TheStance - Kuliner menjadi bagian budaya massa modern, mengubah proses konsumsi makanan dari sekadar memenuhi dahaga dan lapar menjadi seni dan tradisi memaknai dan menikmati cita rasa makanan secara estetis. Dan, juga secara politis.
Di semua negara terdapat keunikan nama-nama di setiap kuliner yang mereka konsumsi yang tak hanya mewakili keunikan rasa dan bentuk makanan, melainkan juga kultur “asli” asalnya.
Ketika globalisasi menerpa, terjadi semacam perang komoditas kuliner. Misalnya makanan Barat berjenis fast food (cepat saji) seperti burger, es krim, ayam, dan soda.
Pada titik inilah, Korea Utara menempatkan kebijakan resminya terkait kuliner, dengan melarang penggunaan istilah Barat untuk penyebutan makanan di negaranya.
Dilansir dari Citizen Digital, pada Jumat (19/9/2025) pemimpin Korea Utara Kim Jong Un melarang penggunaan istilah 'es krim' dan menggantinya dengan 'eseukimo' atau 'eoreumboseungi,' yang secara harfiah berarti 'manisan es.'
Pergantian nama ini tidak hanya mencakup es krim. 'Hamburger' yang dikenal di seluruh dunia tidak lagi boleh disebut di sana, dan harus disebut 'dajin-gogi gyeopppang,' yang berarti 'roti lapis ganda dengan daging sapi giling.'
Tujuan pergantian nama ini dimaksudkan untuk "mempromosikan kosakata Korea Utara" dan menghindari “infiltrasi” budaya melalui bahasa barat, khususnya Inggris.
Dengan menghindari kata-kata asing, rezim Korea Utara berupaya melestarikan identitas budayanya dan menarik wisatawan internasional--yang justru menjadi paradoks karena pengaruh eksternal dinilai buruk, tapi wisatawan asing tak dinilai buruk.
Ironisnya, Istilah Hamburger Pernah Dilarang AS
Kasus serupa mengenai perubahan nama kuliner juga terjadi di negara-negara lain, yang ironisnya juga pernah kejadian di Amerika Serikat (AS) untuk kasus hamburger. Bahkan dua kali.
Ketika terjadi Perang Dunia I (1914-1918), penduduk Amerika mulai menyerang makanan asal Jerman, seperti mengubah nama 'hamburger' menjadi 'liberty sandwiches.' Sosis 'frankfurter' menjadi 'liberty sausages.'
Meski tidak ada peraturan resmi yang dikeluarkan pemerintah untuk itu, perubahan nama makanan mengikuti aliran politik bukanlah hal yang tabu. Pada Perang Dunia II, hamburger kembali diganti menjadi atau 'liberty steaks.'
Di tengah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, Eropa tidak hanya mengutuk Rusia dan menjatuhkan sanksi. Mereka juga mulai mengganti nama kuliner yang berbau budaya Rusia.
Dilansir dari New Lines Magazines, perubahan itu terjadi di beberapa negara Eropa, meski tak diatur dengan beleid resmi pemerintah.
Para pemilik restoran, koki, dan bartender di Eropa mengganti nama makanan dan minuman berbau Rusia, seperti 'Chicken Kiev' menjadi 'Chicken Kyiv,' 'Russian dumplings' menjadi 'Ukrainian dumplings,' dan 'Moscow Mules' menjadi 'Kyiv Mules.'
Kejadian serupa juga terjadi pada saat Invasi Irak tahun 2003. Sebelum invasi Irak, Prancis menentang inisiatif rancangan AS dalam resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengizinkan perang mereka terhadap Irak.
Sebagai balasannya, muncul gerakan protes dengan mengganti nama kentang goreng 'French fries' menjadi 'freedom fries.' Tak berhenti di situ, 'French toast' pun diubah menjadi 'freedom toast.'
Indonesia Juga Serupa, tapi Lebih Kreatif
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, tetapi dengan pengecualian khusus. Tidak hanya sekadar mengubah nama masakan, Indonesia berusaha lebih kreatif dengan mengubah resepnya sekaligus.
Dikutip dari artikel “Kuliner sebagai Identitas Keindonesiaan” karya Fadly Rahman, kuliner Indonesia adalah persilangan berbagai budaya daerah dan asing yang terjadi jauh sebelum era kemerdekaan.
Perkembangan kuliner Indonesia mulai terjadi pada medio abad ke-19 dengan penerbitan buku-buku masakan mengakibatkan munculnya konsep kuliner kawasan disebut dengan Indische keuken (kuliner Hindia).
Memasuki dasawarsa 1940-an, pamor Indische keuken mulai meredup akibat masa sulit saat itu, mulai dari krisis ekonomi (Malaise) sampai Pendudukan Jepang (1942-1945).
Pemerintah pendudukan Jepang diawali dengan dekolonisasi berbagai budaya Barat di Indonesia, meliputi sensor buku-buku masakan yang memuat citra selera Eropa, termasuk buku masak karya warga lokal jika memuat resep bercitra Eropa.
Situasi ini membentuk tren baru dalam kuliner Indonesia, yang menampilkan identitas kebangsaan. Contoh paling awal pengenalan identitas dengan terbitnya buku masak berjudul “Boekoe Masak-Masakan.”
Ditulis oleh Chailan Sjamsu, buku ini mengenalkan konsep “makanan Indonesia” yang tersirat “rasa nasionalisme” dibandingkan “rasa kolonial” Indische Keuken.
Buku ini mendorong pembaca dari kalangan rakyat Indonesia agar memberdayakan bahan-bahan lokal untuk membuat olahan aneka makanan kue dan masakan.
Perdebatan Soal Unsur Asing dalam Kuliner Indonesia
Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, pada tahun 1950-an terdapat perdebatan di antara para gastronom bagaimana mengembangkan makanan di Indonesia dalam perspektif baru.
Poin yang menjadi perdebatan adalah pemisahan antara “makanan kita” dengan “makanan Belanda”. Sebagian berargumen bahwa “makanan kita” adalah makanan yang tidak dicampuri dengan resep-resep “asing” baik Belanda maupun Tiongkok.
Namun, kenyataannya makanan “asing” masih dianggap sebagai makanan mewah di beberapa kalangan, khususnya kalangan atas Indonesia.
Hal ini dirasakan Presiden Soekarno ketika para tokoh perempuan di kabinetnya menghidangkan “makanan Belanda” kepadanya, karena menganggap makanan tersebut lebih bergengsi dibandingkan makanan Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 1960 Presiden Soekarno bertemu dengan Menteri Pertanian Brigadir Jenderal Dr. Azis Saleh untuk membahas penyusunan buku masakan nasional.
Penyusunan buku ini dibantu oleh Lembaga Teknologi Makanan (LTM) dan lembaga-lembaga lainnya agar rakyat mengenal dan membuat makanan Indonesia yang lezat.
Namun langkah ini juga disinyalir sebagai upaya mengalihkan perhatian media lokal dan asing terkait masalah pangan yang sedang terjadi pada tahun tersebut.
Dugaan tersebut terpental oleh fakta bahwa buku baru diterbitkan setelah tujuh tahun, yang menunjukkan proses penyusunan cermat dan bukan sekadar mengejar target politik jangka pendek.
Baca Juga: Keprihatinan yang Berujung Kreativitas dan Perputaran Ekonomi
Berjudul Mustikarasa: Resep2 Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, buku ini memuat 1.600 resep masakan nusantara, termasuk resep makanan “asli” dan “asing.”
Beberapa nama resep masakan memang berbau politik, sejalan dengan visi besar Soekarno. Misalnya, “Ganefo ketela”, “Sayur Manipol Usdek” dan “Linggardjati.”
Resep-Resep ini merupakan karya dari para ahli masak pemerintah semasa Presiden Soekarno masih berkuasa, dan dicatat sebagai suatu perkembangan paling revolusioner bagi sejarah makanan di Indonesia. (mhs)