Jakarta, TheStance – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memicu polemik bakal berlanjut dengan revisi UU yang terkait dengan KUHAP, yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban (PSDK).
Anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad Irawan meyakinkan bahwa KUHAP yang baru ini memuat sejumlah terobosan penting, termasuk penguatan perlindungan saksi dan korban, restitusi, serta pendampingan.
Penguatan ini akan ditindaklanjuti dengan revisi Undang-Undang PSDK, yang jadi payung hukum bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kini, draf revisi UU PSDK telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025–2026.
“Sejak berdirinya LPSK pada 2008 dan revisi undang-undang tahun 2014, banyak perubahan zaman yang membuat negara harus menyesuaikan mekanisme perlindungan,” ujarnya, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Namun, pihaknya menyoroti kecenderungan lembaga yang selalu meminta penambahan kewenangan. Ia mempertanyakan apakah akar kelemahan perlindungan selama ini berasal dari regulasi atau justru terkait kapasitas internal lembaga.
“Semua lembaga datang ke DPR meminta penambahan kewenangan. Tantangannya adalah menyinkronkan mana yang benar-benar urgen dan mana yang dapat diatasi melalui kerjasama antarlembaga,” katanya.
Salah satu usulan krusial yang disorot adalah kebutuhan LPSK untuk memiliki satuan pengawalan sendiri, khususnya untuk kasus yang melibatkan aktor kuat secara politik atau finansial.
Ahmad menekankan langkah ini harus dibarengi pembenahan subsistem lain di LPSK, termasuk perlindungan teknis, tata cara pengajuan whistleblower, hingga perlindungan korban lintas negara seperti penipuan siber yang menjerat pekerja migran.
Ia menegaskan bahwa revisi ditujukan menjawab kebutuhan zaman, di tengah makin berkembangnya modus kejahatan.
“Negara dan lembaga-lembaganya harus mampu beradaptasi agar perlindungan saksi dan korban berjalan efektif,” ujarnya, menekankan bahwa perlindungan ini adalah instrumen penting mengungkap kejahatan dan pemenuhan hak konstitusi warga.
Rampung di Awal 2026

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XIII DPR Sugiat Santoso mengungkap keyakinannya bahwa Rancangan UU Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSDK) dapat disahkan secepatnya, paling lambat pada awal 2026.
"Tapi kita optimistis bahwa, tadi dikatakan paling lama tiga masa sidang, kita optimistis kalaupun tidak bisa pada akhir sidang di DPR, nanti awal tahun depan mungkin sudah tuntas," ujarnya dalam dikusi “Upaya Konkret DPR RI Memaksimalkan Perlindungan bagi Saksi dan Korban Lewat RUU PSDK”.
Pembahasan RUU PSDK, lanjut dia, terkait dengan UU KUHP dan UU KUHAP. Proses finalisasi RUU PSDK pun harus menunggu kepastian UU KUHAP yang baru saja disahkan DPR melalui Rapat Paripurna pada hari yang sama diskusi tersebut berlangsung.
"Kalau KUHP sudah tuntas, KUHAP kita tunggu, karena kan pasti nanti akan mengikuti itu. Apakah nanti ada ruang bagi undang-undang ini untuk masuk proses pro-justitia. Kalau masih ada ruang, pasti kita akan mengikuti bagaimana KUHAP yang akan nanti ditetapkan sebagai undang-undang,” tuturnya.
Lebih jauh, ia menekankan perlunya revisi UU untuk memastikan keadilan rehabilitatif dan restoratif bagi korban maupun saksi, bukan hanya fokus pada pemberian hukuman berat kepada pelaku.
“Dalam konteks keadilan rehabilitatif, kalau kita hanya menghukum si pemerkosa seberat-beratnya, tapi korban pemerkosaannya tidak dilakukan proses rehabilitatif, hancur kehidupannya, mungkin dia sudah mengandung anaknya gimana dan sebagainya, itu kan tidak adil juga bagi si korban,” sambungnya.
Oleh karena itu, draf UU PSDK tak hanya fokus pada pelaku kejahatan, melainkan juga pada korban, dengan harapan memulihkan kondisi korban. “Itulah kenapa ada pasal terkait residusia," sambungnya.
"Bagaimana seluruh korban tindak-tindakan kejahatan itu, ketika dia dalam konteks penegakan hukumnya, yaitu dilindungi, tidak boleh intimidasi, tapi juga setelah itu dia juga harus ada kehadiran negara untuk merehabilitasi kehidupannya,” pungkasnya.
Pandangan LPSK
LPSK secara tegas menilai regulasi saat ini sudah usang dan menghambat efektivitas kerja lembaga, terutama di tengah pergeseran paradigma hukum pidana nasional yang diinisiasi oleh pengesahan KUHP dan RUU KUHAP.
Anggota LPSK Susilaningtias mengakui bahwa sistem perlindungan saksi dan korban di Indonesia, yang menyatukan fungsi perlindungan dan bantuan dalam satu lembaga, adalah model yang jauh lebih baik ketimbang negara lain di Asia.
Namun, setelah hampir dua dekade, UU LPSK memerlukan penyesuaian radikal. "Dalam praktiknya memang banyak hal yang kami jumpai ada kekurangannya," ujarnya.
Pihaknya berharap ada perluasan kewenangan, penambahan subjek perlindungan, hingga penyesuaian mekanisme operasional yang selama ini dianggap menyulitkan.
Dalam paparannya, Susilaningtias menggarisbawahi beberapa isu krusial yang harus diadopsi dalam RUU KUHAP. Pertama, perluasan lingkup tindak pidana, sebab saat ini pekerjaan LPSK dibatasi hanya pada 10 tindak pidana prioritas.
“LPSK mendesak agar cakupan diperluas mencakup tindak pidana terkait kehutanan, lingkungan, dan Hak Asasi Manusia, yang kerap melibatkan ancaman serius terhadap saksi dan korban,” tuturnya.
Kedua, penambahan subjek dan hak korban. LPSK menuntut adanya penambahan subjek perlindungan bagi Informan individu yang banyak memberikan informasi penting untuk penegakan hukum pidana, meskipun tidak berstatus saksi atau korban.
Ketiga, LPSK meminta adopsi mekanisme Victim Impact Statement (Victim Infeksi), di mana korban bisa menyampaikan keterangan soal dampak kejahatan yang dialami agar bisa jadi pertimbangan penting bagi hakim sesuai amanat RUU KUHAP.
Baca Juga: DPR Sahkan UU KUHAP Meski Banyak Pasal Bermasalah
Keeempat, reformasi mekanisme dan kelembagaan, salah satu poin paling mendesak adalah revisi batas waktu penetapan perlindungan. UU PDSK saat ini menetapkan batas waktu pengabulan permohonan perlindungan hanya tujuh hari.
"Ini membuat kami agak susah karena tujuh hari itu rumit bagi kami, seringkali kita belum mendapatkan apa-apa tujuh hari itu," jelas Susilaningtias.
LPSK memerlukan waktu lebih panjang (bahkan 14 hari untuk kelengkapan berkas) untuk melakukan penelaahan substantif, investigasi, dan pengecekan.
Termasuk di antaranya untuk mengecek keterangan pemohon, ada/tidaknya ancaman, hasil pemeriksaan medis/psikologis (untuk korban), dan track record (rekam jejak) pemohon.
Kelima, LPSK menuntut penguatan kelembagaan, termasuk satuan khusus perlindungan agar tak selalu bergantung pada kepolisian.
Keenam, perlu penguatan koordinasi dengan pemerintah daerah, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Kementerian Pendidikan untuk penanganan kasus-kasus sensitif seperti kekerasan seksual pada anak.
Terakhir, LPSK menyoroti kebutuhan Dana Abadi Korban dan penyesuaian istilah "perlindungan" agar selaras dengan terminologi dalam undang-undang lain, termasuk KUHAP yang baru disahkan.
Dengan cakupan kasus yang meluas hingga transnasional (seperti kasus online scammer di Kamboja atau Thailand), kerja sama internasional juga menjadi kunci yang harus diatur lebih eksplisit.
Publik tentu berharap revisi UU LPSK memastikan bahwa jargon "penguatan perlindungan saksi dan korban" dalam KUHAP yang baru dapat diimplementasikan secara penuh, bukan sekadar janji di atas kertas. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance