Tren 2025: Kaum Sayap Kanan Kian Dominan, Waspadai Polarisasi Dunia

Kebijakan proteksionistis, anti-imigran dan wacana aneksasi bermunculan. Waspadai polarisasi dan eskalasi konflik.

By
in Big Shift on
Tren 2025: Kaum Sayap Kanan Kian Dominan, Waspadai Polarisasi Dunia
Ilustrasi pemimpin-pemimpin sayap kanan yang nasionalistis dan berkuasa pada tahun 2025. (Sumber: Istimewa)

TheStanceID - Tahun 2024 menjadi saksi pergeseran pendulum kekuasaan di dunia, dari kaum kiri liberal menuju kaum kanan nasionalis. Persaingan antar negara membela kepentingan nasional masing-masing dikhawatirkan memicu polarisasi dunia.

Tren pergeseran sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2023 dan berujung pada kemenangan mereka pada tahun 2024. Partai konservatif dan/atau nasionalis menggeser dominasi partai liberal atau partai sosialis di negara-negara utama dunia. 

Berikut ini rekam jejak pergeseran pendulum politik di negara-negara utama dunia yang dikompilasi TheStanceID.

Di Portugal, partai Chega dan Aliansi Demokratik mengamankan dominasi parlemen pada Maret 2024. Keduanya adalah partai sayap kanan dengan agenda nasionalistis dan ini menjadi kemenangan pertama mereka dalam setengah abad terakhir.

Terbaru tentu saja Kanada. Pada 6 Januari 2025 Perdana Menteri Justin Trudeau yang merupakan politisi liberal sejati mengumumkan pengunduran dirinya. Tokoh dari Partai Konservatif, yakni Pierre Poilievre, berpeluang menggantikannya.

Pengunduran ini terkait dengan perubahan geopolitik di negara tetangganya, yakni Amerika Serikat (AS). Presiden terpilih Donald Trump berjanji menghukum rezim liberal di Kanada dengan kenaikan tarif impor sebesar 25%.

Trump dan Partai Republik mendominasi percaturan politik di Amerika setelah Partai Demokrat kehilangan kekuasaan, baik di Gedung Putih maupun Kongres, dalam pemilu pada November 2024.

Trump menawarkan janji-janji populis dan program proteksionistis dengan jargon Make Amerika Great Again (MAGA). Dia berhasil menyatukan suara warga Amerika, menciptakan gelombang politik kanan yang semakin solid.

Kemenangan itu menyusul Austria, di mana Partai Kebebasan Austria (Freedom Party/FPO) meraih kemenangan pada September 2024. Ini merupakan kemenangan pertama sejak kekalahan mereka pada era perang dunia II.

Saat ini, FPO sedang diminta membantu presiden membentuk kabinet. Jika kabinet tersebut mentok di parlemen, maka Austria akan menghadapi kebuntuan politik.

Tren yang Sama di Asia

India sebagai negara dengan populasi terbesar dunia, menggeser China sejak 2023, menyaksikan kemenangan Perdana Menteri Narendra Modi untuk memimpin pada periode ketiga pada Juni 2024.

Partai Bharatiya Janata (BJP), yang mengusung Modi, adalah partai nasionalis Hindu (Hindutva) yang mengharamkan perayaan Valentine dan memicu persekusi terhadap muslim dan kristiani di Negeri Mahabarata tersebut.

Indonesia juga mengikuti tren ini, dengan terpilihnya sosok nasionalis berlatar belakang militer, yakni Prabowo Subianto, sebagai presiden pada Oktober 2024. Beberapa kebijakan nasionalistis, seperti yang terkait sawit, mulai dikemukakan.

Di Jepang, Partai Demokrat Liberal masih memegang kendali, tetapi kehilangan mayoritas kursi mereka pada Oktober 2024. Ini merupakan capaian terburuk dalam 1 dekade terakhir.

Pemicunya adalah situasi ekonomi. Gaji warga Jepang tak pernah naik dalam 30 tahun, sementara harga barang terus meroket akibat geopolitik dunia pada tahun 2024.

Basis Terakhir Kaum Liberal

Pertarungan itu terlihat di Uni Eropa. Dalam pemilihan anggota Parlemen Eropa pada Juni 2024, politisi sayap kanan berhasil menguasai 25% suara meski Partai Rakyat Eropa (EPP) yang beraliran liberal tetap menjadi kekuatan sentris terbesar. 

Jerman mengikuti tren ini, dengan kemenangan Partai Nasionalis Alternatif untuk Jerman (Alternative fur Deutschland/AfD) pada Juni 2024. Partai ultra kanan ini mengusung program remigrasi, yakni memulangkan warga pendatang ke negara asalnya.

Di Prancis, partai Rally Nasional berhasil mengukuhkan posisinya dengan meraih suara terbanyak pada pemilu Juli 2024. Meski demikian, perolehan kursi partai yang dipimpin Marine Le Pen ini berada di posisi ketiga terbanyak.

Demikian juga di Inggris. Kubu sayap kanan yakni Partai Reform memperoleh suara terbanyak ketiga, mengejar Partai Buruh, di pemilu Juli 2024. Dalam jajak pendapat terbaru, pemimpin Partai Reform yakni Nigel Farage meraih suara terbanyak kedua.

Kini dunia masih memantau pemilu di Jerman yang digelar 23 Februari nanti, untuk melihat apakah kaum kanan tersebut juga akan bangkit di tempat partai ultra-kanan NAZI berkuasa.

Akumulasi Ketidakpuasan Publik

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Al-Azhar Indonesia Raden Mokhamad Luthfi menilai kemenangan kelompok sayap kanan didorong oleh berbagai faktor, mulai perasaan terancam oleh imigran, kekecewaan atas situasi ekonomi, gagalnya institusi demokrasi, hingga melemahnya identitas berbasis agama. 

Menurut dia, hal ini menandakan ancaman terhadap liberal international order (LIO) yang mendominasi sejak Perang Dingin. Salah satu pemicunya adalah ironi kaum liberal: alih-alih mendukung kebebasan sipil di Palestina, mereka diam melihat genosida Gaza.

“Genosida di Gaza, misalnya, menjadi salah satu faktor kekecewaan terhadap tatanan liberal dunia, terutama di negara-negara berpenduduk Muslim. Namun, partai kanan ekstrem di Eropa justru cenderung memandang Islam sebagai ancaman dan mendukung Israel,” ungkap Luthfi saat dihubungi TheStanceID, Senin (13/1/2024). 

Selain itu, dia juga menyoroti bagaimana agenda politik kaum kanan seringkali mengabaikan isu perubahan iklim. Kelompok kanan, seperti Trump kata Lutfi, menunjukkan ketidakpercayaan terhadap isu perubahan iklim. 

“Mereka lebih fokus pada kepentingan nasional dan cenderung menarik diri dari perjanjian iklim yang dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi negaranya,” ujar Luthfi.

Dampak di Masa Depan

Pergeseran ini akan membawa berbagai dampak global. Kebijakan proteksionisme yang meningkat, terutama di AS, akan memicu perang tarif antar negara-negara utama dunia. 

“AS cenderung melakukan proteksionisme terutama dalam hubungan ekonomi dengan AS dan negara-negara lain yang dianggap merugikan AS. Produk dari negara-negara tersebut akan dikenakan tarif atau bea masuk yang cukup tinggi,” papar Luthfi. 

Selain itu, kebijakan anti-imigran bakal bermunculan, seperti di AS dan negara-negara Eropa, yang akan memicu ketegangan berbasis rasial atau identitas agama. “Kita juga semakin melihat bahwa PBB semakin tidak berdaya di tengah genosida Gaza.”

Luthfi juga memprediksi bahwa PBB akan semakin kehilangan pengaruh, sementara China dan Rusia terus memperluas kekuatan militer dan geopolitiknya. Apalagi dengan terpilihnya kembali Trump membuat tatanan dunia semakin sulit diprediksi. 

Atas kondisi tersebut, Luthfi menekankan pentingnya penguatan diplomasi dan dialog internasional untuk mencegah eskalasi polarisasi berlanjut dan tereskalasi menjadi konflik terbuka. 

Dunia kini berada di persimpangan, dengan tantangan global yang semakin kompleks di tengah menguatnya kepemimpinan kaum kanan. Pertanyaan yang tersisa: apakah polarisasi ini akan meruntuhkan stabilitas global? (par)


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.