Jakarta, TheStance – Lambannya respons pejabat di Jakarta untuk mengumumkan status bencana nasional dan menerima bantuan asing memicu kecurigaan bahwa tengah terjadi upaya sterilisasi area terdampak dari dunia internasional.
Menyoroti lambatnya respons Jakarta, plus adanya indikasi oknum pemerintah daerah (pemda) menahan bantuan luar negeri, Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menduga ada faktor politik di baliknya.
"Dugaan saya, ini bukan hanya soal tidak tanggap atau belum siap. Yang saya curigai, di balik ini semua, ada satu jaringan kekuatan ekonomi politik [oligarki]," ungkap Firman kepada TheStance.
Keputusan untuk tidak berekspresi apa adanya terkait bencana ini, terutama berdalih demi stabilitas seperti disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, bisa dimaknai bahwa ada kepentingan politik sejawat yang sedang berusaha ditutupi.
Hal ini terkait dengan dugaan adanya perusahaan-perusahaan di sekitar wilayah terdampak yang kemungkinan dimiliki atau terkait dengan elemen yang dekat dengan elit penguasa, termasuk dugaan perusahaan yang dimiliki oleh presiden sendiri.
"Ini yang membuat mereka tidak lepas berekspresi, khususnya mereka sebetulnya tahu ada yang salah di sana, cuman mereka berhitung, akhirnya," katanya.
Menurutnya, ada korelasi antara kejumudan demokrasi dengan kekacauan. Kerusakan hutan yang kian parah, bahkan sebelum Undang-Undang Omnibus Law dirilis, diperparah oleh kebijakan yang tidak terkontrol, dan didukung oleh birokrasi dan aparat.
Bukan Sekadar Abai, Melainkan Politis

Firman menilai bencana yang terjadi saat ini sangat terkait dengan konteks kehidupan politik Indonesia, di mana faktor X (politik dan oligarki) menghambat respons penanganan bencana yang seharusnya cepat dan transparan.
Distorsi itulah yang menurut dia membuat pejabat gagal mengerti dan memahami penderitaan rakyat yang menjadi korban bencana Sumatra.
"Di balik ini semua, ada satu jaringan kekuatan ekonomi politik yang menyebabkan mereka tidak ekspresif, tidak apa adanya," ujarnya.
Jaringan ini, lanjut Firman, membuat pejabat enggan terbuka karena pengungkapan masalah secara transparan dapat menyeret "teman sejawat dalam dunia politik yang telah menguntungkan mereka selama ini."
Dugaan ini diperkuat dengan adanya ribuan perusahaan di sekitar wilayah terdampak yang ditengarai menjadi bagian dari rantai tersebut.
"Ada seribuan perusahaan di sekitar Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh. Dari seribuan itu pasti ada, saya yakin sekali dalam dunia oligarki sekarang, yang melibatkan elemen-elemen yang juga dekat dengan mereka," kata Firman.
Bagi Firman, faktor ini jauh lebih riil dan deterministik menjelaskan kenapa komunikasi pemerintah pusat sangat buruk terkait dengan penanganan bencana, dan bukan hanya sekadar karena ketidaktahuan.
Borok Kebijakan yang Pro-Oligarki
Menurut Firman, bencana di Sumatra merupakan "bom" kebijakan, yang akhirnya meledak setelah puluhan tahun dijalankan tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan hidup.
Masalah hutan di Indonesia sudah akut jauh sebelum adanya Undang-Undang Omnibus Law, yang berakar sejak orientasi pembangunan di awal 1970-an yang memprioritaskan investasi dengan melibatkan sumber daya alam.
Bahkan di awal reformasi sekalipun, Firman menilai pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang mendorong perusahaan "mengelola" hutan dan membuat kerusakan semakin parah.
"Bom waktunya itu kan [bermula dari] rusaknya demokrasi, kemudian munculnya Undang-Undang Omnibus Law, dan akhirnya sekarang," tuturnya menegaskan korelasi langsung antara kejumudan demokrasi dan kekacauan lingkungan..
Bencana alam ini menurut dia adalah rentetan logis dari kebijakan buas, yang tidak mempedulikan alam, yang muncul ketika kondisi demokrasi sedang mati suri. "Dan puncaknya itu adalah Undang-Undang Omnibus Law itu."
Kini merusak hutan bukanlah hal yang sulit, bahkan diakomodir. "Bahkan dilindungi oleh birokrasi dan aparat. Sehingga kita bisa merasakan fakta ini. Jadi naif kalau tidak mengaitkan ini dengan konteks kehidupan politik kita hari ini," kritiknya.
Ketika kebijakan buruk demikian tidak lagi bisa dijegal karena fungsi checks and balances sudah rusak secara politik, maka kerusakan itu pun merajalela. Jika terus berlarut tanpa perubahan radikal, maka bencana akan terus terulang dan memburuk.
DPD: Bukti di Depan Mata

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dedi Iskandar Batubara mengritik tajam dan mendesak pemerintah menyeret pihak yang bertanggung jawab atas musibah bencana banjir bandang di Sumatra.
Pasalnya, bukti sudah terlihat di depan mata bisa disaksikan oleh seluruh warga dan saksi di lokasi bencana berupa balok gelondongan kayu tanpa dahan dan akar, yang ikut terbawa arus banjir.
"Ada perambahan hutan, saya yakin itu pasti ada. Dibuktikan dari begitu banyaknya gelondongan kayu yang membersamai air yang tumpah,” ujarnya kepada TheStance, menudingnya sebagai bukti bahwa pohon di hutan gunung ditebang secara masif.
Dedi tak mempersoalkan apakah penebangan tersebut berizin atau tak berizin. Yang terpenting, aktivitas tersebut harus didisiplinkan karena memicu banjir bandang dan longsor di Tapanuli Tengah, Sibolga, hingga meluapnya Sungai Deli di Medan.
Melihat pola bencana yang berulang setiap akhir tahun, Dedi mengajukan dua solusi fundamental dan mendesak. Pertama, yaitu moratorium izin hutan total.
Dia meminta pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan kementerian terkait berhenti memberikan izin hutan kepada siapapun dan menghentikan "semua bentuk eksploitasi terhadap hutan.”
Moratorium izin ini harus diberlakukan kepada semua perusahaan yang ingin membuka lahan di seluruh wilayah Indonesia, dan bukan hanya di Sumatra Utara.
Kedua, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Dedi menuntut pelaku perambahan hutan dihukum seberat-beratnya dan tidak boleh lagi ada izin diberikan kepada pihak-pihak yang sudah terbukti melakukan tindak pidana pembalakan liar.
Baca Juga: Analisis Komunikasi Pemerintah di Bencana Sumatra (1): Mentalitas Asal Bapak Senang
Dedi menilai pemerintah gagal menegakkan aturan secara adil. "Kalau konglomerasi atau para pemilik modal yang mau buka hutan untuk kepentingan-kepentingan bisnis. itu seolah-olah izinnya dipermudah, aksesnya diberikan dengan segala macam."
Sebaliknya, masyarakat biasa dilarang keras menebang pohon di hutan, meski mereka hanya menebang seperlunya (1-2 batang). Ketidaktegasan ini, menurutnya, harus diatasi melalui kerja sama pusat dan daerah dengan ketentuan tegas dan jelas.
"Saya kira kalau Presiden sudah bertitah. Hentikan perambahan hutan, hentikan eksploitasi hutan dan segala macam, saya kira pasti akan selesai," pungkasnya.
Sementara itu, Firman menilai perlu ada tiga kondisi agar Indonesia bisa membalik kebijakan yang memicu bencana ini:
Pengungkapan "Faktor X": Mengungkap secara transparan faktor politik dan jaringan oligarki yang hanya diketahui oleh lingkaran di dalamnya, yang selama ini menghalangi penegakan hukum dan memproteksi perusakan lingkungan.
Restorasi Checks and Balances: Memperbaiki sistem demokrasi yang mandek agar kebijakan yang tidak pro-lingkungan dan pro-rakyat bisa di-challenge dan kebijakan buas seperti Omnibus Law tak lagi ada.
Hukum Progresif: Menghentikan perlindungan birokrasi dan aparat terhadap perusak lingkungan, memastikan pelanggaran yang sudah akut didisiplinkan secara adil tanpa pandang bulu, sekalipun yang bersangkutan dekat dengan penguasa. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance