Rabu, 20 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Saat Integritas Data BPS Dipertanyakan

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025 sebesar 5,12% diragukan para ekonom. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai tidak sesuai realitas di lapangan. BPS pun dilaporkan ke Badan Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pemerintah mengeklaim tidak ada permainan data.

By
in Big Shift on
Saat Integritas Data BPS Dipertanyakan
Ilustrasi Badan Pusat Statistik (BPS)

Jakarta, TheStanceID – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2025 (April-Juni) tumbuh meyakinkan, sebesar 5,12%. Angka itu jauh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 4,87% year-on-year (yoy).

Data itu disampaikan BPS pada Selasa pekan lalu (5/8/2025).

Tapi para ekonom tidak menyambut positif data kenaikan ekonomi tersebut. Justru bekernyit. Pasalnya data yang disampaikan BPS dinilai tidak sesuai dengan realitas ekonomi di masyarakat.

Dari daya beli masyarakat lemah, konsumsi rumah tangga stagnan, pesimisme melingkupi benak produsen, hingga peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri.

Bagaimana bisa dicapai angka 5,12%?

Para ekonom pun akhirnya bersuara.

Janggal, Konsumsi Triwulan II Lebih Tinggi ketimbang Lebaran

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan kejanggalan terlihat dari pertumbuhan ekonomi triwulan II-2025 yang lebih tinggi dibandingkan kuartal I pada tahun yang sama.

Pasalnya pada triwulan I-2025 (Januari-Maret) ada momen Ramadhan dan Idul Fitri. Biasanya konsumsi masyarakat meningkat pada Lebaran, yang akan terlihat dalam pertumbuhan ekonomi triwulanan.

Data pertumbuhan triwulan I-2025 dilaporkan sebesar 4,87%.

Dengan rilis triwulan II-2025 yang sebesar 5,12%, ini artinya konsumsi masyarakat di triiwulan-II lebih tinggi dibanding konsumsi ketika momen Ramadhan dan Lebaran.

Apakah ini logis? Menurut Nailul tidak.

“Triwulan I-2025 saja hanya tumbuh 4,87%. Jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan II mencapai 5,12%” kata Nailul dalam keterangan tertulis, Selasa, (5/8/2025).

Baca Juga: PHK Melejit tapi Angka Kemiskinan Turun, Integritas Data BPS Dipertanyakan

Kejanggalan kedua yang disorot Celios adalah data pertumbuhan industri pengolahan. Menurut data BPS, industri pengolahan tumbuh 5,68% (yoy) dan berkontribusi sebesar 1,13% terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Tapi dari indeks manajer pembelian atau Purchasing Managers’ Index (PMI), tercatat sektor manufaktur Indonesia mengalami kontraksi, berada di bawah level 50 poin selama April-Juni 2025.

“Artinya, perusahaan tidak melakukan ekspansi secara signifikan,” ucap Nailul.

Memburuknya industri manufaktur salah satunya ditandai dengan meningkatnya jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada periode Januari-Juni 2025.

Dari data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), jumlah tenaga kerja yang terkena PHK pada Januari-Juni 2025 mencapai 42.385 orang. Angka itu naik sekitar 32,19% dari periode yang sama pada tahun lalu, yaitu sebanyak 32.064 orang.

Mengapa di tengah memburuknya industri manufaktur data BPS menyatakan industri pengolahan justru tumbuh?

“Ketidaksinkronan antara data pertumbuhan ekonomi dengan leading indicator, membuat saya pribadi tidak percaya terhadap data yang dirilis oleh BPS,” ujar Nailul.

Pertumbuhan Perdagangan Tak Begitu Tinggi

Tak hanya Celios, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) turut mempertanyakan data pertumbuhan ekonomi versi BPS.

Salah satu hal yang disorot Indef adalah sektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 5,37% (yoy).

Kepala Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, mengatakan berdasarkan konfirmasi Indef kepada pihak retail dan asosiasi, pertumbuhan perdagangan besar dan eceran pada triwulan kedua tak terlihat begitu tinggi.

“Bahkan fenomena Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) jadi salah satu yang mendorong perdagangan di industri retail tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Andry Satrio, Rabu, (6/8/2025).

Indef juga menyinggung soal investasi yang diukur melalui Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), dimana pertumbuhan komponen PMTB mencapai 6,99 persen secara tahunan.

Indef: 12 Indikator Ekonomi Bertentangan dengan Data BPS

ilustrasi buruh pabrik

Indef bahkan menggelar diskus publik membahas hal ini, berjudul "Tanggapan atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025", Rabu (6/8/2025).

Dalam diskusi itu, disebutkan setidaknya ada 12 indikator ekonomi yang menunjukkan pelemahan, dan karenanya bertentangan dengan klaim BPS bahwa pertumbuhan ekonomi naik.

12 indikator itu adalah:

  1. Penjualan motor dan mobil turun.

  2. PMI manufaktur berkontraksi (lebih kecil dari 50 poin).

  3. Konsumsi rumah tangga turun.

  4. Foreign Direct Investment (FDI) turun, yang berdampak pada investasi sektor riil.

  5. Inflasi naik pada Juli 2025, yaitu sebesar 2,37% dibandingkan Juni yang sebesar 1,87%.

  6. Peningkatan jumlah PHK, yang meningkat 32% dibanding 2024.

  7. Kredit perbankan turun pada Juni 2025, yaitu sebesar 7,7% (yoy) dibanding Mei yang mencapai 8.43% (yoy).

  8. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun, yaitu menjadi 117,8 pada Juni dari sebelumnya 121,1 pada Maret 2025.

  9. Indeks Ekspektasi Penghasilan (IEP) turun sedikit pada Juni 2025, yaitu sebesar 133,2 dari bulan sebelumnya yang sebesar 135,4. IEP menunjukkan masyarakat pesimis penghasilan mereka akan meningkat, yang mendukung hipotesis pelemahan konsumsi rumah tangga. Sekadar catatan, survey IKK dan IEP dilakukan oleh Bank Indonesia.

  10. Peningkatan gejolak eksternal, seperti penurunan ekspor, tarif Trump, dan ketdakpastian geopolitik. Lazimnya berbagai tekanan eksternal ini akan menekan investasi dan perdagangan.

  11. Capital outflow sebesar Rp59 trilun di bursa saham, yang mengindikasikan kondisi pasar keuangan tidak terlalu menarik. Capital outflow akan menekan investasi, terutama investasi portofolio.

  12. Penerimaan pajak turun. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pajak per semester I-2025 mencapai Rp 831,27 triliun atau 38% dari target APBN 2025 senilai Rp 2.189,3 triliun. Kinerja penerimaan semester I-2025 ini turun 7% dari realisasi semester I-2024 senilai Rp 893,85 triliun. Hal ini menyebabkan rasio pajak atau tax ratio turun dari 8,3% jadi 7,1% pada semester I-2025.

M. Fadhil Hasan, ekonom senior Indef, menyoroti penurunan penerimaan pajak ini, yang juga mencakup penurunan penermaan dari Pajak Penghasilan (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

”Seharusnya, penerimaan pajak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Jika ekonomi tumbuh, konsumsi meningkat dan penerimaan dari PPN serta PPnBM juga naik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,” katanya dalam diskusi.

“Seharusnya pemerintah itu betul-betul lebih transparan lagi ya, lebih terbuka lagi, lebih akuntabel lagi di dalam hal memberikan pernyataan tentang pertumbuhan ekonomi tersebut,” kata Fadhil lagi.

Pertumbuhan Triwulan II-2025 Diperkirakan Di Bawah 5% 

Fadhil menyatakan bahwa para ekonom memperkirakan bahwa pertumbuhan triwulan II-2025 akan berada di bawah 5%. Karena itu banyak yang kaget ketika BPS merilis angka 5,12%.

Dalam catatan TheStance, ini memang salah satu kebiasaan terkait angka pertumbuhan ekonomi.

Sebelum BPS merilis data resmi, para ekonom dari berbagai institusi, baik think tank atau badan komersial seperti perbankan, biasanya sudah memiliki prediksi terlebih dahulu.

Prediksi itu berasal dari berbagai indikator ekonomi yang dihimpun terpisah dari berbagai lembaga, seperti survey Bank Indonesia, data penjualan dari berbagai asosiasi pengusaha, laporan kinerja APBN dari Kementerian Keuangan, kinerja perbankan, fluktuasi pasar modal, hingga prediksi lembaga keuangan asing.

Dari berbagai data yang tersebar itu lazimnya akan dicapai konsensus mengenai angka pertumbuhan ekonomi, baik untuk worst-case scenario atau skenario paling optimis.

Rilis resmi BPS biasanya hanya menjadi validator atas konsensus tersebut, dan lazimnya angkanya memang tidak terpaut jauh.

Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. mengatakan tidak heran bila rilis pertumbuhan triwulan II-2025 oleh BPS disambut dengan kecurigaan massal. Sebab, data yang disampaikan BPS bertentangan dengan konsensus.

Dia mencontohkan prediksi IMF dan Bank Dunia yang mematok angka pertumbuhan triwulan II-2025 berada di kisaran 4,7-4,8%.

Lalu di dalam negeri, Bank Indonesia memberi prediksi rentang 4,7-5,1%. Sedangkan lembaga think tank seperti Indef dan LPEM FEB UI memberikan proyeks di angka 4,8% dan 4,95%.

"Angka realisasi BPS justru melampaui batas atas skenario paling optimis sekalipun," kata Achmad.

BPS Klaim Data Berpegang pada Standar Internasional

Menanggapi keraguan sejumlah ekonom terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tercatat sebesar 5,12% pada kuartal II-2025, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan bahwa BPS selalu berpegang pada standar internasional dalam menyusun dan merilis data.

“Kan ada standar internasional,” kata Amalia di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (6/8/2025).

Ia juga memastikan bahwa seluruh data pendukung dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi telah lengkap dan andal.

“Data-data pendukungnya sudah oke. Sudah semua. Pendukungnya sudah mantap lah itu,” tegasnya.

Pemerintah Bantah Permainan Data

Airlangga hartarto

Hal sama disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Dia membantah dugaan permainan data pertumbuhan ekonomi, termasuk kecuriagaan data ekonomi sengaja dikerek naik.

“Mana ada (permainan data),” kata Airlangga kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa, (5/8/2025).

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah tetap berpedoman terhadap data-data yang dirilis oleh BPS.

Dia juga mengatakan pemerintah tetap akan percaya dengan data-data tersebut.

“Ya, kita selama ini menggunakan (data) BPS kan ya. Jadi, BPS tentunya menjelaskan mengenai datanya, metodologinya, sumber informasinya. Kita tetap percaya BPS,” kata Sri Mulyani, Rabu (6/8/2025).

Celios Laporkan BPS ke Badan Statistik PBB

Celios

Hanya, persoalan jadi makin ramai setelah Celios melaporkan BPS ke Badan Statistik PBB, yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan pelaporan ke PBB untuk menjaga kredibilitas data BPS, yang selama ini digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk masyarakat umum.

Surat itu sendiri berisi permintaan agar Badan Statistik PBB melakukan investigasi atas data pertumbuhan ekonomi triwulan ke-II 2025 yang sebesar 5,12%.

Pasalnya, CELIOS coba melihat ulang seluruh indikator yang disampaikan BPS, dan menemukan industri manufaktur tumbuh tinggi, padahal PMI Manufaktur tercatat kontraksi pada periode yang sama.

Celios menilai bahwa BPS sebagai badan statistik yang tunduk tunduk pada standar statistik internasional, perlu bebas dari kepentingan politik, transparan dan menjaga integritas data.

"Data yang tidak sinkron, tentu harus dijawab dengan transparansi," kata Bhima, Jumat (8/8/2025).

Kedua Kalinya Data BPS Dipertanyakan

Dalam catatan The Stance, ini kedua kalinya data BPS dipersoalkan. Sebelumnya pada akhir Juli 2025, BPS melaporkan penurunan jumlah warga miskin Indonesia.

Dalam rilisnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap angka kemiskinan Indonesia turun menjadi 23,85 juta orang per Maret 2025 atau mengalami penurunan 0,2% jika dibandingkan dengan September 2024.

Namun para ekonom menilai data itu tidak valid dan tidak mencerminkan realitas sebenarnya.

Pasalnya BPS menggunakan standar kemiskinan berdasarkan standar Purchasing Power Parity (PPP) 2017, di mana garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran per kapita di bawah US$2,15 per hari atau Rp20.305 per hari, atau sekitar Rp 629.000 per bulan.

Sementara, Bank Dunia sudah merevisi standar kemiskinan melalui PPP 2021, di mana garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran di level US$3 per kapita per hari atau sekitar Rp49.079 per hari atau Rp 1.472.370 per bulan.

Karena BPS menggunakan standar lama penghitungan garis kemiskinan, akibatnya jumlah penduduk miskin Indonesia pun berkurang.

Tapi bila dihitung dengan standar baru PPP 2021, maka realitasnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebenarnya bertambah. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.

\