Jakarta, TheStance – Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) diwarnai polemik mengenai sudah berjalannya partisipasi berarti (meaningful participation) dari masyarakat, atau belum.

Tanpa partisipasi publik yang signifikan dalam proses penyusunannya, RKUHAP berisiko menjadi alat kontrol penguasa terhadap publik yang berisiko mengerdilkan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Hal itu menjadi kegelisahan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyikapi proses Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang diproses dengan transparansi minim, jelang pengesahan akhir Desember 2025 mendatang.

Menurutnya, persoalan RUU KUHAP saat ini sifatnya masih reguler, namun bisa menurunkan kualitas isi dari tujuan RUU KUHAP karena ketiadaan partisipasi berarti (meaningful participation) dari masyarakat.

“Seharusnya, dalam pengertian keterbukaan itu, DPR aktif menjemput aspirasi, baik dengan mendatangi kampus-kampus maupun mengundang tokoh-tokoh masyarakat yang kompeten,” ujarnya kepada TheStance, Senin (11/8/2025).

Meski pemerintah mengkelaim telah menerima berbagai masukan, Abdul mengaku gelisah lantaran dalam pandangannya proses pembahasan RUU KUHAP berjalan cepat tanpa disertai ruang partisipasi publik yang memadai.

Aspirasi yang disebut-sebut telah dihimpun itu sering kali tidak transparan mekanismenya dan tak menjamin bahwa usulan masyarakat benar-benar diakomodasi dalam draf final. Pada ujungnya, RKUHAP bisa terkena badai delegitimasi.

“Akan terjadi ledakan, apakah itu berupa ketidakpatuhan di mana-mana, atau berupa pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.

Punya Cara Sendiri

Edward OS Hiariej

Wakil Menteri Hukum RI (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej atau biasa disapa Eddy Hiariej, mengeklaim pemerintah dan DPR terus menggali masukan dari berbagai elemen masyarakat dalam pembahasan RUU KUHAP atau RKUHAP.

Menurut dia, RUU KUHAP masih terbuka untuk diperdebatkan, bahkan DPR berencana melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menerima aspirasi masyarakat.

Dia juga mengatakan bahwa Kementerian Hukum melakukan inventarisasi masukan yang rinci dan jelas, mencakup pihak siapa yang memberikan masukan apa di tanggal berapa, termasuk pertimbangan kenapa diakomodasi atau tidak.

“Kami dari pemerintah dan DPR wajib untuk mendengarkan masukan, wajib untuk mempertimbangkan, kemudian dalam pertimbangan kita kenapa tidak digunakan usulan ‘A’ tapi kita menggunakan usulan ‘B’, itu kita wajib untuk menjelaskan kepada publik. Itu adalah arti dari meaningful participation,” kata Eddy dalam keterangan tertulis, Senin (11/8/2025).

Filosofi hukum acara pidana, menurut dia, bukan fokus memproses tersangka melainkan melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara.

Karenanya, RUU KUHAP yang saat ini dibahas sedang diformulasikan agar hukum nantinya tak mengutamakan satu pihak dan menciptakan ketidakadilan.

“Ketika berbicara mengenai hak korban, hak tersangka, hak perempuan, hak saksi, hak disabilitas, itu semua akan kita tampung karena pengarusutamaan dari filosofi hukum pidana tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melindungi HAM dari kesewenang-wenangan individu,” sambungnya.

Harus Membuka Access to Justice

Abdul Fickar menegaskan KUHAP harus menjamin ruang gerak yang setara antara masyarakat dan penasihat hukum (advokat) dalam mengawal proses pidana, bahkan sejak tahap penyelidikan.

“Intinya adalah access to justice, yakni membuka akses dan ruang partisipasi masyarakat di setiap tahapan proses, sehingga kerja-kerja penegakan hukum tidak terjebak menjadi alat penekanan, alat politik, atau alat persaingan bisnis,” sambung dia.

Dengan keseimbangan peran antara aparat penegak hukum, advokat, dan masyarakat sipil, setiap pihak pun berkesempatan untuk menyampaikan pandangan, mengawasi jalannya proses, dan membela haknya secara sah dalam proses peradilan.

Selain itu, ahli hukum Universitas Trisakti ini menegaskan bahwa hukum harus dapat berfungsi untuk melindungi hak warga negara, menjamin kepastian hukum, serta menjaga keadilan yang berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi dan HAM.

Abdul menyeru masyarakat untuk memanfaatkan peran LSM untuk berpartisipasi mengawal RKUHAP karena akan menyentuh setiap aspek kehidupan dalam masyarakat. “Harus ada pengaturan keseimbangan peran antara negara dan warga negara.”

Baca Juga: Prinsip Keadilan Setara Dinilai Masih Absen dalam RKUHAP

Menanggapi itu, Eddy mengakui bahwa KUHAP yang saat ini berlaku (dan karenanya sedang diubah) lebih berfokus pada kewenangan aparat penegak hukum, bukan pada perlindungan HAM.

Karenanya, RUU KUHAP dijanjikan akan disusun dengan prinsip due process of law, yang akan menjamin serta melindungi hak-hak individu, termasuk memastikan aparat penegak hukum menjalankan aturan dalam KUHAP.

Eddy juga mengaku setuju dengan adanya pengungkapan kebenaran demi memberikan kepastian hukum. Dengan ini, maka seseorang yang kedapatan melakukan tindakan pidana dua kali tidak bisa lagi mendapatkan restorative justice.

“Pengungkapan kebenaran itu harus ada. Karena kalau tidak, kan dia tidak tahu dia benar atau salah. Nanti kasihan itu korban tidak mempunyai kepastian hukum. Harus ada suatu pengungkapan kebenaran supaya ketika dia melakukan perbuatan pidana lagi, tidak bisa lagi direstorasi lagi karena sudah lebih dari satu kali,” paparnya.

Dengan pembaruan RKUHAP, kata dia, akan ada pembatasan pemberlakuan mekanisme restorasi. Eddy yakin, pembaruan RUU KUHAP ini mampu menghadirkan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.

Peran Advokat Bakal Diperkuat

sidang tom lembong

Pria kelahiran Ambon, Maluku ini mengakui ada dua kepentingan yang bertentangan dalam hukum acara pidana yaitu pihak pelapor dan pihak terlapor.

Di satu sisi ada kewenangan aparat penegak hukum, di sisi lain kewenangan tersebut perlu dikontrol agar tidak melanggar HAM. Karenanya dia berjanji akan merancang hukum acara pidana senetral mungkin.

“Untuk mencegah supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap warga, dalam usulan pemerintah kita mengatakan bahwa untuk menyeimbangkan antara kewenangan polisi dan jaksa yang begitu besar, tidak lain dan tidak bukan kita harus memperkuat dan memposisikan advokat ini sederajat dengan polisi dan jaksa,” tutur Eddy.

Dia menjelaskan bahwa dalam RUU KUHAP, advokat memiliki peran krusial. Setiap individu yang menjalani proses hukum sejak tahap penyelidikan wajib didampingi advokat, yang berhak mengajukan keberatan dan dicatat di berita acara pemeriksaan.

“Peran advokat sangat sentral karena mulai seseorang ketika dipanggil, belum masuk ke penyidikan, ketika dia dipanggil untuk dimintai klarifikasi atau keterangan pada tahap penyelidikan, itu dia wajib didampingi oleh advokat,” kata lanjutnya.

Mengedepankan prinsip meaningful participation dan memperkuat posisi advokat sejajar dengan aparat penegak hukum, DPR dan pemerintah ingin memastikan proses hukum tak hanya menjamin kepastian dan ketertiban, tapi juga melindungi HAM.

Eddy optimistis, jika rancangan ini disusun secara matang dengan melibatkan partisipasi publik yang luas, KUHAP akan menjadi instrumen hukum yang menjawab tantangan penegakan hukum modern sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.