PBB-P2 hingga 250%, Sudewo sangat berkeras dengan kebijakannya.
Dia sempat didemo, tapi jumlah massa relatif kecil. Sepertinya itu yang membuat dia percaya diri.
Sudewo bahkan menantang warga, tidak takut bila massa yang datang lebih besar.
"Silakan lakukan [demo]. Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang saja suruh mengerahkan. Saya tidak akan gentar. Terus maju. Saya tidak akan mengubah keputusan," katanya (5/8/2025).
"Saya tidak akan mundur satu langkah pun," tambahnya.
Tidak disangka, video Sudewo yang menantang warga untuk berdemo sampai 50.000 orang itu viral. Berdasarkan penelusuran TheStance, demo-demo awal di pendopo kabupaten Pati itu sudah berlangsung sejak 1 Agustus 2025.
Inisiatornya adalah kelompok yang menamakan diri Masyarakat Pati Bersatu. Koordinatornya bernama Ahmad Husein, 29 tahun, pemuda asal kecamatan Puncakwangi, Pati.
Husein dkk bahkan membuka posko donasi di dekat pendopo kabupaten, menerima donasi dalam bentuk apa pun kecuali uang. Pokso donasi itu dilengkapi spanduk bertuliskan "Penggalangan Donasi Masyarakat Pati Bersatu Aksi Demo 13 Agustus 2025”.
Mereka memang sudah menargetkan demo susulan pada Rabu, 13 Agustus 2025. Mengapa tidak menerima uang?
"Kalo kami menerima uang, khawatirnya nanti dikira aksi massa ini ada yang mendanai, ada yang mensponsori," kata Teguh Istiyanto, divisi logistik aksi (5/8/2025).
Menampung Tomat dan Telur Busuk
Teguh menjelaskan mereka menerima beras, air mineral, minyak goreng, dari masyarakat. Mereka juga menerima tomat busuk dan telur busuk.
Tomat dan telur busuk itu rencananya akan diserahkan ke Bupati Sudewo sebagai simbol penolakan atas kenaikan pajak PBB-P2.
Ketika itu tidak ada yang menduga aksi demonstrsi pada 13 Agustus 2025 itu akan demikian membludak. Husein dkk sendiri awalnya hanya menargetkan aksi pada 13 Agustus itu diikuti sampai 15.000 orang.
Tidak disangka sampai 100.000 orang turun ke jalan.
Viralnya video Sudewo yang menantang 50.000 warga untuk berdemo diduga menjadi pemicu membludaknya peserta aksi.
Dalam catatan TheStance, melihat penolakan warga Pati yang makin keras, Sudewo sendiri sebenarnya memilih mundur teratur. Pada 8 Agustus 2025 dia mengumumkan pembatalan kenaikan pajak PBB-P2.
Namun aksi pada 13 Agustus tetap lanjut. Hanya tuntutannya berubah: Sudewo harus mundur dari jabatannya.
Sudewo sendiri menolak mundur.
Aksi 13 Agustus itu akhirnya membludak, berujung ricuh dan panas.
Beberapa video yang viral di media sosial misalnya memperlihatkan polisi anti-huru hara berhasil dipukul mundur, dan beberapa anggota polisi dipukuli demonstran.
Dinas Kesehatan Pati melaporkan sebanyak 64 orang terluka dalam aksi itu. Untungnya tidak ada korban tewas. Sedangkan, polisi melaporkan 11 orang ditangkap karena dinilai menjadi provokator.
Alasan Pemkab Pati Naikkan Tarif PBB
Mengapa Sudewo menaikkan tarif PBB-P2? Sudewo menyebut salah satu alasannya PBB-P2 hingga 250% adalah karena selama 14 tahun PBB=P2 tidak naik.
Selama ini Pati hanya menghimpun Rp29 miliar dari pajak bumi dan bangunan. Jauh lebih rendah dari tetangganya, Jepara dan Rembang, yang mengumpulkan Rp75 miliar dan Rp50 miliar.
Penerimaan cekak itu dianggap tak sebanding dengan potensi dan luas geografis kabupaten Pati.
"[PBB] Kabupaten Rembang itu Rp50 milar, kabupaten Kudus juga Rp50 miliar. Padahal Kabupaten Pati lebih besar daripada Kudus dan Rembang," kata Sudewo (6/8/2025).
Menurut Sudewo, nantinya hasil kenaikan tarif PBB itu akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD Soewondo, serta pembangunan sektor pertanian dan perikanan.
"[Kenaikan tarif] ini upaya untuk meningkatkan pembangunan, tidak untuk pribadi saya," katanya.
Sudewo juga mengeklaim warga yang membayar tarif pajak terbaru ini sudah hampir 50%.
APBD Pati Tidak Sehat
Berdasarkan penelusuran TheStanceID, APBD 2025 Kabupaten Pati termasuk tidak sehat. Pasalnya Pati sangat mengandalkan dana transfer pusat. sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat kecil.
Untuk diketahui, sumber pendapatan kabupaten ada dua, yaitu PAD dan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Pada 2025, APBD Pati menargetkan pendapatan sebesar Rp2,87 trilun, sedangan belanja sebesar Rp2,94 trliliun --artinya defisit.
Tapi dari target pendapatan Rp2,87 triliun itu, berapa porsi PAD?
Sangat kecil. Mengutip data dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan, di Portal SIKD, PAD Pati untuk tahun 2025 ditarget sebesar Rp548,5 miliar. Itu pun realisasi per 12 Agustus 2005 baru terkumpul Rp363 miliar.
Dengan kata lain, Pati hanya berkontribusi 19% dari total pendapatan daerah. Sisa 81% berasal dari dana transfer pusat.
Yang lebih parah, alokasi belanja pegawai (gaji) di Pati mencapai Rp1,34 triliun, atau setara 45,5% dari total belanja. Alokasi belanja pegawai ini memakan porsi terbesar APBD Pati.
Bila dilihat dari target PAD Pati 2025 yang hanya Rp548,5 miliar, ini artinya kabupaten Pati bahkan tidak sanggup membayar gaji pegawainya sendiri dari PAD.
Mereka sangat tergantung pada dana transfer pusat bahkan untuk membayar gaji pegawai.
Rendahnya PAD Pati dan tingginya kebutuhan belanja ini yang diduga jadi salah satu pemicu Pemkab Pati menggenjot PBB, yang akhirnya memicu penolakan warga.
Salah satu warga Pati, Erry, yang berprofesi sebagai penjual makanan di tepi jalan ini mengaku PBB yang harus dibayar tahun ini dari rumah pribadi seluas 126 meter persegi, sebesar Rp92.000. Angka ini meningkat lebih dari 300% dari tahun lalu, yaitu Rp29.000.
"Belum saya bayar, karena saya kan kemarin dengar kalau mau ada demo. Saya tunggu saja, siapa tahu nanti turun setelah adanya demo itu," kata Erry dikutip dari BBCIndonesia.
Ramai-Ramai Pemda Naikkan Tarif PBB
Tapi tidak hanya Pati. Beberapa daerah juga menaikkan tarif PBB. Berikut data yang dihimpun TheStance.
1. Kabupaten Jombang, Jawa Timur
Di wilayah ini, beberapa warga yang mendapati kenaikan PBB hingga 400% dan bahkan lebih.
Sebagai bentuk protes, Fattah Rochim, warga Desa Pulolor, membayar pajak PBB-P2 rumahnya yang melonjak dari Rp400 ribu menjadi Rp1,3 juta dengan uang koin dari celengan anaknya.
Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Jombang berdalih, kenaikan pajak secara signifikan itu terjadi akibat kebijakan pembaruan data nilai jual obyek pajak (NJOP) yang lama tidak dilakukan.
Sementara itu, NJOP menjadi salah satu komponen dalam penghitungan PBB.
2. Kabupaten Semarang, Jawa tengah
Warga di Kabupaten Semarang mendapati kenaikan PBB lebih dari 400%. Kasus Tukimah (69 tahun) menjadi sorotan ketika tagihan PBB rumahnya melonjak dari Rp161.000 menjadi Rp872.000.
Namun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Semarang menyebut bahwa tidak ada kenaikan tarif PBB, melainkan hanya penilaian ulang terhadap obyek PBB.
Fokus penilaian ulang obyek PBB di Kabupaten Semarang adalah pada bidang yang mengalami perubahan fungsi. Meski demikian, banyak warga yang tetap merasa keberatan dan mengajukan permohonan keringanan pajak.
3. Kota Cirebon, Jawa Barat
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB di Kota Cirebon melambung hingga 1.000% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Warga keberatan dengan kenaikan yang terlalu tinggi, tetapi pemerintah kota mengeklaim hal itu sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi yang menjadi dasar kenaikan PBB.
Warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon kemudian meminta pemerintah agar membatalkan Perda Nomor 1 Tahun 2024 yang menjadi dasar kenaikan PBB-P2 2024–2025 dan mengembalikannya ke tarif PBB tahun 2023.
Warga juga meminta agar Wali Kota tidak menjadikan pajak sebagai komponen terbesar PAD, melainkan mencari sumber pendapatan lain, melakukan efisiensi, dan menutup kebocoran anggaran.
Efisiensi Anggaran Bikin Kas Daerah Cekak
Mengapa banyak daerah menggenjot PBB? Banyak pengamat menilai keputusan Prabowo melakukan efisiensi anggaran berdampak pada turunnya jumlah transfer dana pusat ke daerah.
Kepala daerah pun merespon kebijakan efisiensi itu dengan menggenjot PAD. PBB-P2 sebagai salah satu pajak yang ditarik daerah pun menjadi sasaran. Hanya, penggenjotan tarif PBB-P2 secara tiba-tiba ini membuat rakyat tercekik.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, menilai langkah pusat mencadangkan Transfer ke Daeah (TKD) hasil efisiensi dan tidak menyalurkannya ke daerah, memukul belanja modal daerah.
“Belajar dari enam bulan terakhir saat Inpres 1/2025 berlaku, pemotongan TKD sekitar Rp50 triliun, terutama pada DAK (Dana Alokasi Khusus) fisik, berdampak signifikan. Hampir setengah DAK fisik dipangkas dan itu sangat mengganggu proyek-proyek infrastruktur yang menjadi kewenangan daerah,” kata Armand dalam keterangannya, Senin (11/8/2025).
Selain infrastruktur, efisiensi belanja juga memukul sektor jasa. Misalnya, adanya larang pusat untuk kegiatan di hotel berdampak pada industri perhotelan dan restoran di daerah, serta mengurangi penerimaan pajak daerah.
“Kalau aktivitas di hotel dan restoran berkurang, penerimaan dari pajak hotel dan restoran juga turun. Jadi efeknya berlapis,” tambah Armand.
Tak heran dengan kondisi efiseinsi, sebagian kepala daerah kemudian memilih cara instan, menaikkan pendapatan dengan menggenjot PBB.
Kenaikan Pajak Harus Bertahap dan Terukur
Pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, FX Sugianto, menyebut kasus Pati adalah cermin sempurna dari buruknya tata kelola kebijakan, arogansi kekuasaan, dan semakin dalamnya krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Menurut Sugianto, menaikkan PBB secara drastis di tengah kondisi ekonomi yang masih lesu adalah langkah yang tidak masuk akal.
“Naik sampai 250%, itu tidak wajar. Kebijakan pajak harus pakai nalar, kajian akademik, dan lihat kondisi ekonomi. Kalau ekonomi sedang lesu, menaikkan pajak seperti ini sama saja mengundang kemarahan publik,” kata Sugianto.
Dia menilai, persoalan utama bukan sekadar pada angka kenaikan, melainkan pada tata kelola kebijakan yang buruk, di mana transparansi dan sosialisasi kepada masyarakat nyaris nol besar
Kenaikan PBB, terutama yang ekstrem, akan sangat memukul masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Sebagai solusi, Sugianto menyarankan agar setiap kenaikan pajak dilakukan secara bertahap dan terukur. “Kalau targetnya 250% kenapa tidak dicicil dalam lima tahun? Jangan langsung gebrak meja. Itu bikin rakyat syok,” tambahnya.
Baca Juga: Nasib Warga, Mau Sehat Tapi Fasilitas Olahraga Dipajaki 10 Persen
Dia menilai, idealnya kenaikan PBB tidak lebih dari 100% per tahun, dengan mempertimbangkan tingkat inflasi dan kemampuan ekonomi masyarakat.
Ia juga menekankan tiga prinsip yang harus dipegang pemerintah dalam membuat kebijakan pajak: kemanfaatan yang jelas bagi warga, mempertimbangkan kemampuan masyarakat menanggung beban, dan tidak menekan daya beli.
Kasus kenaikan PBB di Pati yang akhirnya berujung pada krisis politik daerah seharusnya jadi pelajaran bagi kepala daerah lain.
Rakyat bukan cuma objek penarikan pajak yang bisa diperah. Kepala daerah harus kreatif dan hati-hati ketika merumuskan kebijakan pajak. (est/bsf)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.