Jakarta, TheStance – Meski ditolak koalisi masyarakat sipil, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada Selasa (18/11/2025).
Keputusan tersebut diambil dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR, Puan Maharani, setelah mendengar laporan Ketua Komisi III, Habiburokhman.
"Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP apakah dapat disetujui menjadi UU?” tanya Puan. Seluruh peserta rapat paripurna pun kompak menyatakan “Setuju”.
Sebelumnya pada Kamis (13/11/2025), Komisi III DPR dan pemerintah telah resmi menyepakati seluruh substansi perubahan RKUHAP.
Pengesahan ini dilakukan meski para aktivis menilai banyak pasal bermasalah di RUU tersebut. Pasal-pasal itu dikhawatirkan memberi dasar perlakuan sewenang-wenang oleh aparat.
Sekadar catatan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan pedoman tata cara penegak hukum, mulai dari polisi sampai jaksa, dalam melaksanakan kewenangannya. Fokusnya dengan demikian pada prosedur penegakan hukum.
KUHAP bertalian erat dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang menetapkan jenis tindak pidana serta ancaman hukuman.
KUHAP Baru Diklaim Kuatkan Hak Warga

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengeklaim isi KUHAP baru ini berbeda dengan yang lama. Dia menyebut di KUHAP lama, kekuasaan aparat penegak hukum terlalu kuat. Sedangkan di KUHAP baru, sebaliknya hak warga yang diperkuat.
"Kalau di KUHAP baru, warga negara diperkuat, diberdayakan, haknya diperkuat, melalui juga penguatan profesi advokat sebagai orang yang mendampingi warga negara," kata Habib saat membacakan laporan Komisi III dalam Rapat Paripurna pengesahan RKUHAP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Habib menambahkan, KUHAP baru ini juga melindungi warga negara dari penyiksaan selama proses hukum.
Dalam Pasal 143 huruf m (hak saksi) dan Pasal 144 huruf y (hak korban) secara tegas dijamin hak bebas dari penyiksaan, intimidasi, perbuatan tidak manusiawi yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Politisi Partai Gerindra ini mengatakan dalam KUHAP baru juga diatur tentang perekaman selama pemeriksaan, yaitu di Pasal 30 ayat (2).
"Dalam pemeriksaan menurut KUHAP baru, harus ada kamera pengawas. Jadi ini memperkecil ruang terjadinya penyiksaan dan intimidasi. Aturan ini tidak ada di KUHAP lama," katanya.
Selain itu, KUHAP baru juga mengatur mekanisme penahanan yang lebih objektif dengan delapan poin syarat penahanan. "Di KUHAP lama, penahanan sangat subjektif, bisa seleranya penyidik saja, suka-sukanya, di KUHAP yang baru tidak," kata Habib.
"Kemudian yang paling penting adalah tentang keadilan restoratif. Dengan KUHAP baru ada mekanisme keadilan restoratif, bisa bertemu antara pelaku dengan korban, dicari titik temunya, sehingga tidak perlu lanjut ke proses hukum," tambahnya.
Pencatutan Nama Organisasi Sipil

DPR juga mengeklaim beberapa pasal di dalam RUU KUHAP itu merupakan masukan dari masyarakat sipil. Habiburokhman mengatakan masukan dari masyarakat sipil mencapai 99,9% dari isi KUHAP yang baru.
“Kami tidak bisa memenuhi semua masukan, tapi ini 99% isinya berasal dari usulan masyarakat sipil,” katanya sebelum rapat paripurna berlangsung.
Hal itu dibantah koalisi organisasi masyarakat sipil, di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS).
Demikian juga dengan Lembaga Bantuan Hukum Apik, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Mereka menyatakan nama mereka dicatut DPR. Sejumlah masukan isi pasal yang dibacakan dalam rapat panja RUU KUHAP juga berbeda secara substansial dengan masukan yang diberikan koalisi sipil.
Koalisi menilai tidak ada substansial dari pembahasan Panja. Pembahasan terbaru disebut tidak menunjukkan perubahan dibandingkan dengan draf pada Juli 2025.
Oleh karena itu, dalam konferensi pers bersama akhir pekan lalu, koalisi meminta Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI menunda proses pembahasan aturan tersebut.
Pasal-Pasal Bermasalah di RUU KUHAP

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai, terdapat tumpukan masalah dari aspek proses pembahasan dan substansi RUU KUHAP yang diputuskan.
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, berdasarkan draf RUU KUHAP terbaru per 13 November 2025, ada pasal-pasal yang problematik.
Pasal 16, "Penyelidikan dapat dilakukan dengan cara: a. pengolahan tempat kejadian perkara; b. pengamatan; c. wawancara; d. pembuntutan; e. penyamaran; f. pembelian terselubung; g. penyerahan di bawah pengawasan; h. pelacakan; i. penelitian dan analisis dokumen; j. mendatangi atau mengundang seseorang untuk memperoleh keterangan; dan/atau k. kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 16 ayat (1) RUU KUHAP.
Koalisi menyoroti bagaimana DPR dan pemerintah menyertakan elemen "pembelian terselubung" (undercover buy) serta "pengiriman di bawah pengawasan" (controlled delivery) ke dalam metode penyelidikan.
Sebelumnya, baik undercover buy maupun controlled delivery hanya dipakai untuk tindak pidana khusus, yakni narkotika, serta menjadi kewenangan penyidikan. Kini, keduanya bisa dipraktikkan ke semua jenis tindak pidana.
Perluasan itu, ungkap koalisi, "berpotensi membuka penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum guna menciptakan tindak pidana" lantaran sifatnya yang tidak diawasi hakim.
"Dan merekayasa siapa pelakunya yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana," ucap koalisi.
Pasal 5, "Penyelidik atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan berupa: a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan; b. pemeriksaan dan penyitaan surat; c. mengambil sidik jari, melakukan identifikasi, memotret seseorang dan data forensik seseorang; dan d. membawa dan menghadapkan seseorang pada Penyidik," demikian bunyi Pasal 5 ayat (2) RUU KUHAP.
Menurut Koalisi, semua bisa kena pasal ini. Sebab, penangkapan bisa dilakukan pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana.
Pada Pasal 5 KUHAP yang berlaku saat ini, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk menahan seseorang.
"Namun dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan, dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan bahkan penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi," kata koalisi ini.

- Pasal 90 dan 93
Pasal 90 menyatakan, penangkapan dilakukan paling lama 1x24 jam, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sementara itu, Pasal 93 ayat (1) menyebutkan "penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 hanya dapat dilakukan berdasarkan surat perintah penahanan atau penetapan Hakim terhadap Tersangka atau Terdakwa yang melakukan tindak pidana atau melakukan percobaan atau pemberian bantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
"Upaya paksa penangkapan dan penahanan sebagaimana saat ini membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui pemeriksaan habeas corpus, serta penyimpangan aturan mengenai masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1x24 jam) dalam undang-undang sektoral di luar KUHAP juga tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93)," ujar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.
- Pasal 105, 112A, 132A, dan Pasal 124
Upaya Paksa Penggeledahan, Penyitaan, Pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif aparat (Pasal 105, 112A, 132A).
RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk (Pasal 124).
Akibatnya, negara dapat memasuki ruang-ruang privat (komunikasi dan korepondensi pribadi) dengan semakin leluasa, dengan dalih untuk mengusut tindak pidana namun tidak jelas bagaimana perlindungan terhadap data pribadi yang telah dikuasainya.
Akhirnya, celah-celah penyalahgunaan hingga pemerasan sangat mungkin bisa terjadi karena konstruksi aturan RUU KUHAP yang sedari awal bermasalah.
- Pasal 74
"Mekanisme Keadilan Restoratif dilaksanakan pada tahap: a. penyelidikan; b. penyidikan; c. penuntutan; dan d. pemeriksaan di sidang pengadilan," bunyi Pasal 74 ayat (2).
Menurut Koalisi, aturan itu berpotensi menyebabkan orang diperas dan dipaksa damai dengan dalih restorative justice, bahkan di ruang penyelidikan yang belum terbukti ada tindak pidana.
- Pasal 7 dan 8
Semua PPNS dan Penyidik Khusus di letakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8).
Padahal selama ini mestinya polisi yang harus diawasi. Kepolisian masih memiliki banyak catatan masalah maladministrasi namun juga penyalahgunaan kewenangan.
Selain itu, selama ini Polri masih memiliki beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana.
- Pasal 137
"Terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan," demikian bunyi Pasal 137A ayat (1).
Koalisi menilai, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual. Pasal itu juga dinilai secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.
Proses Pembahasan Ugal-Ugalan

Sejak awal, proses penyusunan RUU KUHAP tidak luput dari tekanan, terutama terkait dengan partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation).
Berasarkan catatan TheStance, bulan Juli 2025, pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP mengundang sorotan karena sebanyak 1.676 poin DIM, selesai dibahas hanya dalam dua hari.
Sebelumnya, di luar masalah DIM, koalisi sipil turut menyoroti keberadaan draf RUU KUHAP yang lahir dalam secepat kilat. Pada awal Februari 2025, draf itu "muncul tiba-tiba," dan seketika disepakati "menjadi draf versi DPR pada awal Maret 2025."
Terbaru, proses Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada masa sidang 2025 cuma berjalan dua hari, tepatnya pada 12-13 November 2025. Pemerintah dan DPR mengaku membahas masukan pasal yang diklaim dari masyarakat sipil.
Namun, koalisi sipil menemukan bahwa pembacaan masukan atas pasal di forum itu tidak akurat dan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang diberikan koalisi melalui berbagai kanal.
"Kami menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan pemerintah telah mengakomodir masukan," demikian tutur koalisi.
Lantas, mengapa DPR dan Pemerintah terkesan "terburu-buru" ingin menyelesaikan RUU KUHAP ?
Baca Juga: Polemik Proses Rancangan KUHAP: Partisipasi Masyarakat Sudah Meaningful?
Wakil Menteri Hukum, Edward OS Hiariej, menjelaskan pembahasan RUU KUHAP wajib diselesaikan tahun ini. Sebab, KUHAP punya korelasi dengan pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan mulai 2 Januari 2026.
"Mau tidak mau, suka tidak suka, bahkan senang atau tidak senang, RUU KUHAP harus disahkan pada 2025 ini. RUU KUHAP memiliki implikasi signifikan terhadap KUHP," terangnya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP juga mengritisi UU KUHAP yang berlaku tanpa masa transisi, dimana langsung mengikat jutaan aparat dan warga tanpa kesiapan infrastruktur dan pengetahuan hanya karena harus berlaku mulai 2 Januari 2026.
Ditambah, lebih dari 10 Peraturan Pemerintah yang akan mengatur teknis RUU ini juga belum tersedia.
"Artinya, potensi kekacauan praktik KUHAP Baru yang diterapkan tanpa adanya peraturan pelaksana akan sangat nyata terjadi setidaknya selama setahun ke depan," ungkap Koalisi.
Bagi koalisi, hal ini seperti meminta publik mengikuti aturan yang kerangkanya sendiri belum lengkap. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance