Jakarta, TheStance -- Zohran Mamdani, 34, tahun akhirnya resmi terpilih sebagai wali kota New York. Dia menang setelah penghitungan menunjukkan perolehan lebih dari 50% suara.

Dua lawannya, Andrew Cuomo dan Curtis Silva, hanya mendapat 41% dan 7% suara. Keduanya juga sudah mengaku kalah dan mengucapkan selamat kepada Mamdani.

Rabu malam, 5 November 2025, Zohran pun menyampaikan pidato kemenangan di depan ribuan pendukungnya. “New York akan tetap menjadi kota imigran, dibangun dan dihidupi oleh imigran, dan mulai malam ini, dipimpin oleh imigran,” katanya.

Tidak ada kecanggungan pada Zohran ketika mengucapkan itu, meski ratusan warga New York kulit putih di hadapannya.

Sejak awal, Zohran memang tidak apologetik dengan identitasnya. Dia muslim, imigran keturunan India, sosialis,pro-Palestina, dan tidak sungkan mengungkapkannya.

Dia mengutuk aksi genosida Israel di Gaza. Bahkan, Zohran juga berjanji akan menangkap Netanyahu, perdana menteri Israel, sebagai penjahat  perang seandainya berani menginjakkan kaki di New York.

Tapi dengan semua kontroversi itu, New York dengan populasi 1 juta Yahudi –sekitar 11% dari total 8 juta populasi kota New York–  tetap memilihnya.

Yang lucu, Zohran bahkan menang di kecamatan (borough) Brooklyn, yang terkenal memiliki konsentrasi populasi Yahudi terbesar, sekitar 400.000 atau hampir 50% dari total warga Yahudi di New York.

Kota New York memiliki lima borough, dan Zohran menang di empat di antaranya. Hanya di borough Staten Island, wilayah yang terkenal sebagai basis Partai Republik, dia kalah dari Andrew Cuomo.

Pilwalkot yang Menarik Perhatian Dunia

Ini sebenarnya hanya pemilihan wali kota (Pilwalkot) di sebuah kota di AS. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa perhatian dunia tertuju ke sana.

Politisi dari berbagai negara, mulai Inggris, Prancis, Hungaria, Uganda, ramai-ramai mengucapkan selamat atas kemenangan Zohran.

Walikota London, Sadiq Khan yang juga muslim, misalnya, menyatakan kemenangan Zohran menunjukkan warga New York memilih “harapan” dibanding “ketakutan”.

Wali kota Budapest Gergely Karacsony, menyampaikan selamat karena Mamdani berhasil mengalahkan “kelompok privileged” yang selama ini diuntungkan oleh kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.

Sedangkan Presiden Columbia, Gustavo Petro, yang terkenal beraliran kiri, menulis di akun X-nya bahwa kemenangan itu adalah bukti bahwa “gagasan liberal bukanlah radikal”

Petro juga mengunggah foto bersama Zohran ketika berada di New York.

Politisi Sosialis Anti-Milarder

Berbagai perhatian itu bukan tanpa alasan. Zohran adalah politisi beraliran sosialis, dan maju di kota New York yang terkenal sebagai salah satu pusat kapitalisme dunia.

Dalam wawancara dengan stasiun TV CNN, dia bahkan secara terbuka menunjukkan ketidaksukaannya pada kapitalisme. “Saya punya banyak kritik pada kapitalisme,’ katanya.

“Saya menginginkan distribusi kekayaan yang lebih adil bagi warga,” tambahnya.

Caranya, kata Zohran, dia akan menaikkan pajak bagi warga super-kaya New York, menaikkan pajak bagi korporasi besar, dan uangnya akan digunakan untuk berbagai program yang pro-kelas pekerja.

Saat ini pajak korporasi di New York, misalnya dipatok sebesar 7,23% (untuk perusahaan dengan net income melampaui US$5 juta per tahun).

Zohran berencana menaikkan tarif itu jadi 11,5% per tahun. Tidak masalah bila para perusahaan itu protes. Sebab, perusahaan yang mampu membukukan laba bersih (net income) di atas US$5 juta per tahun pasti kaya.

Sedang untuk pajak orang pribadi, dia akan menaikkan tarif dari saat ini yang sebesar 14,8%  menjadi 16,8%–naik 2%-bagi mereka yang berpenghasilan di atas US$1 juta per tahun.

Bagi Zohran, lagi-lagi kebijakan itu tidak masalah. Bukan hal kontroversial. Bukankah mereka orang kaya? Apa masalahnya dengan membayar sedikit lebih mahal?

Dengan pendapatan baru dari “pajak orang kaya” itulah dia berencana membiayai empat program utamanya, yaitu:

  1. Tempat penitipan anak gratis (zero-fee childcare)

  2. Bis gratis (free buses)

  3. Menghentikan kenaikan sewa rumah/apartemen selama 4 tahun (rent freeze)

  4. Mendirikan supermarket khusus bahan makanan (groceries) yang harga produknya lebih murah dibanding supermarket swasta.

Dengan empat program yang sangat sosialis seperti itu, tidak heran bila para kaum kapitalis New York mulai panas. Yang paling bikin blingsatan adalah pernyataan Zohran ketika diwawancara NBC News.

“Aku merasa kita tidak perlu punya miliarder, karena terus terang, itu uang yang (terkonsentrasi) sangat banyak di tengah ketidakadilan kekayaan seperti sekarang.

Zohran, dengan ideologi sosialismenya, percaya bahwa miliarder atau siapa pun yang menumpuk kekayaan dalam jumlah sangat besar, seharusnya tidak perlu ada. Bila tetap ada miliarder, katanya, maka itu tanda “kegagalan sistem”.

Dengan posisi seperti itu, tidak heran bila para miliarder kota New York bersatu-padu melawan Zohran. Sebanyak 26 miliarder tercatat menyumbag total sampai US$22 juta dolar dalam kampanye anti-Zohran.

Menurut majalah TIME, donasi terbesar berasal dari MIchael Bloomberg, mantan wali kota New York. Dia menyumbang sampai USD 13,3 juta (setara Rp 222 miliar), untuk mengalahkan Zohran.

Tapi Zohran tetap menang. Pertanyaannya tentu, mengapa?

Gerobak Halal dan Tekanan Biaya Hidup

Slogan kampanye Zohran yang paling populer adalah “Saatnya kita jadikan makanan halal jadi 8 dolar lagi.” It’s time to make halal eight bucks again.

Orang di luar New York banyak tak mengerti, mengapa tagline soal makanan halal itu sangat populer? Bukankah makanan halal itu untuk muslim? Mengapa jadi tagline kampanye pilwalkot New York dan populer? Apa karena banyak populasi muslim di sana?

Tidak juga. Populasi muslim di New York hanya sekitar 1 juta orang. Tagline itu populer karena sebenarnya bicara satu hal, yaitu kemiskinan.

Sejak tahun 1990an, New York mulai mengenal gerobak makanan halal kaki lima yang awalnya dijajakan para pedagang imigran asal Timur Tengah, Asia atau Afrika.

Makanan halal itu murah, hanya US$6-US$8 per porsi dan bukan junk food, melainkan full course platter. Ia mengandung nasi atau daging, dan sangat populer sebagai ‘makanan pokok’ kaum pekerja kelas bawah seperti supir taksi atau buruh bangunan.

Tapi sejak beberapa tahun terakhir, tipe pembeli makanan halal kaki lima ini mulai bergeser. Tidak hanya kelas bawah, tapi juga kelas pekerja kantoran.

Penyebabnya sederhana. Biaya hidup di New York makin mahal. Sewa rumah, biaya transportasi, semua naik. Biaya sewa rumah di New York misalnya paling tinggi di Amerika, bahkan salah satu di dunia.

Mereka yang berpenghasilan pas-pasan bisa sampai mengeluarkan 50% dari gaji bulanannya untuk membayar sewa rumah.

Gerobak halal kaki lima, yang menawarkan makanan lengkap full course harga US$6-US$8 per piring pun makin laris. Makanan murah halal ini menjadi semacam penyelamat bagi kelas menengah yang makin tertekan oleh tingginya biaya hidup.

Bila dianalogikan di Indonesia, bisa dibilang gerobak halal food ini mengambil posisi warteg--makanan murah, terjangkau harganya. Demikian populernya makanan halal in di New York sampai kata ‘halal’ mengalami pergeseran makna.

Halal food tidak lagi berarti makanan yang halal sesuai agama Islam, melainkan sering dipahami sebagai “makanan murah full course yang dijual para imigran”.

Inflasi & Katebelece Bikin Halal Food Mahal

Halal food

Namun saat ini halal food di New York makin mahal, jadi US$10-US$12 per piring. Penyebabnya inflasi dan izin berdagang kaki lima dari kota New York yang diperjualbelikan di pasar gelap.

Zohran menyerang administrasi kota New York yang tidak becus mengurus izin pedagang kaki lima yang menyebabkan harga halal food naik. Pada saat bersamaan dia juga appeal ke kelas menengah New York yang makin tertekan oleh biaya hidup yang makin tinggi dan banyak beralih ke gerobak halal kaki lima.

Inilah memang platform utama kampanye Zohran. Yaitu kota yang harganya terjangkau (affordable). Dan tema itu beresonansi kuat tidak hanya di kalangan kelas bawah, tapi juga para pekerja kantoran Gen Z yang makin tertekan oleh biaya hidup.

“Sungguh tidak masuk akal betapa mahalnya untuk bisa tinggal di New York,” kata Taylor Summer, 32 tahun, seperti dilansir The New York Times.

Taylor bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah firma. Sebelumnya dia tidak pernah mencoblos di pemilihan wali kota. Dia tidak peduli. Tapi kali ini dia mendukung Zohra karena setuju biaya hidup di New York sudah kelewatan mahalnya. Sudah absurd.

Kisah serupa juga dialami Jessica Mendoza, 37 tahun. Dia dan suaminya sempat tak berani punya anak karena mahalnya tempat penitipan anak.

Tak mungkin cuma satu yang bekerja karena takkan mampu menanggung biaya hidup. Dia bekerja di balai kota New York, sedang suaminya seorang akuntan.

Tapi penghasilan ganda itu tetap belum cukup. Biaya penitipan anak di New York sangat mahal, bisa mencapai US$26.000/tahun (setara Rp434 juta), atau Rp36 juta per bulan.

Jessica sadar dia tidak akan mampu menanggung biaya penitipan anak. “Tapi saya sangat ingin punya anak,” katanya seperti dilansir The New York Times.

Dia akhirnya tetap nekat hamil. Solusinya, dia mengajak orang tuanya yang sudah pensiun untuk tinggal bersamanya di New York agar ada yang mengawasi ketika dia dan suaminya bekerja.

Dan ketika Zohran tampil dengan kampanye penitipan anak gratis–program ini diperkirakan akan membuat kota New York mengeluarkan US$12 miliar per tahun–Jessisca pun langsung menjadi pendukung Zohran.

Ini adalah realitas lain warga New York di tengah statusnya sebagai salah satu pusat keuangan dunia, lokasi Wall Street dan para milyuner tinggal.

Islamophobia dan Kemiskinan di New York

New York memang menghadapi masalah kemiskinan. Survey Universitas Columbia pada 2025 misalnya menemukan sekitar 2 juta atau setara 25% dari 8 juta warga New York hidup di bawah garis kemiskinan.

Batas miskin di NewYork adalah pendapatan USD 32,000 per tahun untuk satu keluarga dengan dua anak (4 jiwa). Tapi yang lebih memprihatinkan, kategori mendekati miskin (near poverty) mencapai 4,6 juta jiwa atau setara 56% dari populasi.

Mendekati miskin adalah ketika seseorang bekerja, tapi tetap struggling untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti rumah, makan, pendidikan dan kesehatan.

Ini berarti sampai 80% warga kota New York, atau setara 6,4 juta dari total 8 juta populasi, berstatus miskin atau mendekati miskin. Hanya 20% yang bisa hidup nyaman secara materi di New York.

Inilah kritik utama Zohran soal kapitalisme di NewYok, ketimpangan pendapatan, dan mengapa kampanyenya soal affordability (New York yang terjangkau harganya) disambut banyak kalangan.

Baca Juga: Zohran, Islam, dan Kota New York yang Mulai Berubah

Lawan Zohran sengaja tak membahas soal affordability. Dia lebih banyak diserang karena identitasnya sebagai muslim. Lawan-lawan politiknya mengampanyekan Islamophobia, mengasosiasikan Zohran dengan radikalisme, terorisme, atau anti-Israel.

Tapi untungnya kaum Gen Z yang merupakan basis utama Zohran bergeming. Mereka tidak terpengaruh oleh "kampanye ketakutan" yang dilancarkan lawan politiknya.

Tema affordabilty tetap beresonasi kuat. New York adalah kota di mana ketidakadilan kapitalisme, ketimpangan pendapatan, sangat terasa dan makin menekan warganya.

Dan karena itu, kapitalisme di New York pun untuk sementara mundur dulu. Saatnya sosialisme menyeruak ke depan. (bsi)