Jakarta, TheStance – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menjatuhkan sanksi pada tiga anggota DPR yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach dan Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio.
Ketiganya dinyatakan melanggar kode etik dan dijatuhi hukuman penonaktifan sementara dalam beberapa bulan, tanpa menerima hak keuangan, baik gaji maupun tunjangan anggota dewan.
Ahmad Sahroni (Partai Nasdem) disanksi nonaktif enam bulan, Nafa Urbach (Partai Nasdem) tiga bulan, dan Eko Patrio (PAN) disanksi nonaktif empat bulan.
Sementara, dua nama lain yang turut diperiksa dalam rangkaian sidang etik, yaitu Adies Kadir dari Fraksi Golkar dan Surya Utama atau Uya Kuya dari Fraksi PAN, tidak dinyatakan melanggar kode etik dan bisa kembali aktif menjadi anggota DPR RI.
Putusan itu dibacakan dalam sidang MKD DPR, Rabu (5/11/2025).
Namun, putusan MKD terhadap lima anggota DPR nonaktif buntut gelombang demo 25-31 Agustus lalu ini dinilai mengecewakan.
Pertimbangan Majelis MKD

Wakil Ketua MKD Imran Amin mengatakan, kontroversi yang menimpa para anggota DPR tersebut berawal dari beredarnya informasi yang salah mengenai aksi berjoget anggota DPR sebagai bentuk selebrasi atas kenaikan gaji.
Isu tersebut memicu kemarahan publik yang meluas dan berujung pada gelombang kritik tajam di media sosial. Menurut MKD, Nafa dan Eko tak memiliki niat untuk melecehkan publik. Namun, keduanya dinilai kurang mempertimbangkan sensitivitas situasi.
“Mahkamah berpendapat bahwa tidak terlihat niat teradu dua, Nafa Urbach, untuk menghina atau melecehkan siapapun,” kata Imran.
Terkait Eko Patrio, MKD menyoroti unggahan video parodi suara “horeg” yang muncul beberapa hari setelah kontroversi bergulir. Langkah itu dinilai MKD sebagai respons yang kurang tepat.
“Seharusnya teradu IV Eko Hendro Purnomo cukup mengklarifikasi kepada publik bahwa berjoget bukan karena merayakan kenaikan gaji,” ujar Imran.
Sementara itu, Sahroni melanggar kode etik karena dinilai menggunakan pilihan kata yang tidak bijak saat merespons polemik yang berkembang, sehingga memicu kesan arogan di mata publik.
“Seharusnya teradu lima Ahmad Sahroni, menanggapi dengan pemilihan kalimat yang pantas dan bijaksana, tidak menggunakan kata-kata yang tidak pas,” ucap Imran.
Meski begitu, MKD juga mempertimbangkan bahwa ketiganya turut menjadi korban penyebaran berita bohong. Bahkan, dalam kasus Sahroni dan Eko Patrio, rumah keduanya sempat dijarah oleh sekelompok massa.
“Hal ini harus dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan,” pungkas Imran.
Menanggapi keputusan MKD tersebut, Sahroni menyatakan menerima putusan tersebut dan akan menjadikannya sebagai bahan introspeksi terutama dalam hal komunikasi publik.
“Keputusan sudah diputus oleh MKD, dan saya terima secara lapang dada,” kata Sahroni, Rabu (5/11/2025). “Saya ambil hikmahnya dari apa yang sudah terjadi. Dan ke depan, saya akan belajar untuk lebih baik lagi,” lanjutnya.
Uya Kuya dan Adies Kadir Tak Langgar Kode Etik

Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dalam putusannya juga menyatakan anggota DPR nonaktif Adies Kadir dan Surya Utama alias Uya Kuya tidak melanggar kode etik DPR.
Dalam pertimbangannya, MKD menilai pernyataan Adies perihal sejumlah kenaikan tunjangan DPR RI dalam wawancara dengan awak media pada 19 Agustus 2025, tidak memiliki niat buruk.
"Terkait gaji dan tunjangan DPR yang tidak tepat namun sudah diralat oleh teradu satu Adies Kadir, maka mahkamah berpendapat bahwa tidak memiliki niat untuk menghina atau melecehkan siapapun," kata Wakil Ketua MKD, Imron Amin.
Apalagi, lanjut MKD, Adies sudah meralat pernyataannya yang menimbulkan kontroversi di publik tersebut. MKD pun mengingatkan kepada Adies Kadir agar ke depannya lebih cermat saat memberikan pernyataan kepada media.
Terkait Uya Kuya, MKD memutuskan tidak terbukti melanggar kode etik DPR RI karena aksi Uya yang berjoget saat Sidang Tahunan MPR RI dinilai tidak memiliki niat merendahkan lembaga negara ataupun pihak mana pun.
Menurut MKD, Uya justru menjadi korban pemberitaan bohong karena sejumlah video dirinya yang beredar di media sosial dan memicu kecaman publik ternyata merupakan konten lama atau tidak terkait dengan sidang.
Video-video lama itu disunting dan disebarkan ulang seolah-olah sebagai bentuk respons terhadap kritik publik atas tunjangan dan gaji DPR RI.
“Menyatakan Teradu 3, Surya Utama, tidak terbukti melanggar kode etik. Menyatakan teradu tiga, Surya Utama, diaktifkan sebagai anggota DPR RI terhitung sejak keputusan ini dibacakan,” ujar Wakil Ketua MKD DPR RI Adang Darajatun.
Untuk diketahui, sebelumnya Uya Kuya sudah dinonaktifkan sebagai anggota dewan oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Demikian juga, Adies Kadir dinonaktifkan sebagai anggota DPR RI oleh Partai Golkar. Kelima legislator yang disidang MKD itu telah dinonaktifkan oleh partai masing-masing sejak 1 September 2025.
Sekedar Gimmick Politik dan Melindungi Teman

