
Oleh Pipit Aprilia Rahapit, jurnalis yang fokus menekuni kebijakan publik, kini sedang menempuh studi pasca-sarjana Bidang Komunikasi Politik.
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) akhirnya disahkan pada Selasa lalu (18/11/2025). Senyap tapi brutal, karena sejumlah pasal berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) sementara kepolisian diberi posisi hukum semakin luas dan kuat.
Panitia Kerja RUU KUHAP menyepakati 14 substansi utama yang menjadi kerangka pembaruan hukum acara pidana.
Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.
Penyesuaian nilai hukum acara pidana sesuai KUHP baru yang menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif.
Penegasan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin masyarakat.
Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum
Penguatan koordinasi antarlembaga.
Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk perlindungan dari ancaman dan kekerasan
Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana.
Pengaturan mekanisme keadilan restoratif
Perlindungan khusus kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, anak, dan lansia
Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh tahap pemeriksaan
Perbaikan pengaturan upaya paksa dengan memperkuat asas due process of law
Pengenalan mekanisme hukum baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi.
Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi; pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau pihak yang dirugikan
Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani menekankan bahwa laporan hasil pembahasan KUHAP sudah cukup jelas dan berharap publik yang masih menolak proses legislasi ini tidak termakan hoaks terkait substansi KUHAP baru yang disahkan.
Namun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Mohamad Isnur mempertanyakan rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada masa sidang ini yang hanya berlangsung 2 hari, pada 12-13 November 2025.
Di situ, pemerintah dan Komisi III DPR mempresentasikan pasal-pasal yang diklaim sebagai masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP, yang berisi delapan lembaga sosial masyarakat (LSM).
Mereka adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Namun yang dipresentasikan ternyata memiliki substansi yang jauh berbeda dari masukan Koalisi, baik yang disampaikan di rapat dengar pendapat umum (RDPU), di draf RUU KUHAP tandingan atau dokumen masukan lainnya ke DPR dan pemerintah.
“Ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil,” ujar Isnur melalui keterangan tertulisnya.
Misalnya terkait usulan perluasan alat bukti, berupa pengamatan hakim di Pasal 222 RKUHAP, dan Penjelasan Pasal 33 ayat (2) draf RKUHAP soal definisi intimidasi yang terbatas pada penggunaan atau menunjukkan senjata/benda tajam saat pemeriksaan.
Koalisi mengaku tidak ada yang mengajukan masukan tersebut. Demikian juga soal "perlindungan sementara" yang katanya diajukan YLBHI. Padahal, YLBIH tidak pernah memberikan masukan redaksional soal itu.
Banyak Pasal Karet

Dari aspek substansi, pembahasan RUU KUHAP yang super singkat ini seperti mengulang insiden Juli 2025, saat mereka tak membahas pasal-pasal yang dipersoalkan, pasal karet dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang.
Misalnya, operasi undercover buy (pembelian terselubung) & controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) kini bisa dijalankan di tahap penyelidikan untuk semua kasus, tak lagi hanya di tahap penyidikan tindak pidana khusus narkotika.
Hal itu termuat di Pasal 16. Mengutip YLBHI, semua bisa kena melalui pasal karet dengan dalih mengamankan, khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana di Pasal 5.
Bahkan, jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP sebelumnya, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tak boleh untuk melakukan penahanan.
Sementara itu dalam Pasal 5 UU KUHAP yang baru, mereka yang kasusnya baru tahap penyelidikan bisa ditangkap, dicekal, digeledah, dan bahkan ditahan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi.
Selain itu, semua bisa ditangkap dan ditahan sewenang-wenang tanpa izin hakim. YLBHI menilai Penangkapan dan Penahanan Paksa membuka lebar ruang kesewenangwenangan aparat karena tidak ada pengawasan lembaga pengadilan.
Aspek penting ini sama sekali tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP Pasal 90 dan 93. Tragisnya skema penahanan RUU KUHAP dibuat alternatif antara surat perintah penahanan yang praktiknya bisa dibuat penyidik sendiri atau melalui penetapan hakim.
"Skema ini terang-terangan mendorong penyidik menghindari pengawasan yudisial Pasal 93 ayat 1,” kata Isnur.
Pasal Restoratif Rawan Pemerasan

Kita juga tak bisa mengabaikan risiko di balik pasal restorative justice (RJ). Pasal 74a RUU KUHAP membolehkan kesepakatan damai antara pelaku dan korban di tahap penyelidikan (yang belum tentu ada tindak pidana).
Hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya berupa surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun sesuai Pasal 79.
Di sisi lain, hakim tak diwajibkan melakukan pemeriksaan substansial (judicial scrutiny) atau memberi opsi menolak penetapan kesepakatan RJ jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lain oleh aparat, seperti di Pasal 78 dan 79.
Ini akan menciptakan bilik gelap penyelidikan yang bisa memicu pemerasan atau pemaksaan damai berdalih restorasi. Penetapan hakim untuk penghentian penyidikan hanya akan jadi stempel karena tak ada sistem check and balance.
Tak hanya itu, polisi juga menjadi lembaga superpower. Semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik khusus kini di bawah koordinasi polisi, yang mendapat kontrol sangat besar seperti tertuang pada Pasal 7 dan Pasal 8.
Padahal, Kepolisian masih memiliki banyak catatan maladministrasi dan penyalahgunaan kewenangan, seperti beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahun, belum optimal menindaklanjuti laporan masyarakat, praktik kriminalisasi dan sebagainya.
“Belum lagi masalah transparansi dan akuntabilitas penanganan perkara oleh kepolisian, apalagi masalah impunitas ketika itu menyangkut tersangka yang juga anggota kepolisian,” tutur Isnur.
Status Bantuan Hukum Jadi Ambigu

Selain itu, rumusan pasal bantuan hukum terlihat ambigu yang menciptakan ketidakpastian hukum karena di satu sisi bantuan hukum diberikan karena merupakan kewajiban, tapi di sisi lain bantuan hukum dapat ditolak atau dilepaskan.
Pasal-pasal di RKUHAP juga masih bersifat ableistik karena tak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif.
Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual yang berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention).
Pasalnya, penjatuhan sanksi tidak berdasarkan putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan. Akibatnya, praktik koersif bisa terjadi dengan dalih penegakan hukum.
Lebih parahnya lagi, pihak yang memiliki gangguan fisik dan gangguan mental berat diperlakukan tidak setara, dengan menambah durasi penahanan paling lama 60 (enampuluh) hari seperti yang tertuang pada Pasal 99.
Baca Juga: Undang-Undang KUHAP Disahkan, Giliran UU LPSK Jadi Sasaran Revisi
Yang lebih memprihatinkan, KUHAP yang baru akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026 tanpa masa transisi, dan langsung mengikat jutaan aparat penegak hukum dan warga tanpa kesiapan infrastruktur dan pengetahuan.
Padahal, ada lebih dari 10 Peraturan Pemerintah (PP) yang harus dikebut sebagai peraturan pelaksana sebagaimana tertuang di Pasal 332 dan 334. Artinya, potensi kekacauan penerapan KUHAP yang baru sangat terbuka lebar.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.