Jakarta, TheStance – Tindakan kekerasan dalam penagihan utang oleh pihak ketiga (debt collector) kembali menjadi sorotan menyusul terjadinya insiden pengeroyokan yang menewaskan dua orang penagih utang alias mata elang (matel) di depan Taman Makam Pahlawan (TMP), Jakarta Selatan, pada Kamis (11/12/2025) lalu.
Sebagai informasi, mata elang adalah sebutan populer penagih utang yang bekerja atas nama perusahaan pembiayaan kendaraan bermotor. Tugas mereka adalah mencari dan mengidentifikasi kendaraan yang dianggap bermasalah dalam pembayaran cicilan.
Disebut mata elang karena mereka harus jeli mengidentifikasi kendaraan target (yang belum dibayar cicilannya), membuntuti, bahkan melakukan pencegatan di jalan raya --seperti elang menarget mangsa.
Peristiwa pengeroyokan terhadap dua debt collector hingga tewas tersebut bermula ketika seorang anggota kepolisian, Bripda Ahmad Marz Zulqadri (AMZ) yang lagi mengendarai Yamaha Nmax dicegat di jalan raya dan motornya ditahan.
Bripda Ahmad masih memliki cicilan yang belum dibayar atas motor tersebut.
Tak terima motornya ditahan, Ahmad kemudian menghubungi rekannya sesama polisi melalui grup WhatsApp.
Sebanyak lima orang rekannya kemudian mendatangi lokasi yang dikirim oleh Ahmad, yaitu di area pasar kuliner depan TMP Kalibata.
Ujung dari pengeroyokan itu, dua penagih utang tersebut tewas. Satu tewas di lokasi, satunya lagi di rumah sakit.
Parahnya, malamnya, massa tak dikenal yang diduga komunitas para penagih utang mendatangi area pasar kuliner TMP Kalibata dan melakukan pembakaran terhadap warung-warung di sana. Mereka emosi rekan mereka tewas di lokasi tersebut dan menjadikan warung di sana sebagai pelampiasan.
Nyaris terjadi kerusuhan di kawasan pasar kuliner TMP Kalibata sebelum massa penagih utang itu dibubarkan polisi. Meski demikian, puluhan warung di area pasar kuliner TMP Kalibata sudah telanjur dibakar.
Polisi kemudian menetapkan enam anggota kepolisian sebagai tersangka dalam kasus pengeroyokan yang menyebabkan kematian tersebut.

Selain terancam hukuman pidana, Majelis Sidang Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) Polri sudah menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengah Hormat (PTDH) terhadap Brigpol IAM dan Bripda AMZ.
Sementara untuk empat pelaku lainnya yakni Bripda MIAB, Bripda ZGW, Bripda BN dan Bripda JLA disanksi demosi selama 5 tahun karena dinilai hanya mengikuti ajakan senior.
Sedang untuk aksi pembakaran oleh massa pro penagih utang, hingga berita ini ditulis tidak jelas kelanjutannya. Polisi hanya mengatakan sudah mengantongi identtas para pembakar warung tersebut dan melakukan pengejaran.
Sebelum peristiwa pengeroyokan di Kalibata Jakarta Selatan, peristiwa penagihan utang oleh pihak ketiga yang disertai dengan ancaman, kekerasan, dan mempermalukan konsumen kembali terjadi di Jalan Juanda, Depok Jawa Barat, Sabtu (13/12/2025).
Padahal, aksi pengambilan paksa kendaraan oleh debt collector di tengah jalan meskipun dengan alasan debitur terlambat membayar kewajiban cicilan, tak memiliki dasar hukum yang kuat.
Serangkaian peristiwa meresahkan inilah yang kemudian memunculkan desakan dan wacana larangan penagihan utang oleh pihak ketiga, sebagai upaya melindungi debitur dari tindakan intimidatif dan kekerasan. Desakan salah satunya datang dari DPR.
DPR Minta OJK Hapus Aturan Penggunaan Debt Collector Pihak Ketiga

Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah atau akrab disapa Gus Abduh, dengan tegas meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghapuskan peraturan soal penagihan utang oleh pihak ketiga usai terjadi peristiwa penagihan utang yang menimbulkan tindak pidana dan korban jiwa.
“Ini kedua kali, saya minta OJK hapus aturan penagihan utang oleh pihak ketiga,” kata Abduh dalam keterangannya di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Menurutnya, Peraturan OJK (POJK) Nomor 35 Tahun 2018 dan Nomor 22 Tahun 2023 yang selama ini mengatur penagihan utang oleh pihak ketiga dapat dikatakan tidak efektif. Abduh pun mempertanyakan apa dasar OJK membuat peraturan penagihan oleh pihak ketiga.
Dia pun merujuk pada UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia yang tak memberikan mandat penagihan utang melalui pihak ketiga.
"Mengacu pada UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, di dalamnya tidak mengatur secara ekplisit dan memberikan mandat langsung untuk penagihan utang kepada pihak ketiga, melainkan pada kreditur," ujarnya.
Oleh karena itu, Abduh yang juga menjabat anggota Badan Legislasi DPR itu mendesak OJK untuk mengembalikan penagihan utang kepada kreditur atau pelaku usaha jasa keuangan tanpa pihak ketiga.
"Kembalikan penagihan utang kepada pelaku usaha jasa keuangan tanpa melibatkan pihak ketiga. Perbaiki tata kelola penagihan utang dengan peraturan yang mengutamakan perlindungan konsumen dan hak pelaku usaha jasa keuangan dengan tanpa atau minim celah tindak pidana," kata Abdullah.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini juga berpesan kepada OJK dan kepolisian untuk menindak tegas pelaku usaha jasa keuangan yang menagih utang melalui pihak ketiga dengan tindak pidana.
“Periksa dan investigasi pelaku usaha jasa keuangan terkait, jika ada pelanggaran tindak dan sanksi tegas, baik etik maupun pidana,” tegasnya.
OJK Bakal Tertibkan Praktik Penagihan Utang

Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menyatakan OJK sejatinya sudah memiliki pengaturan terkait tata cara penagihan kepada konsumen.
Aturan itu tertuang dalam POJK No. 22/POJK.07/2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Aturan tersebut memuat batasan-batasan yang jelas, termasuk prosedur dan proses penagihan yang harus dilakukan secara tepat dengan tata kelola yang baik.
Selain itu, dari sisi perlindungan konsumen, OJK sejak awal sudah menetapkan bagaimana penagihan seharusnya dilakukan agar tidak melanggar ketentuan.
Meski demikian, Mahendra menilai, kasus Kalibata penanganannya sudah berada di wilayah hukum pidana dan menjadi kewenangan aparat penegak hukum.
"Kalau yang kemarin saya rasa sudah lebih jauh daripada itu, sudah masuk ke masalah hukum. Itu kami akan lihat perkembangan lebih lanjut, saya rasa sudah beda. Isunya sudah isu penegakan hukum," ujar Mahendra dalam keterangannya, Selasa (16/12/2025).
Dia menegaskan bahwa pemberi pinjaman atau kreditur tidak boleh melepaskan tanggung jawab kepada pihak ketiga yang melakukan penagihan.
OJK juga menekankan dalam aturan ini, apabila Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) melanggar kebijakan dan prosedur tertulis terkait perlindungan konsumen, maka akan dikenakan sanksi, administratif mulai dari peringatan tertulis, pencabutan izin usaha hingga denda hingga Rp15 miliar.
OJK, kata Mahendra, akan menelaah apakah masih terdapat celah pengaturan atau langkah pengawasan tambahan yang perlu diperkuat agar kejadian serupa tidak terulang.
Putusan MK: Kreditur dan Debt Collector Tak Boleh Eksekusi Sepihak

Sebelumnya, pada 2020 silam, Mahkamah Konstitus (MK) pernah memutuskan perusahaan leasing atau pemberi kredit dan debt collector yang jadi pihak ketiga diberi kuasa tak dapat mengeksekusi objek jaminan fidusia atau agunan seperti kendaraan maupun rumah secara sepihak.
Hal itu dituangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat, sehingga setiap perusahaan leasing atau kuasanya tak boleh bertindak melakukan aksi pengambilan paksa bagi debitur yang mengalami keterlambatan pembayaran cicilan.
Dalam putusan itu, MK menyatakan selama ini tak ada tata cara pelaksanaan eksekusi atau penarikan barang leasing jika kreditur melewati tenggat pembayaran. Akibatnya muncul paksaan atau kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pembayaran tersebut atau kerap disebut debt collector alias mata elang.
Dalam putusannya, MK merujuk pada ketentuan eksekusi yang diatur aturan terkait bahwa eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur atau dalam istilah hukum disebut sebagai penerima fidusia atau penerima hak, melainkan harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri.
Menurunkan Kepercayaan Publik terhadap Industri Pembiayaan

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita mengatakan kasus kekerasan dalam penagihan utang di Kalibata, sudah cukup menjadi alasan kuat untuk mengubah aturan OJK yang ada saat ini.
"Kasus Kalibata menunjukkan aturan yang ada belum cukup kuat mencegah kekerasan di lapangan," ujarnya.
Insiden tersebut dinilai bukan sekadar persoalan pelanggaran oleh individu tertentu. Lemahnya kontrol dan pengawasan dinilai membuka ruang bagi praktik penagihan yang melampaui batas hukum.
"Masalahnya bukan hanya oknum, tapi lemahnya kontrol dan pengawasan," ujar Ronny.
Ia menilai OJK perlu mengambil langkah tegas agar penagihan utang tidak berubah menjadi tindak kriminal. Kejelasan batas kewenangan menjadi kunci mencegah kekerasan berulang.
Menurutnya, jika praktik penagihan agresif terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh debitur. Kepercayaan publik terhadap industri pembiayaan juga terancam menurun.
"OJK perlu mempertegas batas antara penagihan utang dan tindakan kriminal. Jika dibiarkan, kepercayaan publik pada industri pembiayaan bisa rusak," kata Ronny.
Di sisi lain, Ronny mengakui keberadaan debt collector memiliki manfaat dari sisi bisnis. Karena penagihan oleh pihak ketiga dinilai mampu meningkatkan efisiensi dan menekan angka kredit macet. Namun, keuntungan tersebut dibayangi risiko sosial yang besar karena praktik penagihan di lapangan kerap diwarnai intimidasi hingga kekerasan fisik.
"Plusnya, perusahaan pembiayaan lebih efisien dan kredit macet bisa ditekan. Minusnya, seperti terlihat di Kalibata, risiko kekerasan, intimidasi, dan main hakim sendiri sangat besar," kata Ronny. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance