Buruknya Layanan Kesehatan di Daerah Terpencil Jadi PR Prabowo

Pakar kesehatan mengungkap rendahnya kualitas layanan kesehatan daerah terpencil. Harus jadi perhatian pemerintah baru.

By
in Headline on
Buruknya Layanan Kesehatan di Daerah Terpencil Jadi PR Prabowo
Layanan posyandu di daerah terpencil. (Sumber: Vale.com).

Jakarta, TheStanceID - Presiden Prabowo Subianto menghadapiisu krusial bidang kesehatan yang membutuhkan perhatian segera, terutama dalam hal distribusi tenaga kesehatan dan kualitas layanan di daerah terpencil.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Budi Santoso menyoroti belum meratanya distribusi tenaga kesehatan, terutama di wilayah pedalaman. Minimnya tenaga kesehatan yang layak di desa tidak hanya disebabkan oleh distribusi yang tidak merata tetapi juga dipengaruhi berbagai faktor.

"Antara lain gaji dan tunjangan yang rendah, fasilitas dan infrastruktur kesehatan yang minim di desa-desa, juga kurangnya peluang pengembangan diri bagi tenaga kesehatan di daerah terpencil," kata Budi dalam Diskusi Akhir Pekan Forum Guru Besar dan Doktor yang diselenggarakan Forum Insan Cinta, Minggu (3/11/2024).

Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru agar pelayanan kesehatan bisa lebih merata lagi.

Selain itu, Budi juga menyoroti pentingnya penguatan BPJS Kesehatan untuk keberlanjutan pelayanan kesehatan universal. Saat ini, BPJS Kesehatan masih menghadapi defisit anggaran dan rendahnya tingkat kepatuhan iuran.

"Pemerintah perlu memperbesar anggaran untuk menutupi kebutuhan sektor kesehatan yang semakin kompleks," ujarnya sambil membandingkan anggaran kesehatan Indonesia yang relatif rendah dibandingkan negara-negara lain.

Isu penanganan penyakit menular, seperti tuberkulosis (TBC) dan human immunodeficiency virus (HIV) juga harus menjadi perhatian khusus. Budi mengingatkan bahwa penyakit-penyakit ini perlu ditangani dengan lebih baik melalui peningkatan deteksi dini dan edukasi masyarakat.

 
Masalah Gizi dan Stunting

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) M. Adib Khumaidi menilai Indonesia menghadapi tantangan besar di sektor kesehatan masyarakat. Mulai dari rendahnya angka harapan hidup hingga masalah gizi dan penyakit.

"Indonesia masih mengalami masalah gizi antara lain stunting yang masih tinggi 21,6% dan obesitas 21,8%," papar Adib.

Selain itu, penyakit tidak menular seperti jantung dan diabetes menyumbang 73% kematian. Sementara, penyakit menular seperti TBC dan kusta juga masih tinggi, menjadikan Indonesia peringkat kedua dunia untuk TBC dan ketiga untuk kusta.

Masalah lain yang membayangi sektor kesehatan adalah pelayanan yang belum merata. Hanya 51,14% Puskesmas yang memenuhi standar dengan menyediakan sembilan jenis tenaga kesehatan.

Tidak hanya itu, dari sisi sumber daya manusia, juga timbul permasalahan dari UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang mengurangi peran organisasi profesi kesehatan dan belum memberikan apresiasi yang memadai bagi tenaga kesehatan.

"Biaya pendidikan kedokteran yang mahal juga menjadi hambatan untuk mencetak tenaga kesehatan baru," jelasnya.

Untuk membantu mengatasi itu, layanan kesehatan digital semestinya bisa menjadi solusi. Budi menekankan, infrastruktur teknologi kesehatan harus diperkuat agar lebih banyak masyarakat dapat menikmati layanan medis jarak jauh.

"Kondisi geografis dan ekonomi mengakibatkan tidak meratanya layanan kesehatan di daerah pedalaman dan terpencil Indonesia," katanya.



Masalah Baru KRIS

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Zainal Muttaqin menyoroti tingginya angka kematian peserta BPJS Kesehatan kelas 3, sebagai salah satu isu krusial di bidang pelayanan kesehatan saat ini.

Kelompok ini lebih sulit mengakses pelayanan jika dibandingkan peserta kelas 1 dan 2--yang bisa naik kelas guna mendapat layanan lebih cepat dan lebih baik. Padahal 70% dari jumlah peserta BPJS Kesehatan merupakan peserta kelas 3.

"Kelas 3 itu pasrah. Di Rumah sakit rujukan, saya 29 tahun bekerja di RS vertikal, rujukan antrian pasien tumor otak itu berlaku 6 bulan, ini berlaku juga untuk tumor-tumor lain. Dokter di sana tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.

Zainal berharap Pemerintahan Prabowo-Gibran bisa mengatasi berbagai tantangan ini. Salah satunya terkait fasilitas perawatan bagi peserta BPJS.

Apalagi, Sistem Kelas di BPJS Kesehatan akan diganti dengan Sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) paling lambat 30 Juni 2025. Dokter Bedah Saraf RS Telogorejo Semarang ini mencium potensi masalah terkait akses ruang perawatan ketika KRIS diterapkan.

Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2021, disebutkan bahwa total ruang perawatan di rumah sakit swasta minimal 40% bisa untuk pasien KRIS. Sedangkan untuk rumah sakit milik pemerintah, minimal 60% untuk KRIS.

“Nah ini kan menjadi persoalan. Kalau sekarang kan seluruh ruang perawatan (kelas) I, II, dan III kan digunakan oleh peserta JKN. Kalau penggunaan KRIS satu ruang perawatan, maka akan ada upaya pembatasan,” katanya.

Zainal menilai saat ini rumah sakit rujukan sudah mengarah ke komersialisasi atau bisnis. Kementerian Kesehatan mestinya bisa menjadi kepanjangan tangan negara untuk memenuhi tugas konstitusi di bidang Kesehatan.

"Kesehatan adalah hak asasi, pemerintah harus keluar uang di situ, bukan mencari keuntungan," katanya. (est)

\