Jakarta, TheStance – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Putusan MK itu dinilai sejumlah kalangan menjadi tonggak sejarah karena MK menegaskan bahwa DPR RI wajib memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30% dalam jajaran pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR.
Sebelumnya, gugatan terkait keterwakilan perempuan ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan setiap AKD mulai dari Komisi, Badan Musyawarah (Bamus), Panitia Khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan setiap pimpinan alat kelengkapan dewan harus memiliki keterwakilan perempuan.
Mahkamah menilai, saat ini keterwakilan perempuan di DPR masih terpusat pada komisi di bidang sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan.
"Oleh karena itu, agar posisi AKD memuat keterwakilan perempuan secara berimbang, menurut Mahkamah, perlu dibuat mekanisme dan langkah konkret baik secara kelembagaan maupun politik," ujar Hakim MK Saldi Isra, saat membacakan putusan perkara nomor 169/PUU-XXII/2024, pada sidang pleno MK, Kamis (30/10/2025).
Mahkamah Konstitusi (MK) juga meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat aturan internal atau tata tertib yang mewajibkan setiap fraksi untuk mengutus anggota perempuan mereka di setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD).
"DPR dapat menerapkan aturan internal yang tegas seperti Tata Tertib DPR, agar setiap fraksi menugaskan anggota perempuan dalam setiap AKD sesuai dengan kapasitasnya," kata Saldi.

Lantas, bagaimana teknis keterwakilan perempuan di setiap AKD ?
Dalam putusannya, Saldi menjelaskan, apabila suatu fraksi memiliki lebih dari satu perwakilan di suatu AKD, maka minimal 30 persen di antaranya adalah perempuan.
MK juga memberikan opsi kedua, yakni fraksi bisa langsung melaksanakan putusan ini tanpa perlu adanya tata tertib.
Fraksi bisa menempatkan anggota perempuan mereka pada setiap AKD tanpa harus menempatkan pada komisi yang spesifik untuk isu sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan.
"Tetapi juga bidang ekonomi, hukum, energi, pertahanan, dan bidang-bidang lainnya," ucap Saldi.
Permintaan ini juga didasarkan atas pertimbangan MK yang menilai perlu ada pemerataan keterwakilan perempuan di setiap AKD DPR-RI.
"Kehadiran perempuan secara berimbang dan merata pada setiap AKD akan membantu sekaligus memfasilitasi anggota DPR perempuan memperjuangkan hak kaumnya secara kolektif di semua bidang kehidupan bernegara," kata Saldi.
DPR sendiri dipastikan akan mengatur ulang sebaran legislator perempuan untuk mengimplementasikan putusan MK ini. Sebab, hanya empat dari total 21 AKD yang memenuhi ketentuan tersebut. Berdasarkan catatan TheStance, dari total 104 kursi pimpinan alat kelengkapan DPR atau AKD, baru 18 kursi yang diduduki oleh perempuan.
Selain itu, masalah lainnya adalah saat ini hanya dua dari total delapan fraksi di DPR yang memiliki legislator perempuan melebihi jumlah AKD, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.
Angka Keterwakilan Perempuan di DPR dalam 5 Periode Terakhir

Lantas, berapa keterwakilan perempuan di DPR dalam lima periode terakhir?. Berikut rangkumannya yang dihimpun TheStance :
DPR Periode 2004-2009
Jumlah anggota DPR perempuan: 61 anggota
Jumlah anggota DPR laki-laki: 489 anggota
Total: 550 anggota
DPR Periode 2009-2014
Jumlah anggota DPR perempuan: 101 anggota
Jumlah anggota DPR laki-laki: 459 anggota
Total: 560 anggota
DPR Periode 2014-2019
Jumlah anggota DPR perempuan: 97 anggota
Jumlah anggota DPR laki-laki: 463 anggota
Total: 560 anggota
DPR Periode 2019-2024
Jumlah anggota DPR perempuan: 118 anggota
Jumlah anggota DPR laki-laki: 457 anggota
Total: 575 anggota
DPR Periode 2024-2029
Jumlah anggota DPR perempuan: 127 anggota
Jumlah anggota DPR laki-laki: 453 anggota
Total: 580 anggota
Tonggak Sejarah Perjuangan Kesetaraan Gender

Pemohon perkara terkait keterwakilan di Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR-RI, Titi Anggraini, menyebut, putusan 169/PUU-XXII/2024 menjadi tonggak sejarah perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Sebab, MK mengabulkan permohonannya yang meminta agar AKD DPR wajib memiliki anggota perempuan.
"Putusan Mahkamah Konstitusi pagi ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan kesetaraan gender dan demokrasi representatif di Indonesia," kata Titi, dalam keterangannya, Kamis (30/10/2025).
Menurut Titi, putusan ini bukan hanya sekadar kursi dan jabatan untuk perempuan, tetapi juga soal keadilan dan penghormatan terhadap prinsip negara yang menjamin kesetaraan dan non-diskriminasi.
"Pasal-pasal yang kami uji selama ini telah menimbulkan praktik domestifikasi politik perempuan di parlemen karena membatasi ruang mereka hanya pada bidang-bidang tertentu dan menghilangkan kesempatan untuk berperan dalam posisi strategis," ungkap Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia ini.
Dengan amar putusan tersebut, MK menegaskan bahwa pengarusutamaan gender bukan pilihan moral, tetapi kewajiban konstitusional.
Untuk itu, Titi berharap, DPR segera menindaklanjuti putusan tersebut dan merevisi seluruh tata tertib internal agar sejalan dengan putusan MK.
"Termasuk mengatur secara tegas keterwakilan minimal 30 persen perempuan di seluruh pimpinan dan keanggotaan alat kelengkapan dewan. Pelaksanaan putusan ini menjadi ujian nyata komitmen parlemen terhadap prinsip konstitusi dan demokrasi yang berkeadilan gender," tambahnya.
Respon DPR

Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan dirinya menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Ia memastikan DPR RI akan menindaklanjuti putusan MK.
"Keputusan MK ini akan kami tindaklanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi," kata Puan dalam keterangan tertulis, Jumat (31/10/2025).
Menurut Puan, tingkat keterwakilan perempuan di DPR periode 2024-2029 berada di angka 21,9%. Dia menyebut 127 orang dari 580 anggota DPR merupakan perempuan.
"Saat ini, keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024-2029 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu sekitar 21,9% atau 127 dari 580 anggota DPR. Kemajuan yang patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30% keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia," ujarnya.
Puan juga mendukung anggota DPR perempuan diberi kesempatan yang luas dan berharap putusan MK ini bisa meningkatkan kinerja DPR.
"Saya yakin akan ada hasil-hasil luar biasa dari para legislator perempuan ketika diberi kesempatan. Tentunya harapan kita bersama bahwa ini nantinya dapat berujung pada peningkatan kinerja DPR yang manfaatnya dapat makin dirasakan oleh rakyat," kata Puan.
Revisi UU MD3 Sebagai Tindak Lanjut Putusan MK
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyebut ke depan DPR RI perlu merevisi UU MD3 untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut. Komisi II, kata Rifqi, dalam posisi menghormati putusan yang telah ditetapkan oleh MK.
"Karena itu dalam pandangan kami dibutuhkan satu revisi UU terutama UU MD3; MPR DPR DPD dan DPRD untk menormakan putusan MK," kata politikus Partai NasDem ini.
"Kendati demikian, jika para pimpinan parpol menghendaki perombakan komposisi pimpinan AKD termasuk merujuk pada putusan MK terakhir, kami tentu mengikuti dan menghargainya," tambahnya.
Namun, kata dia, kalaupun tidak buru-buru dilakukan perombakan sama sekali tidak melakukan pelanggaran hukum.
"Karena dibutuhkan waktu terlebih dahulu untuk menormakan putusan ini di dalam satu UU," katanya.
Bukan Sekedar Pemenuhan Kuota

Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga menilai keputusan MK sangat baik untuk kesetaraan gender, namun tidak mudah untuk diimplementasikan. Karena itu, DPR harus mampu mensiasati Keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya.
“Legislatif perempuan juga nyaman ditempatkan di AKD tertentu karena sesuai dengan kompetensinya,” ujar dia.
Menurutnya, secara kuantitas, pembagian porsi anggota legislatif bisa sesuai dengan amanat MK. Namun, tentu hal itu harus merujuk pada jumlah legislator perempuan.
“Secara kuantitas bila jumlah legislator perempuan dapat dibagi habis minimal 30 persen untuk setiap AKD DPR RI. Namun bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka Keputusan MK tersebut dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan,” ungkapnya.
“Sebab, jumlah legislator perempuan tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” sambungnya.
Hal yang sama juga berlaku dari sisi kualitas. Jamiluddin menegaskan, bila kualitas (kompetensi) legislator perempuan mencerminkan semua AKD DPR RI, maka akan mudah mendistribusikan minimal 30 persen legislator perempuan ke setiap AKD.
“Sebaliknya, bila kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen kiranya hanya pemaksaan. Sebab, akan banyak legislator perempuan ditempatkan di AKD yang tak sesuai kompetensinya,” kata dia.
“Kalau hal itu terjadi, akan membuat legislatir perempuan tidak produktif. Setidaknya akan sulit bagi legislator perempuan untuk melaksanakan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi secara maksimal,” tambahnya.
Untuk memastikan keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif, Jamiluddin mengimbau agar partai mampu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg. Selain itu, Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD.
“Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan. Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” ujar Jamiluddin.
Senada, Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, putusan MK yang mewajibkan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD minimal 30 persen dan persebaran anggota legislatif perempuan di keanggotaan AKD secara proporsional adalah langkah konstitusional yang sangat progresif untuk memperbaiki ketimpangan tersebut.
“Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegasnya.
“Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal transformasi budaya politik agar parlemen menjadi ruang yang lebih inklusif dan representatif,” kata Titi. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance