Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), pernah menjadi Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian Nasional, dan kini aktif sebagai Chairman Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC).

Keputusan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menutupi utang Whoosh Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) adalah pengakuan implisit bahwa skema Bisnis-ke-Bisnis (B2B) awal adalah fiksi dan telah gagal.

Langkah ini untuk mencegah kebangkrutan konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun menciptakan preseden berbahaya dan beban fiskal baru kalau akar masalahnya tidak diselesaikan.

Kebijakan saat ini hanya mengobati gejala, bukan merestrukturisasi model bisnis yang cacat.

Tulisan ini menganalisis empat opsi restrukturisasi dan merekomendasikan pendekatan hybrid yang memisahkan beban modal (capital expenditure/capex) dan beban operasional (operational expenditure/opex), disertai monetisasi aset.

Langkah ini tidak hanya menyelamatkan proyek, tetapi juga menciptakan paradigma baru dalam membiayai infrastruktur strategis dengan memisahkan akuntansi korporasi dan akuntansi negara.

  1. Konteks dan Permasalahan Mendasar

    Proyek Kereta Cepat Whoosh (KCIC) terperangkap dalam kontradiksi mendasar: dibingkai sebagai "investasi sosial" namun dibiayai dengan skema B2B komersial—persepsi dan pemahaman blunder sejak awal.

    Skema ini membebani konsorsium BUMN, sekarang Danantara sebagai representatif, dengan utang berbiaya tinggi (2% capex, 3,4% cost overrun) untuk membangun aset yang manfaatnya bersifat eksternal dan jangka panjang, sebuah model yang bertentangan dengan prinsip global pembiayaan infrastruktur publik.

    Dampaknya telah nyata:

    • Beban Utang Tak Terkelola: Pendapatan operasional tidak mampu menutup biaya bunga, apalagi pokok utang.

    • Pembengkakan Biaya: Biaya proyek membengkak dari Rp 80 triliun menjadi Rp 126 triliun.

    • Risiko Fiskal Tersembunyi: Risiko yang semula dialihkan ke BUMN, kini kembali ke APBN tanpa struktur yang transparan.

    Keputusan untuk menggunakan APBN adalah "bailout" yang tak terelakkan, tetapi jika tidak diikuti restrukturisasi mendasar, ini hanya memindahkan masalah dan mengorbankan postur fiskal jangka panjang.

    Prabowo - Whoosh

  2. Analisis Opsi Kebijakan

    Berikut adalah empat opsi restrukturisasi, masing-masing dengan pertimbangan strategisnya.

    Opsi 1: Pengambilalihan Penuh oleh Negara (Model "Aset Kedaulatan")

    Negara mengambil alih seluruh utang konstruksi (capex) melalui APBN, negara menjadi pemilik penuh infrastruktur. KCIC menjadi operator murni yang membayar sewa (track access charge), pola yang sudah lazim bagi rel eksisting.

    · Kelebihan: Pemisahan peran paling bersih, biaya modal terendah, selaras dengan praktik global (contoh: Prancis, Jepang).

    · Kekurangan: Guncangan fiskal langsung terbesar dan pengakuan eksplisit kegagalan kebijakan awal.

    Opsi 2: Restrukturisasi Utang dengan Jaminan Negara ("Bailout Lunak")

    Pemerintah memberikan jaminan sovereign atas utang PSBI (konsorsium Indonesia), memungkinkan refinancing utang dengan suku bunga jauh lebih rendah (0,5-1%) dan tenor Lebih panjang.

    · Kelebihan: Menghindari pengeluaran APBN langsung, mengurangi beban bunga secara signifikan.

    · Kekurangan: Risiko fiskal kontinjensi tetap ada; kewajiban bunga utang masih tetap "off-state budget".

    Opsi 3: Model Hybrid Capex Negara & Opex Berbasis Kinerja

    Negara mengambil alih utang konstruksi yang ada (sunk capex). KCIC menanggung Opex dan Capex masa depan, dengan menerima subsidi Public Service Obligation (PSO) berbasis kinerja (misal per penumpang) untuk menjaga keterjangkauan tarif.

    · Kelebihan: KCIC berinsentif efisien dan menarik penumpang; negara memenuhi mandat sosial secara transparan.

    · Kekurangan: Membutuhkan desain kontrak PSO yang sangat ketat untuk mencegah permintaan subsidi yang membengkak.

    Opsi 4: Monetisasi Aset & Subsidi Silang (Model TOD)

    Melebarkan hak pengembangan kawasan Transit Oriented Development (TOD) di sekitar stasiun kepada KCIC atau lokasi baru lain. Profit dari properti digunakan untuk mensubsidi operasional kereta.

    · Kelebihan: Memanfaatkan aset terbaik proyek (lahan), meminimalkan permintaan subsidi ke APBN, selaras dengan tujuan pengembangan kawasan.

    · Kekurangan: Berisiko mengalihkan fokus dari operasional kereta api ke bisnis properti, membutuhkan keahlian pengembang yang mumpuni.

    Whoosh

  3. Rekomendasi Kebijakan: Pendekatan Hybrid Berkelanjutan

    Standing tulisan ini merekomendasikan pendekatan hybrid tiga pilar yang dilaksanakan secara bertahap untuk menciptakan keberlanjutan jangka panjang.

    Fase 1: Stabilisasi Segera (2025 2026)

    Lakukan Opsi 2 (Restrukturisasi Utang dengan Jaminan Negara).

    Tindakan gawat darurat (Intensive Care Unit/ICU) ini adalah pertolongan pertama fiskal yang paling cepat dan politis untuk segera meringankan beban bunga dan mencegah kolaps.

    Jaminan dapat berupa revenue cap berbatas koridor—minimal 75% s/d maksimal 125%— bila pendapatan kurang dari 75% target sisanya dijamin, di atas 120% surplusnya balik ke negara.

    Fase 2: Restrukturisasi Fundamental (2026-2028)

    Transisikan menuju Opsi 3 (Model Hybrid).

    Setelah utang direstrukturisasi, negara harus secara resmi mengakuisisi aset infrastruktur (rel, stasiun) ke dalam neraca negara, mengubah statusnya menjadi Aset Strategis Nasional.

    KCIC menjadi operator berbayar dengan kontrak PSO yang ketat. Ini memisahkan akuntansi aset strategis dari akuntansi korporasi.

    Fase 3: Optimasi Jangka Panjang (2028 dan seterusnya)

    Implementasikan Opsi 4 (Monetisasi Aset transit oriented development/TOD) secara agresif.

    Bentuk Badan Pengelola TOD khusus yang melibatkan ahli properti dan tata kota. Hasilnya dialokasikan khusus untuk menutupi subsidi PSO, sehingga beban APBN semakin berkurang.

  4. Kesimpulan: Paradigma Baru Akuntansi Nasional

    Akar masalah Whoosh adalah kesalahan paradigma dalam menilai proyek strategis.

    Negara terjebak menilai Whoosh dari kacamata korporasi—Return on Investment (ROI) dan payback period yang sempit—padahal ia adalah infrastruktur kedaulatan.

    Oleh karena itu, rekomendasi di atas harus didukung oleh inovasi kelembagaan: Pembentukan Neraca Modal Nasional (National Capital Balance Sheet) di samping Neraca Fiskal (APBN) yang sudah ada.

    · Neraca Fiskal (APBN): Fokus pada sirkulasi dan redistribusi (kesehatan, pendidikan, pangan, subsidi )

    · Neraca Modal Nasional: Menghitung nilai strategis aset-aset negara seperti Whoosh, yang keuntungannya bukan laba finansial, melainkan efisiensi sistemik nasional: penghematan waktu, pengurangan kemacetan, substitusi impor BBM, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan penguatan ketahanan iklim (dekarbonisasi) serta sekuritas energi.

Dengan paradigma ini, keputusan untuk mengambil alih Capex Whoosh bukanlah "beban", melainkan investasi strategis pada modal nasional yang nilainya akan terakumulasi di Neraca Modal Nasional untuk kemakmuran jangka panjang.

Baca Juga: Prabowo Ambil Alih Tanggung Jawab Kereta Cepat, tapi Bayar Pakai APBN

Restrukturisasi Whoosh bukan sekadar menyelamatkan proyek, tetapi merupakan ujian bagi kemampuan negara berpikir dengan jernih dan berdaulat dalam membangun masa depan.

Bukan keputusan sesaat demi penyehatan kas yang akan kambuh berulang dan memicu penyakit yang lebih akut.

Adapun tentang gagasan perpanjangan atau perluasan pasar kereta cepat seyogyanya diatur dalam competition for the market alias open, perlu ada rancangan rute dan kota-kota baru di koridor terpilih.

Untuk itu, kehadiran Otoritas Kereta Cepat menjadi urgent.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.