Jakarta, TheStance – Wacana agar kepala daerah dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), bukan secara langsung oleh rakyat, kembali disuarakan. Kali ini oleh Prabowo dan Partai Golkar.
Sebelumnya, Bahlil Lahadalia, ketua umum Partai Golkar, mengusulkan agar pemilihan kepala daerah di pemilu mendatang cukup dilakukan melalui DPRD. agar pilkada yang digelar tidak begitu kompleks.
Usul itu disampaikan Bahlil langsung di hadapan Prabowo dan Gibran saat HUT ke-61 Golkar, di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025) malam.
“Lebih baik pemilihan lewat DPRD biar tidak pusing-pusing," katanya.
Bahlil mengatakan pembahasan soal pilkada melaui DPRD, yang konsekuensinya mengubah UU Pemilu,dapat dimulai tahun depan.
'RUU ini harus melalui kajian yang mendalam,” katanya.
Meski demikain Bahlil mengungkapkan kekhawatiran bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membatalkan beleid tersebut meskipun sudah melalui kajian mendalam.
"Tapi terus terang Bapak Presiden, sekalipun UU kita sudah kaji baik, saya khawatir jangan sampai UU sudah jadi, sampai di MK, MK membuat yang lain, bahkan bisa mengubah, membuat norma baru lagi," katanya.
Ongkos Politik Mahal, Pilkada oleh DPRD Bisa Jadi Solusi

Menanggapi usulan Golkar tersebut, Prabowo mengaku bakal mempertimbangkannya.
Dia menilai, pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa menjadi solusi agar proses politik tidak hanya ditentukan oleh pihak yang memiliki uang banyak.
“Jadi, saya sendiri condong, saya akan mengajak kekuatan politik, ayo marilah kita berani, berani memberi solusi kepada rakyat kita, demokratis tapi jangan buang-buang uang,” kata Prabowo.
Menurut Prabowo, jika DPRD sudah dipilih rakyat, maka lembaga tersebut dapat sekaligus memilih gubernur, bupati hingga wali kota.
“Kalau sudah sekali memilih DPRD kabupaten, DPRD provinsi, ya kenapa enggak langsung saja pilih gubernurnya dan bupatinya, selesai,” ujar dia.
Dia menyebut, sistem tersebut juga sudah dipakai sejumlah negara, mulai dari Malaysia, India, Inggris hingga Kanada dan Australia.
“Negara terkaya di dunia pakai sistem politik yang murah,” ucap dia.
Bukan Wacana Baru

Wacana Pemilihan Kepala Daerah lewat DPRD sejatinya bukan barang baru. Prabowo pernah menggulirkannya saat berpidato dalam HUT ke-60 Partai Golkar, setahun lalu, di Bogor Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).
Ketika itu, Prabowo menyoroti tingginya biaya pilkada langsung yang disebut menghabiskan anggaran negara, maupun biaya politik kandidat hingga triliunan rupiah hanya dalam satu hingga dua hari.
“Ketum Partai Golkar salah satu partai besar, tapi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem partai politik. Apalagi ada Mbak Puan kawan-kawan dari PDI-P, kawan-kawan partai lain, mari kita berpikir, mari kita tanya, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari. Dari negara maupun dari tokoh politik masing-masing," ujar Prabowo saat itu.
Dia pun membandingkan sistem pemilu Indonesia dengan negara tetangga yang dinilai lebih efisien, karena hanya menggelar satu kali pemilihan legislatif daerah.
"Ini sebetulnya begitu banyak ketum partai di sini sebenarnya bisa kita putuskan malam hari ini juga, gimana?" tanya Prabowo disambut tawa.
Respon Partai Politik

Wacana Prabowo itu didukung oleh sejumlah politikus Koalisi Indonesia Maju, gabungan partai politik pendukung pemerintah.
Fraksi PKB di DPR misalnya mendukung usulan agar pemilihan kepala daerah tak lagi digelar secara langsung dan sebagai gantinya ditunjuk pemerintah pusat hingga DPRD.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Muhammad Khozin mengatakan, secara lebih spesifik, PKB ingin gubernur ditunjuk pemerintah pusat dan bupati wali kota dipilih DPRD.
"Kami mengusulkan pemilihan gubernur oleh pemerintah pusat karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat sedangkan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD," kata Khozin, Senin (8/12/2025).
Usulan itu juga telah disampaikan Ketua Umum PKB Gus Muhaimin Iskandar saat peringatan Harlah ke-27 PKB pada 23 Juli 2025 lalu.
Menurut Khozin, pilkada langsung selama ini memiliki sejumlah catatan yang harus menjadi bahan evaluasi. Mulai dari biaya politik yang mahal hingga hubungan masyarakat yang terganggu.
"Biaya politik mahal dan kohesivitas masyarakat terganggu. Plus minus harus menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan pilkada," kata dia.
Sedangkan, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mempertimbangkan pilkada lewat DPRD hanya untuk tingkat kabupaten. Sedangkan untuk wali kota, maka pilkada tetap dipilih secara langsung.
Menurutnya, pilkada langsung penting untuk terus diterapkan karena memiliki legitimasi dan tidak mudah untuk diturunkan. Pilkada langsung, menurut Mardani, bisa memunculkan mutiara meski diusulkan partai kecil.
"Pilkada langsung punya kelebihan legitimasi kuat kepala daerah. Dan sulit diturunkan. Pilkada langsung bisa memunculkan mutiara daerah walau berasal dari partai kecil atau NGO. Bagus untuk daerah perkotaan tetap pilkada langsung. Dan di rural (pedesaan) bisa dipertimbangkan melalui DPRD. Jadi asimetri pilkada," katanya.
Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tidak langsung menyatakan menolak ataupun mendukung, tetapi bakal mengkaji usulan tersebut secara mendalam.
Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa perubahan sistem pemilihan harus dipastikan membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
“Pada prinsipnya, sistem selalu mengandung plus-minusnya. Kita mencari mana yang membawa manfaat bagi rakyat,” kata Hasto, usai acara Konferensi Daerah dan Konferensi Cabang PDI-P di Bandung, Minggu (7/12/2025).
Dia pun mengatakan bahwa sejatinya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dilakukan karena jabatan lima tahunan itu memerlukan basis legitimasi dan dukungan kuat dari rakyat.
Kendati demikian, Hasto mengaku dapat memahami munculnya usulan kepala daerah dipilih DPRD. Usulan ini dilontarkan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia yang kemudian dipertimbangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Sikap final dari PDI Perjuangan nanti akan dibahas dalam rapat kerja nasional yang akan diselenggarakan pada awal tahun depan.
Mengebiri Hak Politik Rakyat

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengkritik keras ide pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Menurutnya, usulan itu berpotensi mengebiri hak politik rakyat untuk menentukan pemimpinnya.
“Jelas ini mengebiri hak politik rakyat,” kata Adi, Minggu (7/12/2025).
Dia juga meyakini bahwa praktik politik uang tidak otomatis hilang dengan pilkada oleh DPRD, tetapi hanya bergeser dari publik ke elite partai dan DPRD.
Selain itu, ia khawatir pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan lebih mudah dikendalikan dan berpotensi menciptakan calon boneka.
“Elite tak takut pada rakyat,” ujar Adi.
Wacana Pilkada Lewat DPRD Sudah Tutup Buku

Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD sudah tutup buku setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024.
Ia mengatakan, pada putusan 135 itu, MK menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD. Sehingga konsekuensi putusan itu adalah pilkada secara langsung seharusnya tetap dipertahankan.
“Jadi, di sana dengan adanya putusan MK sebenarnya untuk diskursus Pilkada oleh DPRD atau Pilkada tidak langsung ini ya sudah selesai. Tidak usah lagi melihat ke belakang dan terus berusaha untuk mengembalikan pilkada ke DPRD,” jelas Titi.
Selain itu, Titi menilai soal efisiensi tak bisa dijadikan alasan untuk mengubah sistem pemilihan.
Menurutnya, akar masalah politik biaya tinggi di pilkada bukanlah terletak pada metode pemilihan langsung atau pemilihan tidak langsung, melainkan terletak pada penegakan hukum terhadap mahar politik hingga politik uang.
Dia mengingatkan, dulu ketika kepala daerah diplih DPRD, masif politik uang untuk jual-beli kursi. Karena itulah diubah dengan sistem pemilihan langsung.
“Perubahan sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 itu dilatarbelakangi oleh praktik politik uang yang tinggi, terjadi jual-beli dukungan, jual-beli kursi dan suara dari para anggota DPRD,” katanya.
Baca Juga: MK Hapus Pemilu Serentak, Pilkada Digelar 2 Tahun Setelah Pemilu Nasional
Ketimbang mengotak-atik sistem pilkada, Dewan Pembina Perludem itu mendorong pembuat kebijakan lebih fokus mewujudkan tata kelola pilkada yang terintegrasi.
Targetnya adalah mengatasi berbagai masalah yang selama ini terjadi mulai dari mahar politik, politik uang, politisasi bansos, mobilisasi ASN, ketidaknetralan penyelenggara, hingga manipulasi suara.
“Konsolidasi demokrasi Indonesia makin tertata, hanya saja masih banyak masalah yang disebabkan perilaku elite dan politisasi yang siap menang tapi tidak siap kalah, sehingga cenderung melakukan berbagai tindakan pragmatis untuk melakukan berbagai cara supaya bisa menang,” katanya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance