Jakarta, TheStance - Selama ini, pertanian dan perkebunan identik dengan cangkul. Lulusan geografi di Cambridge University Charles Dowding secara radikal ingin mengubahnya.

Praktik cangkul mencangkul untuk berkebun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah dunia, jauh sebelum negara kolonial Israel dibentuk tahun 1948 dan bahkan jauh sebelum 149 negara demokrasi dan monarki, yang kini berdiri, dilahirkan.

Bukti tertua keberadaan cangkul sejauh ini bisa dilacak dari hieroglif Mesir berusia sekitar 4.000 tahun, alias sudah ada 2.000 tahun sebelum Masehi.

Seribu tahun sebelum cangkul muncul di hieroglif Mesir kuno, mitologi Sumeria pada tahun 3.000 sebelum Masehi menyebut cangkul muncul berkat kebijakan Dewa Enlil, kepala dewan para dewa.

Pada masa itu, sudah ada puisi Sumeria berjudul "Perdebatan antara Cangkul dan Bajak" di mana keduanya dipersonifikasi dan saling berdebat untuk mencari tahu mana yang lebih unggul. Di akhir puisi, cangkul dinyatakan sebagai pemenang.

Hal itu termaktub dalam buku Enrique Jimenez berjudul The Babylonian Disputation Poems: With Editions of the Series of the Poplar, Palm and Vine, the Series of the Spider, and the Story of the Poor, Forlorn Wren (2017).

Dalam perkembangannya, aktivitas mencangkul berkembang melibatkan berbagai jenis alat, hingga memakai cangkul raksasa masif seperti traktor. Semuanya bertujuan untuk menggemburkan tanah sebelum ditaburi benih tanaman.

Teknik ini pun masih sering dijumpai di kebun, sawah, atau lahan di Indonesia, menjadi proses wajib dalam aktivitas agrukultur.

Revolusi Anti-Cangkul Charles Dowding

Charles DowdingCharles Dowding, pekebun dan penulis isu agrukultur asal Somerset, Inggris, punya pendapat berbeda. Ia menentang kegiatan mencangkul tanah yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas berkebun.

Menurut dia, menurut penelitian yang telah dilakukannya dan kini memicu perdebatan, kegiatan menggali tanah justru merusak kandungan dan struktur alami dalam tanah.

Charles memopulerkan metode No-Dig (Nir-penggalian) sebagai alternatif lain untuk mengoptimalkan kesuburan tanah.

“Metode tanpa menggali adalah memberi makan kehidupan tanah dengan bahan organik di permukaan. Inilah yang terjadi di alam, daun-daun tua dan bahan kayu selalu membusuk di atas tanah,” tulisnya di laman pribadinya.

Lahir pada tahun 1959 di Somerset, sebuah kota besar di selatan Inggris, hidup Charles dipenuhi imaji keindahan alam. Sejak kecil dia akrab dengan aktivitas bercocok tanam, meski belum menaruh perhatian lebih soal cara kerja tanah dan tanaman.

Menginjak remaja pada usia 20 tahun, Charles mulai menyadari nilai krusial dari pemenuhan gizi yang sumbernya bergantung pada produksi pangan.

Kuliah di Universitas Cambridge pada tahun 1977 pada bidang studi Geografi, Charles makin dekat dengan urusan tanah dan alam.

Saat mendalami geografi, ia menemukan buku Animal Liberation karya Peter Singer tahun 1975 yang langsung mengubahnya menjadi seorang vegetarian. Lulus kuliah pada 1980, Charles mulai serius mengampanyekan ide perkebunan “organik.”

Memanusiakan Tanah

Charles DowdinSaat itulah dia mempopulerkan metode nir-cangkul, karena dia terinspirasi dari cara tumbuh gulma dan mengetahui potensi mulsa (bahan penutup permukaan tanah dari jerami, plastik, atau bahan lain) menekannya.

Filosofinya sederhana, ia menggambarkan tanah sebagai tubuh yang hidup. Tanah secara alami memiliki struktur pori dan jaringan yang kompleks. Di dalamnya terdapat jutaan mikroba, cacing, dan jamur yang bekerja agar tanah subur secara alami.

Menurut Charles, ketika kita menggali tanah sama artinya merusak struktur yang ada dalam tanah, mengganggu jaringan serta merusak habitat mikroorganisme.

Beranjak dari situ, dia ingin berhenti merusak struktur tanah dan membiarkan alam bekerja dengan sendirinya. Ia hanya memberi ”makan” tanahnya dengan lapisan kompos yang disebar di permukaan tanah sebagai mulsa.

Lapisan kompos ini memiliki dua fungsi, yakni makanan untuk mikroba, di mana nutrisi meresap ke tanah dan menyuburkannya secara alami, dan sekaligus sebagai mulsa untuk menghalangi pertumbuhan gulma.

Sebelum memakai kompos, Charles mengawali percobaannya dengan memakai jerami, mengikuti buku The Ruth Stout No-Work Garden Book karya tukang kebun asal Amerika Serikat (AS) yang memanfaatkan jerami sebagai mulsa.

Jauh dari harapan, kebun Charles justru rusak akibat hama siput yang menjalar pada bibit. Dari situ, Charles belajar bahwa jerami hanya efektif di iklim kering. Tahun berikutnya ia mulai memanfaatkan kompos sebagai mulsa hingga saat ini.

Sepanjang tahun 1980-1990, Charles terus menanam sayuran. Ia sempat pindah ke Perancis selama beberapa tahun dan berbagi pengalaman soal media bercocok tanam di tanah liat, yang dalam logika awam, perlu digemburkan dengan dicangkul.

Solusi di Tengah Krisis Iklim dan Pangan

no-dig

Namun menurut Charles, tak masalah bila ingin bercocok tanam di tanah liat tanpa dicangkul. Ia justru menilai tanah liat adalah media tanam yang sangat efektif.

“Di kebun saya di Prancis pada tahun 1990-an dan di Lower Farm dekat Home Acres hingga 2012, tanahnya bertekstur liat, dan saya menemukan bahwa semua menghasilkan panen yang bagus.” tulis Charles dalam laman pribadinya..

Tanpa cangkul, traktor, pupuk kimia dan pestisida, Charles mempercayakan sepenuhnya kepada cara kerja tanah. “Kalau kamu merawat tanah dengan lembut, tanah akan membalas dengan kelimpahan,”

Charles menyebut gundukan tanah yang digali lebih besar melepaskan karbon ke atmosfer dibandingkan dengan yang tidak digali. Namun, masih banyak orang yang tidak menyadari hal ini.

“Kami telah mengukur kadar karbon di bedengan tanpa gali dibandingkan dengan bedengan yang telah digali, dan kadarnya jauh lebih tinggi,” kata Charles seperti diberitakan oleh House&Garden.

“Jika setiap tukang kebun beralih, betapa besar perbedaannya. Kita semua bisa berkontribusi untuk perubahan iklim,” lanjutnya.

Tak cuma omdo, Charles memulai kebun pasar (market garden) organik No-Dig pertamanya di kota Somerset pada 1982 di lahan seluas 6.000 meter. Pada tahun tersebut ia secara komersial menanam sayuran dalam skala besar tanpa menggali tanah.

Keyakinan Charles pun terbukti. Tiap tahun, ia mampu memanen 20 ton sayuran segar bahkan mencapai 200-300 kilogram per minggu pada puncak panen.

Baca Juga: Politik Makanan: Dari Hamburger ke Liberty Sandwich, Liberty Steak, dan Dajin-Gogi Gyeopppang

Gerakan No-Dig ala Charles ini tak hanya mendobrak praktik pertanian konvensional, tetapi juga pengakuan untuk mencapai sistem pangan lestari.

Di tengah isu krisis iklim dan terkikisnya biota alam, praktik No-Dig hadir menjadi solusi atas polemik ketahanan pangan dan lingkungan.

Dari ide besar No-Dig nya, Charles berhasil menjadi ikon revolusi pada dunia agrikultur modern. Ia menjadi inspirasi tak hanya bagi petani komersial tetapi juga menjangkau petani rumahan.

Dengan metode No-Dig yang sederhana, mereka dengan lahan terbatas dan tak punya keahlian teknis berupa mencangkul sangat bisa menjadi petani atau pekebun.

Konsep No-Dig diklaim sangat cocok dengan model pertanian urban dan kebun rumah tangga dan cocok di segala iklim. Orang-orang di belahan bumi manapun bisa mempraktikan metode tanpa menggali a la Charles Dowding.

Kini Charles pun tanpa ragu membagikan pengalaman serta ilmunya tentang No Dig di media sosial miliknya.Jangkauan audiensnya makin luas dan menggaet kaum lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan 10 tahun lalu.

“Generasi muda cepat memahami bahwa metode tanpa menggali dapat membuat perbedaan. Dulu saya merasa seperti melawan kemapanan, tetapi media sosial telah mengubahnya. Dan rasanya sangat positif,” kata Charles. (mhf/ags)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance