Jakarta, TheStance –  Bencana alam dahsyat yang melanda Sumatra Barat (Sumbar), Sumatra Utara (Sumut), dan Aceh menyeret Kabinet Merah Putih ke konflik internal. Di tengah duka nasional dan komunikasi pejabat yang miskin empati, para menteri malah saling sindir.

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, secara terbuka mengakui komunikasi publik pemerintah dari hulu ke hilir "memang sudah kurang baik" terkait penanganan bencana kali ini.

Dia menyerukan tiga menteri lain untuk bersama-sama 'taubat nasuha' (pertobatan sungguh-sungguh) terkait dengan kebijakan yang telah diambil dan dijalankan.

Ketiga menteri yang disebut adalah Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq.

Secara implisit, seruan 'taubat' ini mengimplikasikan adanya kebijakan salah dalam skala yang begitu parah sehingga memicu bencana tersebut dan antipati warganet.

"Hari ini saya berkirim surat, Menteri Kehutanan, Menteri ESDM [Energi dan Sumber Daya Mineral], Menteri Lingkungan Hidup, untuk sama-sama evaluasi total seluruh kebijakan, policy, dan langkah-langkah kita," kata Cak Imin.

Pertobatan itu, jelas dia, diperlukan sebagai wujud komitmen dan kesungguhan para pejabat di pemerintahan. "Bahasa NU-nya [Nahdlatul Ulama] taubatan nasuha," kata dia.

Belakangan, Cak Imin dikabarkan meminta maaf secara personal atas pernyataan tersebut, yang justru memicu polemik politik selanjutnya.

Saling Tepis dan Balik Tuding

Alih-alih menyambut ajakan evaluasi total, respons dari para menteri yang disorot justru menunjukkan sikap defensif dan penekanan pada afiliasi politik.

Raja Juli mengaku telah menerima permohonan maaf dari Cak Imin terkait pernyataan tersebut, dan menegaskan pentingnya menjaga stabilitas politik kabinet di atas penanganan krisis.

“Saya Alhamdulillah sudah mendapat WA [whatsapp] dari Gus Imin, beliau sampaikan minta maaf kepada saya, mengatakan bahwa bukan itu maksudnya. Beliau secara gentle minta maaf. Saya kira saya terima maaf beliau, karena memang bukan itu maksud beliau,” ujar Raja dalam rapat kerja dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (4/12/2025).

Bahkan, Raja Juli secara terang-terangan mengeklaim tidak bisa mengeluarkan pernyataan tertentu karena harus menyesuaikan dengan arahan Presiden Prabowo, demi "stabilitas"--jargon yang di era Orde Baru dipakai untuk membungkam kritik.

“Ini penting, semuanya adalah anak buah Pak Prabowo, tidak bisa mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengganggu stabilitas kita. Sekali lagi saya apresiasi ke Gus Imin mengatakan maaf kepada saya dengan pernyataan keliru,” paparnya.

Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu tak mengelaborasi maksud 'stabilitas' yang dia sebut. Namun apapun itu, pernyataannya menunjukkan bahwa aspek transparansi dan akuntabilitas adalah prioritas kesekian dalam komunikasi terkait bencana kali ini.

Belakangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menuding Raja Juli sombong karena seruan moral Cak Imin yang diikuti permintaan maaf merupakan "kerendahan hati" Cak Imin, tetapi dibalas dengan kesombongan.

Fokus Terkaburkan: Politik Kalahkan Kemanusiaan

memancing ikan

Sementara itu, Bahlil Lahadalia membalas seruan 'taubat nasuha' dengan menyarankan hal yang sama kepada Cak Imin, dan menegaskan bahwa yang bisa memerintah dia hanya presiden.

“Kalau pertobatan nasuha, Cak Imin juga pertobatan nasuha-lah, semuanya ya,” ujarnya. “Yang bisa perintah saya Pak Presiden Prabowo dan saya fokus untuk menjalankan urusan rakyat dan apa yang diperintahkan oleh Bapak Presiden. Saya lagi urus di lokasi bencana”.

Perlu diketahui, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan skala tragedi yang masif, dengan 916 korban meninggal dunia dan 389 orang masih hilang, menurut data per Minggu (7/12/2025).

Angka kerugian material belum dihitung, termasuk hancurnya infrastruktur di tiga provinsi yang dibangun selama 20 tahun sebelumnya, terutama yang dibangga-banggakan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal ini menunjukkan seruan moral Cak Imin dengan mudah berubah menjadi bola liar politik. Sebagaimana diketahui, Cak imin adalah Ketua PKB, sementara mereka yang diajak untuk bertobat adalah pejabat partai lain.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni adalah Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sementara Menteri ESDM Bahlil Lahadalia adalah Ketua Partai Golkar.

Di sisi lain, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq adalah kader Partai Amanat Nasional (PAN) yang ketua umumnya yakni Zulkifli Hasan disorot karena dituding memberikan izin konsesi hutan selama menjadi menteri kehutanan (2009-2014).

Sudah Minim Empati, Ribut Pula

Erik Ardiyanto

Kontras yang tajam antara penanganan bencana yang lambat, di tengah komunikasi publik yang minim empati para pejabat ini memicu kritikan.

Baca Juga: Pejabat Nirempati di Bencana Banjir Sumatra

Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina, Erik Ardiyanto, menegaskan bahwa perang kata-kata antarmenteri ini adalah gangguan serius yang mengancam penanganan bencana itu sendiri.

“Pernyataan saling serang antar-politikus atau pembuat kebijakan publik justru berpotensi mengaburkan fokus utama yang seharusnya diarahkan pada penanganan korban dan percepatan pemulihan,” ujarnya kepada TheStance, Minggu (7/12/2025).

Menurut Erik, perilaku para politisi ini tidak hanya menurunkan kualitas dialog publik, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.

“Komunikasi pada masa krisis harus bersifat menenangkan, jelas, dan berorientasi pada solusi, bukan memperuncing perbedaan politik. Para aktor politik seharusnya menunjukkan sikap dewasa dengan mengutamakan koordinasi, kolaborasi lintas sektor, bukan sebaliknya saling serang tidak memberikan manfaat bagi korban,” tuturnya.

Ironisnya, komunikasi warganet di media sosial jauh lebih solid dan efisien dengan slogan "warga bantu warga", membuktikan bahwa kolaborasi sipil jauh melampaui koordinasi di tingkat pembuat kebijakan.

Tetapkan Bencana Nasional & Evaluasi Izin Hutan

Universitas Paramadina

Menyikapi krisis ini, Civitas Akademika Universitas Paramadina mengirim surat terbuka kepada presiden, secara eksplisit mempertanyakan apakah yang bersangkutan telah mendapat informasi sesungguhnya mengenai kondisi lapangan.

Pasalnya, hingga detik ini Jakarta belum menerapkan status bencana nasional meski korban jiwa mendekati angka ribuan, di tengah minimnya anggaran BNPB akibat tersedot ke program lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

“Kami tidak tahu apakah Bapak Presiden Prabowo sudah mendapat informasi yang sesungguhnya mengenai kondisi lapangan dari para pembantu dekat Bapak Presiden,” tulis perguruan tinggi tersebut dalam surat terbukanya.

Tidak hanya menuntut penetapan status 'bencana nasional', mereka juga mendesak lima tuntutan kritis yang menyasar akar masalah struktural, terutama yang berkaitan dengan kebijakan sektor Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

"Jika memang ada pertimbangan lain, mohon disampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar kami bisa memahami langkah dan kebijakan Bapak Presiden," tulis lembaga akademik tersebut.

  1. Segera hentikan segala bentuk perizinan baru dan mencabut izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan izin di seluruh Indonesia.

  2. Usut tuntas pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan yang melakukan penebangan pohon yang tidak memiliki izin, melakukan tindakan pembalakan ilegal dan menjual hasil hutan secara ilegal.

  3. Berikan bantuan dan santunan yang layak bagi masyarakat korban.

  4. Pastikan adanya pembangunan pasca bencana yang berfokus pada pembangunan kembali infrastruktur yang rusak.

  5. Prioritaskan pembangunan fasilitas infrastruktur dasar yang rusak, seperti sekolah dan rumah sakit.

Tuntutan akademisi ini menunjukkan bahwa tragedi bencana di Sumatra membuka kotak pandora masalah tata kelola lingkungan dan perizinan koruptif, yang dulu lama disimpan rapat-rapat.

Seruan tobat ekologi Cak Imin, yang notabene anggota kabinet, kepada menteri lain menunjukkan tidak efektifnya komunikasi dan koordinasi para menteri dalam memitigasi dampak kebijakannya, dan memilih retorika politik sebagai solusi instan. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance