Jakarta, TheStance – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat data pembiayaan Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) per September 2025 tembus Rp90,99 triliun, naik 22,16% dari Rp74,48 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Pembiayaan via pinjol tercatat naik 3,86% secara bulanan ke Rp87,6 triliun, menurut Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK.

"Pada industri pinjaman daring atau pindar, outstanding pembiayaan pada September 2025 tumbuh 22,16% yoy dengan nominal sebesar Rp90,99 triliun," katanya dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Oktober 2025, Jumat (7/11/2025).

Rasio kredit macet atau wanprestasi 90 hari (TWP90) menjadi 2,82% pada September 2025, dari sebelumnya 2,60% di bulan Agustus. Kondisi ini menunjukkan peningkatan jumlah peminjam yang mengalami gagal bayar.

Jumlah utang besebana (beli sekarang bayar nanti) atau paylater mencapai Rp10,31 triliun, lompat 88,65% secara tahunan, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan Agustus 2025 yang 2,92%, dengan tingkat kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) di 2,92%.

Dengan demikian, total utang masyarakat dari pinjol dan paylater, total mencapai Rp101,3 trliun.

Pinjaman Didominasi Anak Muda

pinjol

OJK mencatat mayoritas peminjam di platform fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) berasal dari kelompok usia 19-34 tahun alias generasi Z dan milenial.

Per April 2025 saja, dari total outstanding pinjaman P2P lending alias pinjaman online yang mencapai Rp76,16 triliun, tercatat Rp38,34 triliun berasal dari kelompok usia 19-34 tahun.

Posisi berikutnya ditempati kelompok usia 35-54 tahun dengan nilai Rp34,28 triliun. Sementara itu, kelompok usia di atas 54 tahun tercatat memiliki pinjaman Rp3,46 triliun, dan kelompok usia di bawah 19 tahun mencatat pinjaman Rp303,9 miliar.

OJK pun mengingatkan masyarakat agar bersikap kooperatif jika mengalami kesulitan membayar utang pinjaman online (pinjol).

Ketimbang menghindar, masyarakat disarankan untuk berkomunikasi langsung dengan perusahaan pemberi pinjaman guna mencari solusi yang sesuai dan terhindar dari penagihan oleh debt collector di lapangan.

Jangan Kabur, Ajukan Restrukturisasi

Kiki OJK

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Frederica Widyasari Dewi, menegaskan bahwa perilaku kabur atau menghindar bisa dianggap sebagai tanda tidak beritikad baik.

“Kalau memang tidak bisa bayar, jangan lari, jangan kabur, jangan pindah alamat, jangan pindah kota. Itu dibilang konsumen tidak beritikad baik,” ujar Frederica dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).

Menurutnya, jika seseorang mengalami kesulitan keuangan akibat kehilangan pekerjaan atau alasan lain, langkah terbaik adalah datang langsung ke perusahaan pinjaman untuk mengajukan restrukturisasi utang.

“Lebih baik datangi perusahaannya, bilang saja, ‘Pak, Bu, saya lagi kena PHK. Bisa tidak saya melakukan restrukturisasi?’ Itu lebih bisa diterima,” tuturnya.

Frederica memastikan pihaknya akan membantu mediasi klien tersebut. “Nanti akan dipertemukan. Banyak kasus seperti ibu-ibu yang terjerat pinjol, kita bantu pertemukan. Tapi jangan jadi konsumen yang tidak kooperatif,” jelas .

Dalam praktiknya, OJK juga melarang keras debt collector menggunakan cara-cara intimidatif dalam menagih utang. Penagihan tidak boleh dilakukan dengan kekerasan fisik, pelecehan verbal, atau tindakan lain yang merendahkan martabat manusia.

OJK menegaskan bahwa perusahaan pinjaman wajib memastikan setiap proses penagihan berjalan dengan etika, transparansi, dan menghormati hak konsumen.

Sinyal Negatif Perekonomian Nasional

Bhima Yudhistira

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan kenaikan jumlah utang pinjol masyarakat bukan sinyal positif untuk perekonomian nasional. Peningkatan jumlah utang tersebut menunjukkan pendapatan masyarakat tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

Apalagi, menurut Bhima, mayoritas utang pinjol digunakan untuk pendanaan konsumtif sehingga dana tersebut akan habis begitu saja dan menyisakan bunga yang terus berlipat ganda.

"Masyarakat makin butuh dana cepat, pinjol jadi jawabannya, dan ini bukan indikator ekonomi yang positif," kata Bhima dalam keterangannya, Selasa (11/11/2025).

Menurutnya, jika kondisi ini terus berlanjut, daya beli masyarakat yang sudah rendah dapat makin tergerus karena gaji atau pendapatan mereka habis hanya untuk membayar bunga dan cicilan pinjol.

Belum lagi jika ternyata mereka terjebak dalam siklus utang ke utang dimana untuk bisa membayar utang sebelumnya, mereka perlu menambah utang di pinjol lain.

Daya Beli Masyarakat Bergantung pada Utang

Achmad Nur Hidayat

Senada, pengamat kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Dia menjelaskan lonjakan data utang pinjol dan besebana menunjukkan masyarakat bergantung pada utang sebagai tumpuan daya beli.

“Pinjol telah menjadi mesin daya beli bagi banyak masyarakat, dan di balik pertumbuhannya tersimpan cermin rapuhnya fondasi ekonomi nasional,” kata Achmad dalam keterangannya, Kamis (13/11/2025).

Padahal pinjol awalnya hanya solusi bagi keterbatasan akses keuangan. Tapi kini justru menjadi sumber utama daya beli masyarakat. Dia menganalogikan pinjol sebagau "oksigen sintetis" bagi ekonomi rumah tangga yang sesak napas.

Dari sisi makro ekonomi, ketika konsumsi semakin dibiayai utang, maka pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidak sehat. Sebab pertumbuhan tidak didorong oleh daya beli riil.

“Kondisi ini seperti mobil yang melaju cepat karena nitro-booster, tapi ketika bahan bakar tambahan itu habis, mesin berpotensi macet total,” kata Achmad.

Dia juga menyoroti, data yang menunjukkan mayoritas pengguna pinjol berasal dari generasi muda usia 19-34 tahun. Mereka, kata Achmad, merupakan orang-orang dengan usia produktif, namun mirisnya justru semakin akrab dengan kredit cepat.

“Akses mudah, proses singkat, dan promosi agresif menjadikan pinjol terasa seperti teman akrab di layar ponsel, padahal di balik kenyamanan itu tersembunyi bunga tinggi, potensi gagal bayar, dan tekanan psikologis yang tidak kecil,” kata dia.

Baca Juga: Pinjol; Solusi Cepat Dapatkan Duit Mudah tapi Bisa Berharga Nyawa

Fenomena ini mencerminkan adanya ketimpangan antara gaya hidup digital yang kuat dengan ketahanan ekonomi riil yang lemah.

"Generasi muda bukan tidak produktif, tetapi mereka menghadapi realitas ekonomi di mana pendapatan tumbuh lebih lambat daripada kebutuhan.”

Achmad mendorong pemerintah untuk menata ulang fungsi pinjol. Ia menilai, perlu ada pembatasan rasio utang terhadap pendapatan.

Sebagai solusi jangka pendek, menurut Achmad, pemerintah harus bisa segera menurunkan beban hidup masyarakat, misalnya penurunanharga pangan, transportasi, dan kesehatan. Ketika biaya hidup turun, otomatis kebutuhan utang akan berkurang. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance