Jakarta, TheStance – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan kepala daerah sebagai tersangka. Kali ini menimpa Gubernur Riau, Abdul Wahid.
Wahid ditangkap KPK pada Senin (3/11/2025).
Dia menerima uang Rp4,05 miliar dari enam Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP), Riau.
Uang itu merupakan “jatah preman” untuk gubernur. Dia memperbesar anggaran PUPR Riau 2025 untuk perbaikan jalan dan jembatan, dari tadinya Rp71,6 miliar jadi Rp177,4 miliar. Alias naik 147%
Tapi sebagai imbalannya, ada jatah preman Rp7 miliar yang harus disetor.
Uang diserahkan bertahap. Hanya, baru terima Rp4,05 miliar, Abdul Wahid keburu dicokok KPK.
Kasus ini ironi bagi Riau. Sebab, tiga gubernur Riau sebelumnya juga ditangkap KPK karena korupsi. Abdul Wahid jadi gubernur keempat.
Abdul Wahid sendiri juga mencetak rekor. Dia baru dilantik pada Februari 2025 lalu, alias baru 8 bulan menjabat.
Tapi belum satu tahun sejak mengucap sumpah jabatan untuk tidak korupsi, ia sudah mengenakan rompi oranye “Tahanan KPK”.
Lalu tidak sampai seminggu sejak penangkapan Wahid, KPK juga menangkap Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, pada Jumat (7/11/2025) dan 12 orang lainnya.
Sugiri ditangkap juga karena kasus serupa: jatah preman untuk mutasi dan promosi jabatan kepala dinas.
Banyak kalangan menilai fenomena ini bukan kebetulan. Bukan rahasia lagi kalau budaya setoran atau jatah preman (japrem) merupakan masalah akut di banyak pemerintah daerah.
Minta Fee Sejak Awal Menjabat

Abdul Wahid ditangkap bersama dua orang dekatnya, yakni Kepala Dinas PUPR-PKPP, Muhammad Arief Setiawan. dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M. Nursalam, yang juga dikenal sebagai mantan Ketua DPRD Riau dan tokoh senior Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Riau.
Abdul Wahid sendiri menjabat sebagai Ketua DPW PKB Riau.
KPK mengungkap, sejak awal menjabat sebagai gubernur, Wahid menuntut loyalitas mutlak dari jajarannya.
Ada ancaman evaluasi bagi yang tidak patuh, hingga mutasi atau dicopot.
Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut di awal pemerintahannya, Wahid mengumpulkan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), termasuk kepala dinas dan staf.
“Saat dikumpulkan itulah, yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa mataharinya adalah satu, harus tegak lurus kepada mataharinya, artinya kepada Gubernur,” kata Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025).
Setelah itu Wahid minta fee 5% atau setara Rp7 miliar dari nilai proyek infrastruktur di Dinas PUPR Riau.
Di internal Dinas PUPR Riau, jatah preman untuk Wahid itu itu disebut dengan istilah “7 batang”.
Penuhi Jatah Preman, Anak Buah Terpaksa Gadai Sertifikat

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menyebut praktik Wahid ini sebagai pemerasan sistematis.
“Jika tidak dipenuhi, kepala UPT diancam dimutasi atau dicopot,” kata Johanis.
Ironisnya uang yang disetor ke Abdul Wahid bukan berasal dari anggaran resmi, melainkan dari kantong pribadi para kepala UPT.
Beberapa di antaranya bahkan meminjam ke bank dan menggadaikan sertifikat tanah untuk memenuhi permintaan tersebut.
Situasi makin ironis karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau sendiri defisit Rp2,5 triliun.
KPK menyebut dana hasil pemerasan digunakan Wahid untuk membiayai perjalanan ke luar negeri.
Beberapa negara yang telah dikunjungi antara lain Inggris dan Brasil. Ia juga dijadwalkan ke Malaysia. Namun rencana itu batal karena keburu ditangkap KPK.
Kini, Wahid dan dua anak buahnya resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan KPK untuk 20 hari pertama.
Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Tebang Pilih KPK dalam Kasus Korupsi Kepala Daerah

Meski dinilai garang karena berhasil menangkap sejumlah kepala daerah yang menyelewengkan jabatan dan melakukan korupsi, namun tudingan KPK 'tebang pilih' dalam penindakan kasus korupsi juga mendapat sorotan publik.
Terutama yang terkait dengan keluarga mantan presiden ke-7 Joko Widodo, salah satunya Gubernur Sumatera Utara saat ini, Bobby Nasution.
Nama menantu Presiden ke-7 Joko Widodo ini sudah tiga kali terseret dalam dua perkara dugaan korupsi berbeda yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bobby terseret baik saat menjadi Wali Kota Medan, maupun Gubernur Sumatera Utara.
Berdasarkan catatan TheStance, nama Bobby sebelumnya terseret pada kasus penyelundupan nikel ke China senilai 5,3 juta ton yang diduga telah merugikan negara hingga ratusan triliun. Selain Bobby, nama Airlangga Hartarto juga terseret dalam kasus ini.
Pengaduan itu sudah masuk ke KPK sejak tahun lalu. Kasus ini pernah diungkap pengamat ekonomi Faisal Basri secara terang-terangan di berbagai media.
Kasus kedua adalah perkara suap dan gratifikasi yang menjerat Abdul Gani Kasuba (AGK), Gubernur Maluku Utara saat itu. Nama Wali Kota Medan yang terpilih pada Pilkada 2020 itu disebut dalam nama persidangan terhadap AGK, 2024 lalu.
Nama Bobby dikaitkan dengan istilah 'Blok Medan', yang diduga merupakan blok tambang di Maluku Utara. Blok tambang itu diduga milik Bobby dan istrinya, anak dari mantan Presiden Jokowi, Kahiyang Ayu.
Dalam perkembangan yang terbaru, nama Bobby kembali terseret ke kasus dugaan suap dan gratifikasi pembangunan jalan di Sumatera Utara. Dia diduga merupakan orang dekat dari Kepala Dinas PUPR nonaktif Sumut Topan Obaja Putra Ginting, yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Kendati sudah dilaporkan resmi dan menyatakan membuka peluang untuk memeriksa Bobby Nasution, hingga kini KPK tak kunjung menghadirkan Bobby Nasution ke persidangan terkait dengan fakta persidangan 'Blok Medan' itu. Bahkan KPK tak pernah memeriksa Bobby, kendati namanya disebut dalam persidangan.
Pengaruh Jokowi yang masih kuat di pemerintahan diduga kuat menjadi faktor yang membuat posisi Bobby masih terlindungi hingga saat ini.
Korupsi yang Klasik dan Sistemik

Guru Besar IPDN dan pakar otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A, menilai bahwa kasus-kasus korupsi di daerah bukan lagi hal baru, melainkan persoalan sistemik yang terus berulang, terutama terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa.
“Korupsi di kalangan pemerintah daerah, termasuk di Riau, sudah seperti penyakit lama yang tak kunjung sembuh. Bidang pengadaan barang dan jasa, terutama infrastruktur, masih menjadi ladang empuk penyimpangan,” ujar Djohermansyah dalam keterangannya, Rabu (5/11/2025).
Berdasarkan catatannya, sejak era otonomi daerah bergulir tahun 2005, sebanyak 39 gubernur di Indonesia telah tersangkut kasus korupsi.
“Ini menunjukkan bahwa problemnya bukan pada individu semata, melainkan sistem politik dan tata kelola pemerintahan yang belum bersih,” tegas Prof. Djohermansyah.
Mahalnya biaya politik dalam Pilkada, ditengarai sebagai akar dari banyak kasus korupsi kepala daerah.
“Modal untuk menjadi kepala daerah itu besar. Mereka harus membayar mahar politik ke partai pengusung, membeli suara, ongkos saksi membiayai tim sukses dan kampanye. Setelah terpilih, ada dorongan kuat untuk mengembalikan modal itu,” jelasnya.
Menanggapi banyaknya kasus korupsi di Riau, Prof Djohermansyah, yang pernah menjabat Penjabat Gubernur Riau pada 2013–2014, menyebut bahwa akar masalahnya bukan pada lemahnya budaya, melainkan tidak tersambungnya nilai moral dengan perilaku pejabat.
“Orang Riau itu agamis dan beradat kuat. Ada tunjuk ajar Melayu, ada nilai agama yang kuat. Tapi dalam praktik kekuasaan, nilai-nilai itu tidak lagi jadi pedoman. Integritas berbasis adat dan agama itu yang dikesampingkan,” ujarnya.
Fenomena “jatah reman” yang terungkap dalam OTT KPK kali ini, menurut Djohermansyah, merupakan bentuk pemerasan dan bukan sekadar suap. Praktik seperti ini dinilai bisa merugikan publik karena berpotensi menurunkan kualitas pekerjaan.
“Kalau kontraktor dipaksa setor, pasti spesifikasi proyek diturunkan. Akhirnya masyarakat yang rugi,” tambahnya.
Mantan Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri ini menilai solusi mendasar untuk memutus rantai korupsi kepala daerah adalah reformasi sistem Pilkada agar tidak lagi berbiaya tinggi.
“Saya tidak yakin kasus di Riau ini yang terakhir. Akan ada lagi jika akar masalahnya tidak diselesaikan. Perbaiki dulu sistem Pilkada kita. Kalau ongkosnya mahal, korupsi akan terus jadi jalan pintas, nilai adat dan agama kalah sama pragmatisme politik," katanya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance