Jakarta, TheStance – Di tengah kondisi penanganan bencana banjir Sumatra, warganet ramai menyorot tingkah laku ajudan Presiden Prabowo Subianto, Agung Surahman karena membuat konten 'A Day In My Life' di lokasi bencana Sumatera. Konten tersebut diunggah ke Instagram dan TikTok Agung Surahman.

Untuk diketahui, konten vlog 'A Day In My Life' biasanya memang menjadi salah satu yang ramai di medsos dan menjadi favorit. Sebab, lewat konten itu kita bisa mengetahui apa saja aktivitas sehari-hari seseorang.

Namun, apa yang dilakukan oleh ajudan Prabowo tersebut oleh sebagian warganet dinilai tidak berempati.

Dalam video yang disorot warganet, Agung yang sehari-hari bertugas mendampingi dan membantu kebutuhan Presiden Prabowo dalam menjalankan tugasnya, terlihat bangun dari kamar yang nyaman.

“Selamat pagi semua. Ikut aku dan pak Presiden yuk. Mandi dan renang nggak usah di-spill ya. Langsung persiapan aja,” tulisnya dalam video.

Setelah persiapan, ia menampilkan potret kediaman Prabowo yang terlihat nyaman.

Video kemudian berlanjut dengan perjalanan Presiden Prabowo, mulai dari mobil hingga menaiki pesawat Kepresidenan Indonesia. Video juga memuat kegiatan Presiden Prabowo yang sedang meninjau beberapa daerah yang terdampak banjir dan tanah longsor di Sumatra.

Dikritik Warganet

ajudan prabowo

Banyak warganet menyebut Agung 'tone deaf' karena tidak bisa berempati pada korban bencana.

Tone deaf is an understatement. Empatinya dimana ya?” tulis @fe***.

“Kak ini kan lagi bencana, kok bisa-bisanya bikin a day in my life?” komentar @it***.

Warganet pun menyoroti perbedaan yang kontras dari ‘tempat nyaman’ yang didapatkan oleh ajudan Presiden dengan kondisi para korban bencana. Bahkan, setiap kata yang digunakan oleh Agus pun disorot.

“Sejomplang ini ternyata kehidupan rakyat sama pejabat,” tulis @ar***.

“Miris, memperlihatkan kenyamanan di atas penderitaan banyak orang. RIP empati,” komentar @ka***.

Daftar Pernyataan Pejabat Memantik Kontroversi

BNPB

Sorotan terhadap konten vlog ajudan pribadi Presiden Prabowo tersebut seakan menambah daftar panjang pejabat publik yang bergantian melontarkan pernyataan dan tindakan yang memantik kontroversi publik selama penanganan banjir Sumatra.

Fenomena ini muncul di tengah masih adanya pengakuan warga yang menyebut "penanganan bencana masih tidak maksimal".

Alih-alih menerbitkan kebijakan signifikan dan korektif yang dapat mencegah berulangnya bencana, pernyataaan dan tindakan mereka justru dinilai kontraproduktif dan tidak berempati alias nirempati terhadap korban bencana.

Berdasarkan catatan TheStance, rangkaian pernyataan dan tindakan kontroversial itu terlontar dari pejabat level daerah hingga pusat.

Pertama, pernyataan yang memantik reaksi negatif disuarakan oleh Kepala BNPB Suharyanto yang dalam pernyataan kepada media menyebut situasi "mencekam" akibat banjir dan longsor "hanya berseliweran di media sosial."

Belakangan, Suharyanto meminta maaf saat mengunjungi Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada Senin (1/12/2025) dan mengaku kaget dan tidak mengira dampak bencana sebesar ini.

Kedua, pernyataan dari Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan Dwi Januanto yang menyebut gelondongan kayu yang ikut tersapu banjir adalah "kayu lapuk" dan terjadi secara alamiah, yang kemudian mendapat protes keras dari kalangan pegiat lingkungan karena menemukan adanya praktek illegal logging.

Sehari usai pernyataan itu, Dwi Januanto meluruskan pernyataannya.

"Terkait pemberitaan yang berkembang, saya perlu menegaskan bahwa penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir," ujar Dwi.

Ada pula perilaku Bupati Aceh Tenggara, Salim Fakhry, yang justru menyuarakan Prabowo Subianto untuk menjadi presiden seumur hidup, saat kepala negara mengunjungi daerahnya, pada Senin (1/12/2025).

Sebelum melontarkan pernyataan itu, Salim sempat mengucapkan terima kasih karena Prabowo menyempatkan diri mengunjungi korban bencana di daerahnya.

"Rakyat dan masyarakat Aceh Tenggara hari ini bersyukur. Kehadiran Bapak sebagai pemimpin negara mengobati hati rakyat dan masyarakat Aceh Tenggara yang dulu setia memilih Bapak pada pemilu presiden tahun lalu," ujar Salim.

Di hadapan para pengungsi yang berada di tenda pengungsian, Politikus Partai Golkar itu melanjutkan pernyataan dengan mengatakan "tidak ada presiden seperti beliau, menyapa rakyat, menyapa masyarakat."

"Kalau bisa, Pak Prabowo (Subianto) jadi presiden seumur hidup." tegasnya.

Sontak, pernyataan Salim tersebut mendapat reaksi negatif publik karena dinilai tak berempati dan tak terkait penanganan bencana.

Anggota DPRD Studi Banding dan Bupati Pilih Umrah

DPRD Padang Pariaman

Polah tingkah sejumlah Anggota DPRD Padang Pariaman, Sumatera Barat yang memilih terbang ke Sleman, DIY untuk studi banding penanganan bencana, Selasa (2/12/2025) juga menjadi sorotan. Padahal, sejumlah kecamatan di Padang Pariaman masih terisolasi akibat banjir bandang dan longsor.

Kunjungan di tengah situasi darurat ini memunculkan pertanyaan mengenai sensitivitas dan prioritas para wakil rakyat terhadap kondisi warganya sendiri.

Ketua Komisi IV DPRD Padang Pariaman, Afredison, mengakui tidak semua anggota dewan ikut serta karena situasi di daerah masih belum stabil.

“Paling parah ada empat kecamatan terdampak. Padang Pariaman saat ini dalam situasi pascabencana,” ujarnya.

Namun, ia beralasan kunjungan DPR Padang Pariaman ke Sleman tetap dilakukan untuk mencari referensi kebijakan dari daerah lain.

Beda lagi dengan Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, yang melaksanakan ibadah umrah di tengah bencana banjir dan longsor yang menerjang 11 kecamatan di wilayahnya.

Padahal, Mirwan MS sebelumnya sudah menerbitkan surat ketidaksanggupan dalam penanganan tanggap darurat banjir dan longsor.

Surat itu diterbitkan Mirwan pada Kamis (27/11/2025) bernomor 360/1315/2025. Lima hari setelah itu, tepat nya Selasa (2/12/2025), Mirwan justru pergi umrah memboyong keluarganya di tengah masih adanya warga di kawasan Trumon mengungsi di tenda pengungsian.

Aksi Mirwan itu pun menuai kecaman warga sebab kini Aceh sedang darurat bencana hidrometeorologi.

Bencana Jadi Panggung Pencitraan

Verrell Bramasta

Kehadiran elite di lokasi bencana kerap dimanfaatkan sebagai panggung simbolik untuk membangun citra kepedulian.

Salah satu yang mendapat sorotan dan memantik kontroversi adalah Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan yang mendistribusikan bantuan ke korban bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra.

Di sebuah rekaman video, Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu terlihat memanggul satu karung beras untuk diberikan kepada korban banjir di Koto Panjang Ikur Koto, Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat pada Minggu,(1/12/2025).

Dalam video yang diunggah di YouTube PAN TV dan Instagram @zul.hasan itu terlihat Zulkifli memanggul sekarung beras sembari berjalan dan menyapa masyarakat. "Assalamualaikum, ibu. Ibu rumahnya di mana?" kata Zulkfili di video tersebut.

Setelah meletakkan karung beras itu, Zulkifli terlihat mengambil sekop dan membersihkan lumpur di salah satu rumah warga yang terkena banjir. Ia juga berbincang dengan warga setempat Zulkifli mengatakan pemerintah telah menginstruksikan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menggandakan pasokan logistik hingga dua kali lipat.

Video berdurasi satu menit 58 detik itu viral di media sosial. Banyak warganet yang menilai cara Zulkifli membagikan bantuan tersebut hanya bentuk pencitraan.

Warganet juga menduga aksi Zulkifli itu sebagai upaya untuk menutupi praktik pembalakan liar di kawasan hulu di tiga provinsi yang terjadi banjir dan longsor, yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Apalagi Zulkifli pernah menjabat Menteri Kehutan pada 2009-2014 dan berperan dalam penerbitan izin pengelolaan hutan di Indonesia.

Di samping Zulkifli Hasan, cara anggota DPR Verrell Bramasta saat mengunjungi korban banjir bandang di Padang, Sumatera Barat juga menuai sorotan warganet. Anggota Komisi X DPR ini berkunjung ke wilayah terdampak banjir dan tanah longsor, pada Minggu, (30/12/2025).

Foto Varrel mengunjungi lokasi bencana itu beredar di media sosial. Di foto itu Varrel menjadi sorotan warganet karena mengenakan rompi serupa rompi antipeluru.

Namun, Varrel meresponnya dan menegaskan bahwa rompi tersebut bukan rompi antipeluru.

"Itu tactical vest biasa untuk kegiatan lapangan. Bukan rompi antipeluru seperti yang ramai disebut, " kata Varrel.

Perlu Empati Lebih Baik

Eko Teguh Paripurno

Sejumlah kalangan menyayangkan beragam pernyataan dan tindakan pejabat pemerintah yang memantik kontroversi publik di tengah penanganan bencana Sumatra.

Pengamat Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan, pemerintah harus "meningkatkan komunikasi" di tengah duka yang dialami para korban bencana.

"Ini pembelajaran… perlu empati yang lebih baik, Perspektif kemanusiaan enggak muncul dengan baik." ujar Eko.

Menurut Eko, minimnya empati yang ditunjukkan pejabat pemerintah itu sejatinya tak tak hanya terlihat saat penanganan bencana. Ia menyebut hal itu sudah terlihat saat fase mitigasi bencana.

"Sejak peringatan ada dari BMKG, semua semestinya sudah menyiapkan perangkat," kata Eko.

Lantaran tidak menanggap peringatan secara serius, menurut Eko, para pejabat pemerintah kemudian terlihat gelagapan saat bencana besar terjadi.

"Karena enggak bekerja, ini (bencana) jadi seolah tiba-tiba," ujar Eko.

Akibat kekagetan itu, penanganan pun kemudian menjadi berantakan, salah satunya tercermin lewat lambannya penanganan akses terputus dan distribusi bantuan.

"Ini bisa dilihat dari pernyataan Kepala BNPB (menyebut situasi mencekam hanya di medsos) yang seharusnya tidak terjadi," katanya.

"Ada rantai keterlambatan, dari daerah hingga pusat yang memperburuk situasi saat ini." tambahnya.

Lebih lanjut, Eko pun menyarankan pemerintah untuk segera memperbanyak pos menyamping, ketimbang pos komando (posko).

Dalam penanganan kebencanaan, pos menyamping merupakan unit paling kecil yang berfungsi untuk mendata korban daerah terisolir, memberikan layanan kesehatan ringan, dan mendistribusikan logistik sehingga diharapkan penanganan bencana di Sumatra kali ini dapat berjalan lebih cepat.

"Proses ini nampaknya tidak terjadi di kasus sekarang (bencana Sumatra)," kata Eko. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance