Jakarta, TheStanceID -- Di tengah rentetan pekerjaan rumah yang menjerat Jepang, mulai dari kebijakan migrasi, populasi, pergolakan geopolitik hingga laju ekonomi, sosok Sanae Takaichi muncul sebagai simbol perubahan nan kontroversial.
Mantan menteri ekonomi keamanan ini resmi menjadi Perdana Menteri (PM) pada Selasa (21/10/2025), menggantikan Shigeru Ishiba yang mengundurkan diri pada September 2025 lalu.
Momentum terpilihnya Takaichi sekaligus mengukir namanya sebagai PM perempuan pertama dalam sejarah Jepang.
Takaichi ditahbiskan menjadi PM setelah beberapa minggu dirinya terpilih menjadi Presiden Partai Demokrat Liberal (LDP). Ia menang dalam putaran kedua melawan Shinjiro Koizumi (44 tahun), putra mantan PM Jepang, Junichiro Koizumi.
Sebagai informasi, proses pemilihan PM di Negeri Sakura berdasarkan pada hasil pemilihan pimpinan partai yang berkuasa dilanjutkan pada persetujuan oleh majelis parlemen.
Tak hanya menghadirkan figur perempuan dalam sejarah kepemimpinan pemerintahan Jepang, Takaichi juga memiliki sepak terjang karir politik yang panjang khususnya di partai yang menaunginya.
Ia dikenal sebagai sosok ultra konservatif yang ketat terhadap urusan imigrasi dan vokal mengkritik China. Sosok politikus yang menjadi role model-nya adalah mantan PM Inggris Margaret Thatcher.
Julukan Margaret Thatcher van Asia pun melekat padanya. “Takaichi adalah salah satu orang paling konservatif di Partai Liberal Demokratik (LDP) yang konservatif di Jepang,” kata Jeffrey Hall, dosen dari Universitas Kanda.
Julukan “Iron Women”

Seperti Margaret Thatcher, Takaichi dijuluki “wanita besi” karena ketegasan dan gaya kepemimpinannya yang lugas dan tegas.
Sebelum resmi terpilih sebagai PM, ia sempat mengeluarkan pernyataan “kerja, kerja, kerja” sebagai prinsip yang dianutnya, berseberangan dengan slogan yang sedang dipopulerkan di Jepang “keseimbangan hidup dan kerja” (work-life-balance).
“Saya sendiri akan meninggalkan gagasan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan. Saya akan bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja,” ucap Takaichi.
Pernyataan Takaichi ini sempat dikritik oleh Dewan Pembela Nasional untuk Korban Karoshi karena dikhawatirkan membangun budaya kerja yang toxic serta masalah karoshi (kematian akibat kerja berlebihan) yang menjadi isu serius di Jepang.
Citra keras yang melekat pada Takaichi selaras dengan selera musiknya yang ekstrem, kontras dengan citra politisi Jepang pada umumnya. Ia merupakan penggemar berat aliran hard rock dan heavy metal.
Takaichi mengidolakan grup heavy metal klasik dari Inggris, seperti Iron Maiden, Black Sabbath, dan Deep Purple. Ia juga penggemar musisi rock negaranya, seperti X Japan dan Demon Kakka.
Jiwa metalnya juga terbukti ketika ia menjadi pemain drum untuk band heavy metal saat masih kuliah di Universitas Kobe. Takaichi mengakui masih bermain drum elektrik untuk menghilangkan stres dengan lagu wajibnya “Burn” dari Deep Purple.
“‘Burn dari Deew Purple adalah lagu wajib. Saya memainkan lagu-lagu seperti ini untuk melampiaskan emosi,” ungkapnya dalam acara siniar Tokyo FM.
Dari Penyiar TV ke Orang Dekat Shinzo Abe

Berbeda dari kebanyakan politisi Jepang yang berasal dari dinasti politik, Takaichi besar dari keluarga sederhana di kota Nara.
Ayahnya bekerja di industri otomotif dan sang ibunya seorang polisi. Lulusan Fakultas Administrasi Bisnis dari Universitas Kobe ini menjajaki karirnya sebagai penyiar televisi dan penulis sebelum terjun ke politik.
Takaichi pertama kali terpilih menjadi anggota parlemen pada tahun 1993 mewakili kota kelahirannya, Nara, sebagai calon independen. Tiga tahun kemudian, ia bergabung dengan Partai Demokrat Liberal (LDP).
Karier politiknya meroket sejak awal tahun 2000-an seiring kedekatannya dengan mantan PM Shinzo Abe yang juga menjadi mentornya.
Takaichi pun mengemban banyak posisi strategis seperti Menteri Negara Urusan Dalam Negeri dan Komunikasi (2014 hingga 2017), berlanjut pada 2019 hingga 2020. Pernah menjadi Menteri Negara untuk Keamanan Ekonomi pada 2022 hingga 2024.
“Dia menjabat dalam posisi itu menurut saya lebih lama dari politis mana pun dalam sejarah, karena pemerintahan Abe adalah pemerintahan yang sangat lama dan dia menghargai kompetensinya,” Kata Hall seperti yang diberitakan oleh NPR.
Takaichi sendiri diketahui mendapat dukungan Abe dalam pemilihan kepemimpinan partai pada 2021. Takaichi dikenal sebagai pendukung kebijakan Abenomics.
Kini muncul istilah Sanaenomics yang diyakini meneruskan warisan kebijakan konservatif ala mendiang Abe dengan fokus pada suku bunga rendah, belanja pemerintahan yang besar terutama untuk investasi di bidang teknologi strategis dan pertahanan.
Deretan Kontroversi Sanae Takaichi

Sebelum resmi terpilih sebagai PM lewat pemungutan suara di Parlemen dengan 237 suara, Takaichi sudah dikenal kontroversial seperti halnya mentornya Shinzo Abe.
Seperti Abe, Takaichi rutin mengunjungi Kuil Yasukuni, sebuah monumen yang menghormati pahlawan perang Jepang termasuk para penjahat perang. Aktivitas ini menuai kritik dari China dan Korea Selatan yang memiliki sejarah kelam dengan Jepang.
Namun, akhir-akhir ini ia tidak mengunjungi kuil tersebut, keputusannya diketahui bertujuan untuk meredakan ketegangan dengan negara-negara tetangga.
Sikap Takaichi juga sempat menimbulkan kontroversi setelah meremehkan imigran dan turis. Saat masa kampanye, ia mengutip laporan yang belum terkonfirmasi soal turis yang menendang rusa suci di taman Nara.
“Hal ini juga terkait dengan ketidaksukaan umum terhadap orang asing dan juga imigran yang tinggal di negara ini,” kata Hall.
Takaichi juga mengadvokasikan undang-undang anti-spionase dengan melabeli warga Cina yang tinggal di Jepang berpotensi menjadi mata-mata bagi pemerintah Cina.
Saat kampanye ia juga menyerukan pembatasan bagi warga non-Jepang yang ingin membeli properti di Jepang dan menindak tegas imigran ilegal.
Dianggap Tak Mewakili Suara Feminis

Meskipun Sanae Takaichi berhasil merubuhkan tembok budaya patriarki yang kuat dalam percaturan pemerintahan Jepang, ia tak serta merta mewakili kepentingan suara para feminis.
Kepribadiannya yang konservatif cenderung menentang kebijakan kesetaraan gender yang progresif. Sebagai informasi, Laporan Kesenjangan Gender 2025 oleh Forum Ekonomi Dunia, Jepang berada di posisi 118 dari 148 negara.
Takachi menolak amandemen undang-undang yang memungkinkan pasangan suami-istri menggunakan nama keluarga yang berbeda. Dia diketahui juga mendukung suksesi kekaisaran yang hanya diperuntukan bagi laki-laki.
“Dia juga tidak benar-benar melawan arus. Dia mengatakan hal yang sama seperti pria-pria lain,” tutur Audrey Hill-Uekawa dalam laporan BBC.
Oleh karena itu, meskipun ia mencetak sejarah sebagai PM perempuan pertama di Jepang, kemenangannya tak benar-benar disambut oleh aktivis gerakan perempuan.
“Dibandingkan dengan politisi lain yang mungkin lebih vokal dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, kemenangan dia mungkin tidak seberapa menginspirasi bagi perempuan muda,” kata Minori Konishi, seorang pemudi Jepang.
Baca Juga: Tren 2025: Kaum Sayap Kanan Kian Dominan, Waspadai Polarisasi Dunia
Namun demikian, Takaichi sebagai perempuan dalam pemerintah tetap memperhatikan hak-hak dasar perempuan. Ia mendorong perluasan layanan rumah sakit yang diprioritaskan untuk kesehatan perempuan.
Selama kampanye, Takaichi berjanji untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam kabinetnya hingga setingkat dengan negara-negara Nordik (Eropa Utara) atau mendekati 50%.
Namun setelah resmi menjabat, dia baru menunjuk dua orang perempuan. (mhf)