
Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).
Chief Global Economist J.P. Morgan, Bruce Kasman, menyatakan bahwa risiko terbesar perekonomian global tahun 2026 bersumber dari penurunan konsumsi di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan China.
Pada saat yang sama, upah mengalami penurunan dibarengi dengan inflasi tinggi akibat Trade War 2.0 antara AS dengan China.
Perekonomian AS dan China berkontribusi hampir separuh dari perekonomian global, yaitu sekitar 45% dari Produk Domestik Bruto (PDB) harga konstan global tahun 2024. Perekonomian AS berkontribusi sekitar 26% dan China sekitar 19%.
Meskipun demikian, J. P. Morgan memproyeksikan bahwa probabilitas terjadinya resesi hanya sebesar 35% pada tahun 2026. Hal ini disebabkan oleh kebijakan stimulus fiskal untuk mendongkrak konsumsi, baik di negara maju maupun di Emerging Market Economies (EMEs).
Risiko utama perekonomian global tahun 2026 juga bersumber dari kebijakan tarif AS yang membawa perekonomian global memasuki fase baru, yaitu fase proteksionisme baru (new protectionism) dan meningkatnya kecenderungan blok perdagangan antara AS dan Uni Eropa (UE) berhadapan dengan China dan Rusia.
Akibatnya, pertumbuhan perdagangan global diperkirakan akan mengalami penurunan yang sangat signifikan, yaitu dari 2,4% tahun 2025 menjadi hanya 0,5% tahun 2026 secara tahunan (year–on–year).
Risiko utama perekonomian global juga bersumber dari inflasi tinggi, terutama di negara-negara maju seperti AS.
Hal ini tidak memberi ruang bagi The Fed, bank sentral AS dan bank sentral negara-negara maju lainnya melanjutkan tren penurunan suku bunga acuan (policy rate). Perekonomian global tahun 2026 masih akan berada dalam rezim suku bunga tinggi.
Dampak Perang Tarif pada Inflasi

Hasil perhitungan yang dilakukan oleh The Fed (2025) dalam kasus perekonomian AS menunjukkan bahwa peningkatan 10% biaya perdagangan global yang disebabkan oleh kenaikan tarif terhadap intermediate goods (barang input) akan meningkatkan inflasi Consumer Price Index (CPI) sebesar 0,3%.
Sementara, pengenaan tarif 10% terhadap barang jadi (final goods) akan menaikkan CPI inflation sebesar 0,5%. Namun, jika tarif 10% dikenakan terhadap impor barang setengah jadi dan barang jadi secara bersamaan maka CPI inflation akan naik 0,8%.
Selain itu, perekonomian global juga menghadapi risiko fiskal akibat peningkatan utang pemerintah.
Hal ini, sejalan dengan Ray Dalio dalam buku How Countries Go Broke, The Big Cycle menyatakan bahwa terdapat kecenderungan utang global akan terus meningkat yang mendongkrak risiko fiskal.
Investor global, Ray Dalio memperkenalkan konsep “the big debt cycle”, yaitu pada saat utang naik, pengeluaran naik dan harga aset menjadi tinggi. Pada saat yang sama para investor memperoleh benefit tercermin pada kenaikan pendapatan.
Namun, pada saat jatuh tempo pembayaran utang membuat pengeluaran menurun dan harga aset juga turun secara signifikan. Akibatnya, pendapatan dari aset produktif juga mengalami penurunan. Investor merasa situasi ekonomi lebih buruk.
Fenomena ini membuat pertumbuhan utang pemerintah sebagai persentase terhadap PDB meningkat sangat signifikan.
Sebagai contoh, rasio utang pemerintah AS terhadap PDB telah mencapai 123%, Jepang jauh lebih tinggi sekitar 235%, Singapura sebesar 175%, Inggris di angka 104% dan lain-lain (IMF, 2025).
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2026
Peningkatan risiko perekonomian global 2026 berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi global tahun 2026, yaitu diperkirakan tumbuh sekitar 2,6%. Lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi 2024 sebesar 2,9% (UNCTAD, 2025).
Proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 dan 2026 sejalan dengan kecenderungan perlambatan pertumbuhan ekonomi global selama 2 dekade terakhir.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi global periode 2004–2007 sekitar 4,4%, turun menjadi 3% pada 2011–2019 dan 2,7% pada 2023–2026.
Tren pertumbuhan ekonomi global sejalan dengan tren pertumbuhan China sebagai perekonomian terbesar ke-2 dunia, dari rata-rata di atas 10% (2004–2011) ke 5% (2023–2026). Perekonomian China mencapai pertumbuhan tertinggi di 14,2% (2007).
Hal yang sama juga dialami perekonomian AS sebagai perekonomian terbesar dunia, yaitu mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dari 3,8% (2004) menjadi 2,9% (2023), ke 2,8% (2024), diperkirakan melambat menjadi 1,8% (2025) dan 1,5% (2026).
Perekonomian UE juga mengalami kecenderungan sama, yaitu tumbuh sekitar 3,6% (2022), lalu turun menjadi 0,4% (2023) karena perang Ukraina, selanjutnya diproyeksi menjadi 1,3% (2025) dan 1,4% (2026).
Pola yang sama juga terjadi di negara-negara emerging market di luar China, yaitu tumbuh 6,5 – 7,1% (2004–2007), turun jadi 3,8% pascapandemi Covid-19 (2023), ke 3,7% (2024), dan diperkirakan stagnan di 3,7% pada 2025–2026 (UNCTAD, 2025).
Di Indonesia kecenderungannya juga sama, yaitu tumbuh rata-rata 6% (2004–2007), lalu turun ke 4,5% (2009) karena krisis keuangan global. Berkat kebijakan kontra-siklus yang tepat, ekonomi nasional kembali tumbuh menjadi sekitar 6% (2010–2013).
Mitigasi Risiko Global
Sejak 2014–2024, kecenderungan pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali mengalami penurunan, menjadi hanya sekitar 5%. Diperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 dan 2026 sekitar 4,9–5,1%.
Potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional 2026 terjadi karena meningkatnya risiko perekonomian global menjalar lewat 2 saluran yaitu: pertama, jalur pelambatan ekspor yang membuat net export menurun bahkan berpotensi bernilai negatif.
Kedua, jalur penurunan aliran investasi global yang menyebabkan realisasi investasi di dalam negeri melambat.
Berdasarkan data PDB dari sisi pengeluaran menunjukkan bahwa kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 1,59% dari total pertumbuhan ekonomi sebesar 5,04% pada kuartal III tahun 2025.
Sementara itu, net export sebagai selisih antara ekspor dan impor berkontribusi sekitar 0,24 sehingga, secara bersama-sama, investasi dan net export berkontribusi sebesar 1,83% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional selama dua dekade terakhir pada tahun 2026?
Dalam jangka pendek, melanjutkan paket stimulus fiskal untuk mengabsorbsi tekanan terhadap perekonomian nasional yang bersumber dari perekonomian global. Stimulus fiskal diarahkan untuk mempertahankan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Hal ini sesuai fakta bahwa pertumbuhan ekonomi nasional selalu sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Lebih dari separuh pertumbuhan PDB dari sisi pengeluaran disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga, sekitar 2,54% dari 5,04% pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun 2025.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia 2025: antara “Mimpi” dan Realita
Dari sisi moneter, suku bunga riil, yaitu selisih antara BI rate (policy rate) dengan inflasi harus tetap terjaga. Hal ini untuk menjaga agar aset berdenominasi rupiah, seperti yield dan harga surat berharga negara tetap menarik bagi investor asing.
Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah dituntut fokus mengatasi secara radikal dan revolusioner masalah-masalah pada sisi produksi (supply side) dengan “supply side revolution”.
Salah satunya, mengurangi “technology gap” atau “knowledge gap” di sektor manufaktur dengan negara maju.
Selain itu, agenda kebijakan yang sangat penting dan mendesak adalah pemerintah harus fokus mengatasi kelemahan pada “institutional factor”.
Khususnya, yang berkaitan dengan transaction cost (biaya transaksi) tinggi yang menyebabkan inefisiensi ekonomi yang tergambar pada nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang sangat tinggi. Tertinggi di antara negara-negara ASEAN.
Akhir kata, pemerintahan Prabowo perlu belajar kepada AS, Uni Eropa, Jepang, Korea dan lainnya yang mencapai status negara maju dengan sistem ekonomi pasar (kapitalis).
Termasuk, belajar pada kisah sukses China dengan model ekonomi hybrid, yaitu beyond socialism and capitalism.
Pengalaman mengajarkan bahwa model ekonomi barat dan timur (China) yang sukses membawa kemakmuran dengan pendapatan per kapita tinggi karena menempatkan penegakan hukum yang sangat kuat sebagai fondasi kemajuan ekonomi.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.