Oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), akademisi yang mengawali karir di Institut Bisnis Indonesia (IBII), peraih gelar Magister Ekonomi Bisnis dari Erasmus University Rotterdam dan gelar profesional di bidang akuntansi manajemen dari Institute of Certified Management Accountants.

Belum lama ini, tersebar tulisan atas nama Laksamana Sukardi di berbagai WhatsApp Group, dengan judul: DEBAT KUSIR “WHOOSH”.

Dalam tulisan itu, ia mengatakan, untuk membandingkan proyek kereta cepat harus apple-to-apple, yakni harus dengan proyek sejenis.

Dia juga mengatakan, pihak yang mengkritisi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sejauh ini tidak membandingkan proyek KCJB secara objektif dengan proyek sejenis: tidak memperhitungkan kompleksitas trase Jakarta-Bandung yang melewati ketinggian (gunung).

Menurutnya, KCJB seharusnya dibandingkan dengan proyek Maglev Chuo Shinkansen dari Tokyo-Nagoya.

Masalahnya, Chuo Shinkansen Tokyo-Nagoya juga tidak dapat dibandingkan dengan KCJB. Bahkan lebih parah. Bukan hanya medan konstruksi yang berbeda, teknologi kedua kereta cepat tersebut juga berbeda jauh, bagaikan ‘bumi dan langit’: bagaikan membandingkan ‘macan dengan kucing’.

Pertama, teknologi kereta cepat Maglev (Magnetic Levitation) yang ‘terbang’ melayang, jauh lebih canggih dan kompleks dibandingkan dengan teknologi kereta cepat jakarta bandung yang bergerak di atas roda: mar.

Kedua, kecepatan Kereta Cepat Maglev Chuo Shinkansen Tokyo-Nagoya bisa mencapai 500 km per jam atau lebih. Bahkan kecepatan kereta cepat teknologi Maglev dapat mencapai 600km per jam atau lebih.

Ketiga, medan pembangunan konstruksi Chuo Shinkansen Tokyo-Nagoya jauh lebih kompleks dari KCJB, dengan sekitar 90 persen terdiri dari terowongan, dengan kedalaman 40 meter di bawah tanah.

Baca Juga: Merancang Ulang Pembiayaan Kereta Cepat Whoosh: dari Beban Menuju Investasi Berdaulat

Jadi, dengan mengatakan KCJB seharusnya dibandingkan dengan Chuo Shinkansen Tokyo-Nagoya jelas misleading.

Pertanyaannya, apakah penulis atas nama Laksamana Sukardi tersebut paham sepenuhnya bahwa tulisannya tersebut misleading: tidak membandingkan apple-to-apple antara KCJB dengan Chuo Shinkansen.

Atau memang sengaja melakukan misleading ini, untuk mendiskreditkan para pengamat KCJB yang bersuara keras ada dugaan korupsi dan markup dalam pengadaan proyek KCJB ini, untuk maksud tertentu?***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.