Jakarta, TheStance – Presiden Prabowo Subianto menyebut, pemerintah akan membayar utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh dengan cara mencicil sebesar Rp1,2 triliun per tahun.

Hal itu disampaikan Presiden Prabowo saat meresmikan 'wajah baru' Stasiun Tanah Abang Baru di Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).

"Pokoknya enggak ada masalah, karena itu kita bayar mungkin Rp1,2 triliun per tahun," kata Prabowo. "Tetapi manfaatnya mengurangi macet, mengurangi polusi, mempercepat perjalanan, ini semua harus dihitung."

Pernyataan Prabowo tersebut sekaligus menjawab polemik di masyarakat seputar beban utang proyek KCJB Whoosh yang nilai proyeknya mencapai Rp120 triliun dan dianggap sebagai "bom waktu" bagi keuangan negara di tengah bayang-bayang krisis fiskal.

Prabowo menganggap pembayaran utang kereta cepat itu bukanlah masalah karena proyek itu membawa manfaat kepada masyarakat.

Menurutnya, proyek kereta cepat bukan sekadar masalah pembiayaan. Namun juga simbol kerja sama strategis Indonesia-China dalam penguasaan teknologi transportasi modern.

"Yang penting kita kuasai teknologi. We are at an edge of best practice. Dan ingat, ini simbol kerja sama kita dengan Tiongkok," katanya.

Prabowo Siap Bertanggung Jawab

Prabowo - KRL

Disinggung mengenai asal uang untuk membayar utang kereta cepat ke Cina, Prabowo mengeklaim uang itu ada. Salah satunya, bersumber dari uang hasil sitaan kasus korupsi.

"Duitnya ada. Duit yang tadinya dikorupsi (setelah diambil negara) saya hemat. Enggak saya kasih kesempatan. Jadi saudara saya minta bantu saya semua. Jangan kasih kesempatan koruptor-koruptor itu merajalela. Uang nanti banyak untuk kita. Untuk rakyat semua," katanya.

Prabowo juga mengeklaim bahwa kondisi finansial negara cukup kuat untuk menanggung proyek raksasa itu, tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara langsung.

"Jadi, sudahlah, saya sudah katakan presiden Republik Indonesia yang ambil alih tanggung jawab. Jadi tidak usah ribut, kita mampu. Dan kita kuat," tandas Prabowo.

Bahkan Prabowo juga menyampaikan rencana untuk memperpanjang rute kereta cepat hingga ke Banyuwangi, Jawa Timur. "Saya minta tidak hanya Surabaya. Banyuwangi. Surabaya itu zaman dulu. Sekarang Banyuwangi," kata Prabowo.

Berdasarkan catatan TheStance, Kereta Cepat Whoosh menghadapi beban utang yang cukup berat.

PT Kereta Api Indonesia (KAI) bersama dengan tiga BUMN lainnya harus menanggung renteng kerugian dari Whoosh sesuai porsi sahamnya di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI).

PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) adalah pemegang saham mayoritas di PT Kereta Cepat Indonesia Chna (KCIC) dengan porsi 58,52%, sedang sisanya dimiliki konsorsium Cina.

Beban Utang Kereta Cepat

kereta cepat - apbn

Sebagai pemimpin konsorsium, PT Kereta Api Indonesia (KAI) memegang saham terbesar di PT PSBI, yakni 58,53%, sesuai penugasan yang diberikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Selain KAI, pemegang saham lain di PT PSBI adalah Wika dengan kepemilikan 33,36%, Jasa Marga 7,08%, dan PTPN VIII sebesar 1,03%.

Dalam laporan keuangan per 30 Juni 2025 (unaudited) yang dipublikasikan di situs resminya, entitas anak KAI, PT PSBI, tercatat merugi hingga Rp4,195 triliun sepanjang 2024.

Artinya, dalam sehari saja bila menghitung dalam setahun ada 365 hari, konsorsium BUMN Indonesia harus menanggung rugi dari beban KCIC sebesar Rp11,493 miliar per hari.

Kerugian itu masih berlanjut tahun ini. Hingga semester I-2025 atau periode Januari–Juli, PSBI sudah membukukan kerugian sebesar Rp1,625 triliun.

KAI yang mempunyai saham mayoritas di konsorsium PSBI otomatis menanggung beban terbesar, baik dalam bentuk biaya operasional maupun pengembalian utang. Sederhananya, sebagian besar kerugian proyek kereta cepat bakal ditambal oleh KAI.

Untuk diketahui, Proyek Whoosh menelan biaya yang tinggi dalam pembangunannya. Investasinya mencapai US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp120,68 triliun (Rp 16.600/US$). Adapun 75% dari investasi ini dibiayai dengan utang.

Dalam rapat dengar pendapat di DPR Agustus lalu, Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin sempat curhat dan bilang permasalahan utang KCIC njadi "bom waktu" yang akan menggerogoti kinerja perseroan. KAI terus berkoordinasi dengan Danantara terkait itu.

Negosiasi Restrukturisasi Utang Proyek KCJB Masih Berjalan

CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani menegaskan pemerintah akan hadir untuk menyelesaikan masalah pada proyek kereta cepat pertama di Asia Tenggara tersebut.

"Memang kereta adalah transportasi umum untuk kepentingan masyarakat luas dan oleh sebab itu kehadiran pemerintah memang akan ada dan hadir dalam program transportasi termasuk Whoosh," kata Rosan di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (4/11/2025).

Ia mengungkapkan progress terkini negosiasi restrukturisasi utang proyek Whoosh dengan pihak China. Sejauh ini, kata Rosan, negosiasi masih berjalan dan belum ada keputusan. Dalam negosiasi ini, Danantara ditemani beberapa kementerian.

"Ya ini masih berjalan timnya juga, ada Menko Infrastruktur, Menko Perekonomian, ada Kemenkeu dan Danantara juga. Jadi ini adalah suatu kerja sama lintas KL dan kemenhub juga," ujar Rosan.

Pria yang juga menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi itu mengutip pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa proyek Whoosh sebagai transportasi umum memang jangan dilihat hanya dari segi untung atau ruginya saja, tapi lebih jauh harus dilihat dampaknya dari masyarakat.

"Memang tidak hanya dilihat dari segi untung rugi saja, tapi dampaknya pada masyarakat dan melihat pada UU yang ada memang jadi tugas pemerintah," ucap Rosan.

Tidak Sesuai Kontrak Awal

Bhima Yudhistira

Direktur Eksekutif Center of Economic And Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai penggunaan APBN untuk melunasi utang Whoosh tak sesuai kontrak awal konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yakni business to business (B2B).

"Kalau APBN penuh, situasi sekarang defisitnya kan diperkirakan melebar dan khawatir dengan tambahan beban utang KCIC ada program yang akan diefisiensikan dari belanja pemerintah hanya untuk melakukan penyertaan modal negara ke KAI untuk bayar utang kereta cepat," ujar Bhima dalam keterangannya, Rabu (5/11/2025).

Menurutnya, jika pembiayaan utang tetap dipaksakan menggunakan APBN, hal tersebut berpotensi mendorong pelebaran defisit atau penambahan utang negara.

Hal ini berdampak masyarakat yang tidak menggunakan kereta cepat juga ikut harus menanggung beban melalui pajak yang dibayarkan.

"Penyertaan modal negara ke kereta api itu untuk mendukung kereta reguler yang sekarang aja masih kurang dana pembangunan terutama di luar jawa untuk jalur kereta. Jadi ngapain negara mensubsidi transportasi untuk kelompok menengah atas," ujarnya.

Bhima menilai, seluruh beban proyek sebaiknya diserahkan kepada BUMN dan akan menjadi tanggung jawab Danantara.

Apalagi, Danantara memiliki kapasitas keuangan yang cukup besar. Dengan dividen mencapai Rp80 triliun yang sebagian besar saat ini ditempatkan pada surat utang pemerintah.

Untuk itu, seharusnya Danantara membantu KAI tanpa perlu melibatkan APBN karena justru di situlah peran Danantara dibutuhkan yakni untuk menyelesaikan proyek-proyek bermasalah di bawah BUMN.

"Solusi terbaik ya full Danantara yang mengurus apakah nanti skemanya debt swap atau debt cancellation penghapusan bunga dan pokok utang intinya harus ada cara-cara kreatif dalam negosiasi," ujarnya.

Penggunaan APBN untuk Bayar Utang Korporasi Berisiko Hukum

Zaenur Rohman

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zaenur Rohman menilai rencana penggunaan APBN untuk membayar utang korporasi memiliki risiko hukum dan dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi.

"Rencana untuk menggunakan APBN membayar utang korporasi B to B (bussiness to bussiness) itu punya risiko hukum, hati-hati,” ungkap Zaenur dalam acara dialog di KompasTV, Selasa (4/11/2025).

“Rezim kalau sudah berganti nanti bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu harus hati-hati. Pemerintah jangan sembrono, jangan sembarangan. Lakukan legal due diligence terlebih dahulu untuk menilai apakah B to B bisa dibayar oleh APBN,” sambungnya.

Menurutnya, untuk melihat akar permasalahan, diperlukan audit proyek kereta cepat Whoosh, mulai dari proses perencanaan hingga operasionalnya saat ini.

“Tentu, yang pertama harus dilakukan audit menyeluruh terhadap proyek Whoosh ini dari tahap perencanaan, sampai tahap pembangunan, dan tahap operasional. Agar kita bisa dapat cerita utuhnya,” jelasnya.

Menurut dia, audit diperlukan untuk menunjukkan titik lokasi persoalan: apakah di perencanaan yang buruk, proses pembangunan yang buruk, atau mark up.

Untuk itu, kata Zaenur, penting bagi KPK segera menyelidiki agar jelas ada-tidaknya tindak pidana terkait Whoosh. Ia juga menilai penggunaan APBN untuk membayar utang korporasi hanya akan membebani rakyat.

Baca Juga: Enam Bukti Bantah Klaim Jokowi soal 'Kereta Cepat adalah Investasi Sosial'

Ia pun mengingatkan risiko hukum jika APBN kemudian dipakai untuk membayar utang proyek Whoosh, termasuk pada para pihak yang memberi dana talangan atau bail out.

“Kalau bail out-nya tentu yang memberikan bail out. Tapi kalau untuk presiden sebelumnya, bagaimana proses pengambilan keputusan proyek Whoosh itu diambil.”

“Kedua, saya pikir tidak hanya sekadar proses pengambilan keputusannya ya, bagaimana proses konstruksi yang mungkin diawali dengan pengadaan lahannya,” jelasnya.

Namun, pertanyaan selanjutnya, menurut Zaenur, adalah apakah KPK memiliki kemauan untuk mendayagunakan kemampuannya menyelidiki itu.

“Saya pikir KPK kalau dari sisi kemampuan sangat mampu, Yang jadi pertanyaan adalah ada kemauan tidak. Ini sekali lagi adalah ujian sejarah bagi KPK, apakah KPK bisa berdiri secara independen ataukan dipengaruhi oleh unsur-unsur politik,” tuturnya.

Zaenur mendesak pemerintah transparan di semua proses penyelesaian utang Kereta cepat Whoosh. Sebab, dikhawatirkan akan ada prasangka dari masyarakat jika tidak transparan dalam penyelesaiannya.

Apalagi Presiden Prabowo mengatakan akan meneruskan proyek kereta cepat ini sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur. "Jakarta-Bandung saja sedemikian banyak menyisakan masalah, membebani utang bagi generasi selanjutnya sampai 60 tahun.” (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance