
Oleh Darma Bakti Kalbar, eks guru Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, anggota Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Pematang Siantar, yang saat ini sedang bergabung sebagai relawan penyaluran bantuan KAHMI untuk korban bencana banjir bandang Sumatra.
Kalimat “mencekam itu hanya di medsos” ternyata benar adanya.
Sebab, ketika kaki benar-benar menjejak lokasi bencana, kata 'mencekam' terasa terlalu ringan.
Di sana, tak ada banyak kata. Yang ada hanya air mata—jatuh pelan, tanpa suara. Nyatanya, kondisi di lapangan jauh lebih parah dari sekadar gambaran di layar ponsel.
Pasca banjir, sebagian warga memilih berpuasa. Bukan karena niat ibadah, tetapi karena tak ada pilihan.
Untuk mengambil bantuan, mereka harus berjalan kaki puluhan kilometer. Tak ada kendaraan. Tak ada alat masak. Bahkan banyak yang sudah tak sanggup berjalan.
Kami mendatangi sebuah tempat di mana satu kampung lenyap sama sekali. Kampung lain hanya menyisakan rangka-rangka rumah—berdiri kaku seperti saksi bisu kehancuran.
Malam kami lalui di bawah pohon sawit. Tanpa alas. Tanpa selimut. Hanya ditemani nyamuk-nyamuk besar yang tak kenal belas kasihan.
Lalu, ada satu peristiwa yang hingga hari ini masih membekas dan membuat dada terasa sesak.
Makanan Jadi Kebutuhan Mendesak

Saat mobil kami berhenti di ujung jalan terakhir yang bisa dilalui—beberapa kilometer dari jalan negara—seorang warga melintas.
Kami berbincang. Ia memahami maksud kedatangan kami. Entah bagaimana kabar itu menyebar, setengah jam kemudian warga berdatangan, berbondong-bondong.
Kami meminta mereka berbaris.
Pertanyaan pertama yang serempak keluar dari mulut mereka bukan tentang pakaian, bukan tentang rumah, bukan tentang selimut.
“Pak, ada bawa nasi?” (Izinkan saya menulis kalimat ini sambil menangis.)
Alhamdulillah, beberapa hari sebelumnya, rekan kami yang telah lebih dulu melakukan survei lapangan menyampaikan kebutuhan paling mendesak: makanan siap santap. Maka itulah yang kami siapkan.
Saat itu saya tersadar—betapa sering kita lupa bersyukur, padahal setiap hari kita masih bisa makan tanpa harus bertanya, “Hari ini bisa makan atau tidak?”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Baca Juga: Analisis Komunikasi Pemerintah di Bencana Sumatra (1): Mentalitas Asal Bapak Senang
Benar, mereka membutuhkan pakaian, alas tidur, dan sembako. Namun pada saat itu, yang paling mereka butuhkan hanyalah nasi—untuk dimakan saat itu juga.
Sebab, rumah mereka telah tiada. Peralatan dapur pun hilang bersama banjir. Jika diberi sembako, mereka bahkan tak tahu harus memasak di mana.
Sebagian bertahan di puing-puing rumah. Sebagian lagi berteduh di bawah pohon sawit, memeluk ketidakpastian.
Kenyataan yang Jauh Lebih Menyedihkan

Kesedihan belum berhenti di situ.
Saat pembagian bantuan, seorang anak perempuan—usia sekitar delapan tahun—ikut berbaris. Saya meminta agar hanya orang dewasa yang berbaris demi pemerataan bantuan. Saya khawatir satu keluarga mendapat lebih dari satu jatah.
Ketika tiba gilirannya, dengan lembut saya memintanya keluar dari barisan.
Dengan air mata yang jatuh satu per satu, ia berkata pelan: “Bapak… emakku enggak ada. Jadi aku enggak boleh ikut berbaris?”
Saya langsung memeluknya. Saya penuhi semua kebutuhannya. Dan saat itu—tak satu pun orang dewasa di sekitar membantah ucapannya.
Di sanalah saya benar-benar memahami: yang mencekam memang hanya di media sosial.
Di lapangan, kenyataan jauh lebih kejam—hingga kita hanya mampu menangis, menyaksikan manusia kehilangan rumah, harta, bahkan orang yang mereka kasihi dan lindungi… entah ke mana.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.