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyatakan putusan MKD itu lebih untuk mengamankan nasib temannya sendiri, sesama anggota dewan, ketimbang menegakkan marwah DPR.
"Jadi jelas bahwa keputusan MKD ini dan semua prosesnya memang untuk mengamankan nasib teman sendiri, bukan untuk menegakkan kehormatan DPR," kata Lucius dalam keterangannya, Kamis (6/11/2025).
Lucius mengaku sudah menduga dengan putusan MKD yang mengecewakan ini. Ia berpendapat MKD sudah sejak dini berniat mengeluarkan putusan semacam itu.
Alasannya, dalam prosesnya, persidangan itu terkesan tak ada pendalaman yang fokus pada persoalan etika.
Ia menyebut kode etik anggota DPR bahkan sangat jarang menjadi rujukan pertanyaan anggota MKD dalam menilai perkataan atau tindakan kelima anggota itu.
"Jadi perbuatan atau aksi kelima anggota itu harusnya dikomparasikan dengan kode etik, bukan dengan apakah ada pihak yang dirugikan atau tidak," ujarnya.
Selain itu, Lucius juga menyoroti putusan lima legislator nonaktif dibuat setelah sidang yang dilaksanakan sekali untuk pemeriksaan saksi.
"Hanya sehari rapat untuk menghadirkan saksi-saksi. Setelahnya langsung rapat pembacaan keputusan," kritik dia.
Ahli Hukum Tata negara: Harusnya Diberhentikan Bukan Dinonakifkan

Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebut Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI melanggar Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) karena memberikan sanksi nonaktif kepada Ahmad Sahroni cs.
Feri mengatakan sanksi nonaktif tidak ada dalam UU MD3. "Jadi di titik awal saja DPR sudah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang yang mereka buat sendiri hanya untuk kepentingan rekan-rekannya di parlemen." ujarnya.
Dalam UU MD3, terminologi nonaktif hanya digunakan saat ada anggota MKD terjerat pelanggaran etik. "Kalau anggota MKD bermasalah etik, dia dinonaktifkan dulu," ungkapnya.
Untuk anggota DPR, dia mengatakan pilihannya adalah bersalah atau tidak bersalah dan diberhentikan atau tidak diberhentikan.
"Menurut saya, ini cuma rekayasa. Memberikan terminologi baru hanya untuk pembenaran dari perbuatan yang salah. MKD tentu saja, dalam titik ini, melanggar Undang-Undang MD3," katanya.
Feri melihat sidang perkara Sahroni cs di MKD tersebut hanya untuk meredam kemarahan publik. "Sedari awal perkara ini memang sudah terlihat motifnya hanya untuk meredam kemarahan publik," ungkapnya.
Parpol Belum Jalankan Standar Etik

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terhadap lima anggota DPR yang sempat dinonaktifkan bersifat sementara dan tidak menyentuh akar persoalan.
Menurutnya, sanksi etik yang dijatuhkan MKD lebih bersifat politis daripada refleksi atas pelanggaran etik yang serius.
“Saya sebenarnya sudah bisa menduga penonaktifan beberapa anggota DPR itu hanya bersifat temporer. Sejak awal, partai-partai tidak pernah menggunakan istilah ‘mengundurkan diri’, hanya ‘menonaktifkan’. Artinya, mereka bisa diaktifkan kembali kapan pun,” ujar Burhanuddin, Rabu (5/11/2025).
Selain itu, keputusan partai politik yang hanya menonaktifkan kadernya, bukan meminta mereka mundur sepenuhnya mencerminkan pertimbangan politik semata.
“Hari ini terkonfirmasi. Lima anggota DPR yang sebelumnya menonaktifkan diri, dua di antaranya dinyatakan tidak bersalah secara etik, otomatis langsung aktif kembali,” ungkapnya.
Burhanuddin menyoroti sanksi terhadap Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni yang dijatuhi hukuman nonaktif selama 6 bulan. Menurutnya, sanksi ini tidak akan banyak memengaruhi citra DPR di mata publik.
“Hukumannya hanya 6 bulan. Setelah itu, Pak Sahroni bisa kembali menjadi anggota DPR. Jadi, lagi-lagi kita disuguhi kenyataan bahwa begitu tensi publik mereda, komplikasi politiknya juga ikut hilang,” jelasnya.
Baca Juga: MK Wajibkan Keterwakilan Perempuan di AKD DPR, Kuantitas dan Kualitas Jadi Tantangan
Dia juga berpandangan hingga ini belum terlihat adanya komitmen serius dari partai politik maupun DPR untuk menegakkan standar etik yang lebih tinggi pascagejolak politik dan demonstrasi besar yang terjadi pada akhir Agustus 2025 lalu.
“Ketika situasi sosial sudah tenang, mereka yang sempat dianggap problematik oleh publik bisa kembali melaksanakan tugasnya. Ini pola lama yang terulang,” ujarnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance