Jakarta, TheStance – Penanganan bencana alam Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh mengungkap temuan mengenai tren komunikasi pemerintah yang mencerminkan mentalitas asal bapak senang (ABS) dan upaya menutupi fakta di lapangan.
Alih-alih menawarkan solusi cepat dan penanganan yang pasti, respons sejumlah pejabat justru kontraproduktif dan memicu antipati publik karena dinilai tidak mencerminkan adanya bela rasa pusat terhadap musibah di daerah.
Mulai dari ajudan Presiden Prabowo Subianto, Agung Surahman, yang mengunggah konten "a day in my life" pamer kehidupan dan fasilitas mewah ketika hendak mengunjungi korban bencana, hingga Presiden yang memuji keunggulan kelapa sawit.
Padahal, pembukaan kebun kelapa sawit di hutan lindung Sumatra diduga menjadi pemicu banjir bandang, selain aktivitas pembukaan lahan tambang dan pembangkit listrik.
“Tapi kita diberikan karunia oleh Yang Maha Kuasa, kita punya kelapa sawit, kelapa sawit bisa jadi BBM, bisa jadi solar, bisa jadi bensin juga kita punya teknologinya," kata Prabowo di Hari Ulang Tahun ke-61 Partai Golkar, di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025).
Demikian juga Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang menilai bencana Sumatra sebagai "momentum yang baik.." untuk evaluasi kebijakan, seolah mengabaikan fakta bahwa momen tersebut bagi para korban terasa sebagai derita dan kepedihan.
Belum lagi seruan taubat nasuha Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Muhaimin Iskandar yang justru berujung polemik di internal para menteri.
Laporan "Asal Bapak Senang"
Terbaru, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menuai sorotan publik karena dianggap berbohong kepada presiden, ketika dengan enteng berkata bahwa kondisi listrik di Aceh sudah hampir pulih.
Faktanya, masih banyak wilayah yang belum teraliri listrik. Bahlil beralasan bahwa apa yang disampaikannya adalah berdasarkan laporan PT PLN di Aceh per 7 Desember 2024, yang sudah mencapai 93%.
“Kondisinya susah untuk diprediksi, begitu. Karena itu sebagai pemerintah juga ikut prihatin yang sedalam-dalamnya dan kalau ada yang memang belum maksimal kita memberikan pelayanan, kami memohon maaf,” ujar Bahlil, di Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Apa yang disampaikan oleh Bahlil dengan perkataan maaf sama persis dengan Ketua Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Suhariyanto, yang awalnya memandang skala kerusakan dampak banjir sebagai biasa.
Namun, ia kemudian menyampaikan permintaan maaf setelah turun langsung meninjau lokasi terdampak banjir di Batangtoru, Tapanuli Selatan. “Tapsel ini saya surprised begitu ya, saya tidak mengira sebesar ini. Saya mohon maaf, Pak Bupati.”
Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengamati respons para pejabat terkait penanganan bencana Sumatra. Dia menilai akar masalahnya terletak pada putusnya ruang dialog antara elit dan masyarakat.
Menurut dia, pejabat publik kini berada dalam "lingkaran konsentris yang elitis" dan hidup dalam gelembung (bubble) informasi yang steril, sementara dialog langsung dengan rakyat di akar rumput sangat terbatas.
"Mereka ada dalam sebuah bubble yang kelihatannya baik-baik saja, kalau dulu ada istilah Asal Bapak Senang," ujarnya kepada TheStance, Kamis (11/12/2025).
Terlalu Banyak Gap

Fakta buruknya komunikasi pemerintah dalam penanganan bencana memunculkan pertanyaan: apakah ini sekadar pemilihan diksi yang buruk, atau mencerminkan frekuensi yang diatur tak nyambung antara birokrasi, masyarakat, dan korban bencana?
Di satu sisi warganet di media sosial mengritik pemerintah dan menudingnya lamban, pemerintah merasa semuanya terkendali dan mengingatkan hoax soal banjir. Merespons itu, warga Aceh yang jadi korban pun pasang bendera putih.
Menurut Firman, kondisi ini menunjukkan bahwa tidak sedikit pejabat terlihat berbeda frekuensi dengan masyarakat, mengindikasikan keterpisahan dalam memandang fakta antara pejabat di Jakarta dan rakyat di Indonesia.
Penyebabnya ada tiga. Pertama, alur birokrasi berlapis dan elitis di mana sistem organisasi pemerintahan yang berlapis-lapis menjauhkan pejabat dari akar rumput, menyebabkan informasi yang didapatkan tidak merefleksikan realitas sesungguhnya.
Kedua, karakteristik elitis para politisi. Pejabat yang awalnya populis setelah lama berada di lingkaran elit cenderung menjadi bagian dari elit dan tidak bersungguh-sungguh menyelami persoalan dari sudut pandang masyarakat. Mereka merasa sudah menjadi "wakil rakyat" yang tak perlu lagi ke lapangan.
Ketiga, mereka pada dasarnya bukan pemimpin yang berakakter lincah, adaptif, dengan mobilitas tinggi untuk menyentuh masyarakat. “Mereka pasif gitu ya, cenderung status quo, konservatif, merasa everything is fine," kata Firman.
"Yang keempat, bisa jadi karena merasa sudah oke segala sesuatu yang kemudian dianggap bisa membantu, itu justru memalukan. Ini kembali ke persoalan bahwa mereka tidak mengerti apa yang terjadi,” tegas Firman.
Baca Juga: Nasdem Pertanyakan Kakunya Aturan Izin Bantuan, Warga Aceh Siap Bergerak
Di sisi lain, pemerintah daerah yang lebih mengetahui kondisi lokal di kawasan bencana seolah tidak didengar oleh pemerintah pusat. Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem menyerukan bantuan internasional, pemerintah menganggap tidak perlu.
Firman menilai bencana di Sumatra adalah kumulasi kebijakan-kebijakan yang "buas" dan tidak mempedulikan kelestarian alam, menjadikannya "bom waktu" yang akhirnya meledak.
"Padahal Gubernur Riau sendiri merasa ini sudah nuansanya sama atau bahkan lebih buruk dari tsunami," tegasnya.
Kegagalan penetapan status bencana nasional mengisyaratkan adanya upaya sistematis dari Jakarta untuk meredupkan sorotan dunia terhadap wilayah bencana, meminimalkan kerugian politik, dan konsekuensi hukum dari bencana ini.
Kekacauan komunikasi para pejabat Jakarta, menurut Firman, menjadi bukti nyata bahwa sistem checks and balances di Indonesia telah rusak, di mana oligarki mengontrol narasi hingga memengaruhi komunikasi pemerintah dalam krisis kali ini. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance