Jakarta, TheStance Pancasila bukanlah prinsip belaka, yang termuat di citra burung garuda sebagai lambang negara. Negara berupaya mengejawantahkan prinsip abstrak tersebut menjadi program riil, salah satunya di alokasi anggaran pendidikan.

Hal ini terungkap dalam Sosialisasi Empat Pilar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan penyerapan aspirasi rakyat oleh Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) MPR RI Melchias Markus Mekeng.

Dalam program publik yang berlangsung di lapangan Kantor Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu lalu (14/12/2025), Mekeng mengungkap dua hal yang sekilas tak saling terkait, tapi sebenarnya tidak terpisahkan.

Pertama, tentang pentingnya keberadaan Pancasila sebagai ideologi pemersatu, kedua tentang penentuan alokasi anggaran pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dirumuskan oleh pemerintah dan disahkan oleh MPR.

Mekeng menegaskan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang penting untuk merekatkan bangsa Indonesia, sehingga bangsa yang sangat beragam (lebih dari 1.300 suku bangsa) ini terhimpun dalam satu persatuan.

“Kalau tidak ada Pancasila, saya yakin negara ini sudah pecah. Kita bisa hidup rukun sampai hari ini karena ada alat perekat bangsa, yaitu Pancasila,” ujarnya.

Sebagai ideologi, lima pinsip di Pancasila itu dimanifestasikan dalam berbagai program dan kebijakan pemerintah, salah satunya terkait dengan kebijakan pendidikan.

Perjuangkan Pancasila dalam Kebijakan Pendidikan

NTTDi hadapan tokoh dan perwakilan masyarakat setempat, Mekeng dalam kegiatan sosialisasi dan penyerapan aspirasi itu mengingatkan agar Pancasila dan UUD 1945 menjadi pijakan utama mewujudkan keadilan sosial, terutama di bidang pendidikan.

Mekeng yang juga Ketua Badan Penganggaran MPR RI menyoroti pentingnya pendidikan sebagai hak konstitusional yang diamanatkan UUD 1945 sehingga harus diwujudkan secara merata sebagaimana prinsip keadilan sosial di sila kelima Pancasila.

“Pendidikan itu hak anak-anak kita. Tidak boleh lagi ada pembedaan antara sekolah negeri dan swasta. Semua anak harus mendapatkan pendidikan yang layak dan gratis,” tegasnya.

Mekeng berharap anggaran pendidikan 2026 yang mencapai Rp754 triliun dapat direalisasikan untuk memperbaiki mutu pendidikan dasar dan menengah, serta meningkatkan kesejahteraan guru, baik di sekolah negeri maupun swasta.

“Tidak boleh lagi dibedakan guru negeri dan swasta. Semua guru sama. Kalau sekolah swasta tutup, sekolah negeri juga tidak akan mampu menampung semua siswa,” katanya.

Perjuangan mewujudkan keadilan sosial melalui pemerataan pendidikan itu tidaklah mudah. Secara spesifik, Mekeng menyoroti masih adanya ketidakadilan dalam alokasi anggaran pendidikan.

Dari anggaran pendidikan Rp724 triliun pada tahun ini, faktanya yang benar-benar dirasakan siswa hanya sekitar Rp91 triliun, sementara pendidikan kedinasan dengan 13.000 siswa mendapat Rp101 triliun.

“Ini jelas tidak adil. Ada 64 juta siswa SD hingga perguruan tinggi hanya mendapat Rp91 triliun, sementara 13.000 siswa kedinasan mendapat Rp101 triliun. Saya 'ribut' soal ini dan sekarang sudah ada perbaikan,” ujarnya.

Pekerjaan Besar Masih Menunggu

NTTHingga kini kendala ekonomi dalam beberapa kasus masih mempersulit rakyat kecil untuk menikmati buah pendidikan. Mekeng berbagi kisah ketika beberapa siswa di sekolah swasta tidak memiliki biaya untuk menebus tunggakan biaya ijazah.

“Ada tunggakan Rp200.000 sampai Rp1 juta. Saya minta orang tua dipanggil dan ijazahnya diberikan, karena tanpa ijazah mereka tidak bisa melamar pekerjaan,” katanya.

Bahkan, kondisi sarana prasarana sekolah negeri di kampung halamannya sendiri, yakni di NTT, masih banyak yang tidak layak. “Siapa yang mau sekolah kalau ruang kelasnya seperti kandang sapi? Ini sekolah negeri, dan saya malu melihat kondisinya.”

Dalam beberapa kasus, dia secara pribadi bahkan harus turun tangan untuk membantu memperbaiki keadaan, misalnya dengan menyediakan asrama untuk siswi SMP Negeri 1 Kewapante karena sulitnya akses ke sekolah tersebut.

Baca Juga: Buruknya Layanan Kesehatan di Daerah Terpencil Jadi PR Prabowo

MPR memiliki amanat untuk memasyarakatkan Empat Pilar, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.

Menurut Mekeng, penguatan ideologi Pancasila sempat melemah pasca-reformasi ketika eforia kebebasan membuat sebagian masyarakat mengecilkan simbol-simbol negara. Padahal, hal itu sangat berbahaya, terutama bagi generasi muda.

“Dulu ada anggapan bahwa Pancasila tidak perlu dikultuskan. Padahal, kalau Pancasila tidak dikuatkan, terutama kepada generasi muda, ini sangat berbahaya,” katanya.

Mekeng menyoroti ancaman masuknya ideologi perusak melalui teknologi digital dan media sosial. “Lewat media sosial, narasi yang menjelekkan Pancasila bisa dengan mudah masuk sampai ke pelosok. Ini yang harus kita waspadai,” ujar Mekeng.

Ia mencontohkan negara-negara yang terpecah seperti Yugoslavia, Irak, Libya, dan Suriah sebagai pelajaran penting karena mereka tidak memiliki nilai pemersatu.

Oleh karena itu, Mekeng mendesak agar penguatan Pancasila dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional sejak dini. “Kalau ini luntur, itu hanya soal waktu negara ini pecah. Pendidikan ideologi harus dimulai sejak dini,” tegasnya.

“Empat pilar ini tidak boleh dipisahkan. Ini harga mati.. Kita harus berpikir bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk anak dan cucu kita. Jangan sampai mereka hidup di negara yang terpecah,” pungkasnya. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance