Jakarta, TheStance – Di tengah era keterbukaan informasi, China mengumumkan aturan untuk "menertibkan"media sosial. Indonesia dikabarkan akan mengadopsi langkah serupa. Jika diterapkan, suara kritis di media sosial dikhawatirkan dibungkam.
Beijing mengumumkan kebijakan baru. Per 25 Oktober 2025, pemerintah China melalui Cyberspace Administration of China (CAC) secara efektif melarang "sembarang orang" menjadi influencer.
Mereka yang ingin membahas topik profesional termasuk kedokteran, hukum, keuangan, politik, dan pendidikan kini wajib memiliki kualifikasi terverifikasi, seperti gelar universitas atau lisensi profesi.
Dalih resmi yang diumumkan CAC adalah untuk "memulihkan kepercayaan publik" dan "menekan penyebaran informasi menyesatkan" sesuai dengan arahan Presiden China Xi Jinping untuk menciptakan "ruang siber yang lebih bersih".
Platform seperti Douyin (TikTok versi China) dan Weibo (X versi China) wajib memverifikasi ketat sumber rujukan konten dan wajib memberi label kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Namun, kebijakan ini dinilai sebagai legitimasi sensor yang lebih dalam menciptakan 'pagar' elitis, di mana hanya mereka yang 'disetujui' secara profesional dan "terdaftar negara" yang boleh bersuara di media sosial terkait isu-isu sensitif.
Larangan iklan produk medis yang berbalut edukasi juga menimbulkan kegelisahan. Bagi banyak pengamat, ini adalah langkah nyata untuk membungkam suara independen dan membatasi kebebasan bersuara dengan kedok 'akuntabilitas'.
Singapura Sudah Duluan
Kebijakan baru China ini membedakan antara "pengalaman pribadi" dan "arahan profesional". Seorang vlogger boleh mengulas skincare, tapi dilarang memberi saran dermatologis.
Seorang blogger boleh bicara tabungan pribadi, tapi tak boleh mengulas investasi tanpa sertifikasi. Garis pemisah inilah yang dikhawatirkan akan digunakan untuk membungkam kritik terhadap kebijakan ekonomi atau hukum pemerintah.
Negara lain yang menerapkan aturan serupa adalah Singapura, yang mengatur ketat para influencer yang menyampaikan informasi kepada publik.
Secara umum, mereka wajib mematuhi Singapore Code of Advertising Practice (SCAP) yang diterbitkan oleh Advertising Standards Authority of Singapore (ASAS) serta Guidelines on Interactive Marketing Communication and Social Media.
Aturan ini bertujuan memastikan keterbukaan, terutama agar publik mengetahui apakah konten yang diunggah merupakan iklan atau hasil kerja sama komersial.
Selain itu, lisensi diperlukan untuk menjamin bahwa informasi yang dibagikan tidak bersifat menyesatkan atau mengandung disinformasi.
Secara khusus, regulasi ini lebih ketat diberlakukan bagi influencer yang membahas keuangan dan investasi, atau yang dikenal sebagai “finfluencer”.
Monetary Authority of Singapore (MAS) mensyaratkan agar tiap finfluencer yang memberikan saran keuangan tunduk pada Financial Advisers Act dan terdaftar sebagai perwakilan resmi dari perusahaan penasihat keuangan yang berizin.
Amerika & Italia Perangi Iklan Berkedok Konten
Amerika Serikat (AS) melalui Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Commission/FTC) pernah mengeluarkan panduan berjudul “Disclosures 101 for Social Media Influencers” yang bertujuan menekan praktik iklan menyesatkan di media sosial.
Dalam dokumen tersebut, FTC menegaskan bahwa setiap influencer bertanggung jawab untuk membuat pengungkapan yang jelas, memahami pedoman endorsement, serta mematuhi undang-undang yang melarang iklan palsu.
“Jangan bergantung pada pihak lain untuk melakukannya,” tegas FTC.
Lembaga itu juga mewajibkan para influencer untuk secara transparan mengungkapkan jika mereka memiliki hubungan dengan suatu merek, baik berupa hubungan pribadi, keluarga, maupun finansial.
“Misalnya, jika merek tersebut membayar Anda, atau memberikan produk, layanan gratis, atau potongan harga. Menginformasikan hal ini kepada pengikut penting agar rekomendasi yang Anda sampaikan tetap dianggap jujur,” tulis FTC.
Sementara itu, Otoritas komunikasi Italia, AGCOM, pada tahun 2024 memberlakukan peraturan baru lebih ketat untuk meningkatkan transparansi konten media sosial para influencer.
Kebijakan ini muncul setelah kasus influencer ternama Chiara Ferragni, yang memiliki lebih dari 30 juta pengikut di Instagram, didenda lebih dari 1 juta euro oleh Badan Antimonopoli Italia akibat ketidakjelasan dalam promosi kegiatan amal Natal.
Menurut laporan Reuters, regulasi tersebut berlaku bagi influencer yang membuat konten berbahasa Italia dan bekerja sama dengan merek asal Italia, terutama mereka yang memiliki lebih dari 1 juta pengikut di platform media sosial.
Setiap unggahan bersponsor wajib diberi label jelas agar mudah dikenali publik. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada denda hingga 600 ribu euro.
Selain itu, influencer diwajibkan mematuhi kode etik media, yang menekankan pentingnya komunikasi yang netral serta melarang penyebaran berita palsu, konten diskriminatif, dan ujaran rasisme.
Australia Atur Ekosistem Influencer
Australia membentuk Australian Influencer Marketing Council (AiMCO) sebagai lembaga yang bertugas mengatur ekosistem industri influencer. Mereka menerbitkan Kode Praktik yang jadi pedoman bagi influencer dan merek dalam menjalin kerja sama.
Pedoman tersebut mencakup kriteria pemilihan influencer berdasarkan kredibilitas dan kesesuaian audiens, kecocokan antara nilai brand dan karakter influencer, kewajiban pengungkapan jenis kolaborasi atau konten berbayar, serta pengaturan terkait kontrak kerja sama antara kedua pihak.
Meski regulasi itu sudah diterapkan, Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) masih menemukan banyak pelanggaran di lapangan.
Berdasarkan laporan di situs resminya, 81% warga Australia menyatakan kekhawatiran terhadap konten yang dibuat oleh para influencer.
Data ACCC menunjukkan tiga kategori influencer yang paling sering dikeluhkan publik adalah influencer fashion, influencer rumah tangga dan gaya pengasuhan, serta influencer wisata dan gaya hidup.
ACCC menyoroti bahwa banyak influencer tidak secara terbuka mengungkap hubungan komersial mereka dengan merek tertentu, sehingga publik sulit membedakan antara konten iklan dan konten organik.
Selain itu, sejumlah influencer juga kerap memberikan informasi yang salah atau menyesatkan mengenai produk maupun layanan yang mereka promosikan.
Baca Juga: Influencer Ikut Gaungkan 17+8 Tuntutan, Elit Hanya Beri Separuh Jawaban
Di Belanda, para influencer diwajibkan mendaftar ke Otoritas Media Belanda (CvdM) agar aktivitas mereka dapat diawasi secara resmi.
Kewajiban ini berlaku bagi influencer dengan lebih dari 500.000 pengikut di platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok, rutin membuat konten profesional, memperoleh penghasilan dari iklan atau endorsement, dan menargetkan audiens di Belanda.
Selain itu, influencer dengan pengikut besar juga harus terdaftar sebagai pengusaha di Kamar Dagang Belanda (KVK). Mereka diwajibkan menjelaskan secara transparan apakah unggahan yang dibuat merupakan iklan, sponsor, atau promosi (placement).
Regulasi ini juga menekankan larangan mengeksploitasi anak di bawah umur dalam konten, serta mengharuskan influencer untuk tidak memberikan informasi yang menyesatkan atau keliru saat membuat konten berbayar atau promosi.
Indonesia tidak mau ketinggalan. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance