Abolisi Lembong & Amnesti Hasto: Bargaining Politik atau Pelurusan Penegakan Hukum?
Abolisi dan amnesti adalah kombinasi antara pemurnian penegakan hukum dan pertimbangan politik. Yang juga harus diluruskan antara lain adalah kriminalisasi terhadap aktivis yang mempertanyakan keaslian ijazah Joko Widodo dan kriminalisasi Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 terhadap rakyat Banten.

Oleh Muhammad Said Didu, peraih gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mulai aktif di ruang publik sejak menjabat sebagai Sekretaris Kementerian BUMN (2005). Mengundurkan diri dari posisi PNS sejak tahun 2019, Said Didu memilih menjalani peran sebagai oposisi atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (TL), mantan Menteri Perdagangan (Mendag), dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto (Hasto), Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen PDIP), menimbulkan berbagai penafsiran.
Dari berbagai analisis dan diskusi yang saya terima dari berbagai pihak, mereka berpendapat bahwa pemberian abolisi dan amnesti tersebut karena atau ditujukan untuk :
Pemurnian penegakan hukum.
Bargaining politik elit, atau
Kombinasi keduanya.
Saya mengikuti kedua kasus tersebut serta kasus-kasus yang sarat politik lainnya yang dilakukan selama rezim Jokowidodo.
Dari pemahaman yang saya lalui, saya berpendapat dan berharap bahwa pemberian abolisi dan amnesti adalah kombinasi antara pemurnian penegakan hukum dan pertimbangan politik dengan analisis sebagai berikut :
Pemberian abolisi kepada Tom Lembong jarang sekali diberikan ke siapapun karena abolisi pada dasarnya adalah koreksi Presiden terhadap proses hukum yang salah sehingga harus dihentikan.
Artinya, Presiden Prabowo Subianto menyadari bahwa proses hukum terhadap Tom Lembong salah dan harus dihentikan.
Menurut saya sikap dan posisi Presiden Prabowo tentang hal ini adalah tepat. Saya mengikuti beberapa kali sidang TL dan sangat terlihat bahwa kasus ini sarat pesanan politik dalam hal ini politik Jokowidodo.
Pemberian amnesti adalah pengampunan hukuman kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran pidana. Artinya Presiden Prabowo atas pertimbangan tertentu merasa penting memberikan amnesti kepada kasus Hasto.
Kasus Tom Lembong dan Hasto sangat sulit dibantah bahwa kedua kasus tersebut adalah “pesanan” Jokowidodo. Kasus TL sama sekali tidak ditemukan niat jahat (mens rea), tidak ada kerugian negara, tidak ada aliran dana tapi dihukum.
Sementara, 6 mendag lain lakukan impor gula dan lebih besar tapi tidak diproses. Proses hukum TL dimulai 2023 saat Jokowidodo masih berkuasa.
Kasus Hasto terjadi 5 (lima) tahun lalu terkait dengan kasus suap Harun Masiku ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)--yang sampai saat ini Harun Masiku masih buron.
Tapi didiamkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama hubungan Jokowidodo dengan Hasto (PDIP) masih “mesra” dan baru dibuka setelah PDIP berseberangan dengan Jokowidodo dan Hasto tampil mengeritik Jokowidodo.
Dan ingat bahwa KPK sampai saat ini masih diisi oleh pilihan Jokowidodo.
Bahwa beberapa waktu sebelum pemberian amnesti kepada Hasto, Ibu Megawati Soekarnoputri memberikan instruksi dari Bali saat Bimbingan Teknis (Bimtek) kader PDIP untuk dukung Pemerintah. Ini kebetulan atau memang sebagai bargaining politik?
Terlepas dari apakah pemberian abolisi ke Tom Lembong dan amnesti ke Hasto adalah bargaining politik atau untuk pelurusan penegakan hukum yang selama ini dibelokkan oleh Jokowidodo untuk kekuasaannya, pemberian tersebut “memotong” campur tangan mantan Presiden Jokowidodo dalam penegakan hukum karena sangat jelas bahwa kedua kasus tersebut adalah pesanan rezim Jokowidodo.
Jika pemberian pengampunan Presiden (abolisi, amnesti, atau rehabilitasi) karena pertimbangan pembelokan penegakan hukum oleh kekuasaan (intervensi Jokowidodo) maka kami semua mendukung, tapi jangan sampai abolisi diberikan kepada koruptor karena kasus korupsi.
Kita berharap agar Presiden Prabowo melanjutkan pelurusan penegakan hukum yang selama ini digunakan oleh rezim Jokowidodo untuk melanggengkan kekuasaan dan membangun dinasti.
Jangan Lupakan Para Aktivis
Jika Presiden Prabowo ingin meluruskan penegakan hukum sebagaimana kita harapkan, sebaiknya Presiden juga melakukan tinjauan terhadap para aktivis yang sudah dikriminalisasi oleh rezim Jokowidodo.
Masih banyak aktivis yg pernah dikriminalisasi dan dipidanakan oleh Rezim Jokowidodo karena alasan politik. Nama-nama korban politik rezim Jokowidodo antara lain :
Syahganda Nainggolan
Jumhur Hidayat
Eddy Mulyadi
Anton Permana
Ruslan Buton
Ibu Mery (Lampung)
dan lain-lain (dll),
Kasus lain adalah pemenjaraan Ustaz Habib Rizieq Shihab yang saat ini sangat terkesan kesalahannya dicari-cari saat Covid yg dipenjara dengan tuduhan membuat “kerumunan.” Kasus yang lebih besar adalah pembunuhan di KM-50.
Hal yang sedang berproses juga harus diluruskan oleh penegak hukum, antara lain adalah :
Gejala kriminalisasi terhadap aktivis yang mempertanyakan keaslian ijazah Jokowidodo
Kasus kriminalisasi Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 terhadap rakyat Banten yang mempertahankan haknya seperti kasus Charlie Chandra yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang.
Semoga penegakan hukum makin baik ke depan.
Semoga Presiden Prabowo melanjutkan pemurnian penegakan hukum yang telah dirusak oleh Rezim Jokowidodo dengan memberikan rehabilitasi kepada korban kriminalisasi rezim Jokowidodo yang lain serta membuka kembali penyelidikan kasus KM-50.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.