Jakarta, TheStance - Publikasi hasil kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bilang bahwa rokok elektrik (vape) punya kandungan zat berbahaya jauh lebih rendah dari rokok konvensional memicu gelombang kritik keras.

Temuan BRIN dipromosikan sebagai penelitian pertama di Indonesia yang menilai tingkat toksisitas produk tembakau alternatif berdasarkan sembilan senyawa berbahaya yang diakui Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).

Namun, riset tersebut dituding cacat dan menyesatkan karena konsensus menilai bahwa rokok elektrik memiliki kadar risiko sama seperti rokok konvensional sehingga ditempatkan di kolom yang sama sebagai: aktivitas yang merugikan kesehatan.

Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), dan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mempertanyakan integritas dan objektivitas BRIN.

Kelemahan paling mendasar terletak pada dugaan konflik kepentingan yang mencolok. Penelitian ini melibatkan Aliansi Vaper Indonesia sebagai pihak kedua, keterlibatan yang dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap standar etik penelitian kesehatan.

“BRIN seharusnya menjaga independensi riset, bukan justru menghasilkan kesimpulan yang berpotensi menyesatkan publik dan menguntungkan industri,” ujar Sekjen Komite Nasional Pengendalian Tembakau Tulus Abadi melalu keterangan tertulis, Jumat (21/11/2025).

Selain itu, lanjut dia, secara metodologis riset BRIN dinilai mengabaikan nikotin, yang menjadi komponen kunci dalam produk vape yang juga terkandung dalam rokok konvensional.

Nikotin Tak Disorot di Penelitian

Agus Dwi SusantoSenada, Penasihat Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), mempertanyakan kajian tersebut karena tak memasukkan nikotin dalam analisisnya.

Padahal, nikotin adalah komponen utama yang menyebabkan adiksi dan memicu penyakit kardiovaskular, stroke, serta penyempitan pembuluh darah.

“Tanpa menilai nikotin, tidak bisa disimpulkan bahwa rokok elektronik lebih tidak berbahaya,” tuturnya. Pengabaian nikotin oleh BRIN tersebut sangat kontras dengan data riset yang sudah lebih dulu ada.

Data Departemen Pulmonologi Fasilitas Kesehatan Umum/Rumah Sakit Persahabatan menunjukkan fakta sebaliknya: pengguna vape rutin harian memiliki kadar kotinin urin sebesar 276,1 ng/mL, yang secara signifikan lebih tinggi dari perokok konvensional 5 batang per hari (223,5 ng/mL).

Angka ini menunjukkan bahwa paparan nikotin pada pengguna vape justru lebih besar, yang mengindikasikan risiko ketergantungan nikotin, penyakit vaskular, dan juga gangguan kardiovaskular.

Selain itu, survei RSUP Persahabatan tahun 2018 memperkuat temuan ini dengan data bahwa 76,5% pengguna vape laki-laki mengalami ketergantungan nikotin.

Hal ini menjadi indikator kuat bahwa bahaya vape tidak bisa dikesampingkan sebagai produk yang "kurang berbahaya ketimbang rokok biasa."

Menyesatkan Generasi Muda

Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI)Selain itu, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), Mouhamad Bigwanto mengritisi beberapa metodologi penelitian BRIN yang menurutnya ganjal.

Pertama, jumlah sampelnya sangat kecil (hanya 60 orang) sehingga tidak mewakili ribuan produk yang beredar di pasaran.

Kedua, pengujian toksikan hanya mencakup sembilan zat, padahal penelitian lain menunjukkan vape mengandung ratusan bahan kimia lain dan beberapa di antaranya tak ada di rokok konvensional, seperti logam berat yang berasal dari koil pemanas.

Terakhir, hasil ini tidak mencerminkan kondisi penggunaan nyata, seperti durasi penggunaan, jenis device, maupun pengaturan watt, yang sangat mempengaruhi jumlah zat berbahaya yang dihasilkan. Peneliti sekelas BRIN harusnya paham soal ini, tapi kan ini di belakangnya ada industri,” tutur Mouhamad.

Dampak paling berbahaya dari narasi "lebih aman" yang dipromosikan oleh "riset bias ini" adalah mengelabui kaum muda yang tak merokok untuk memilih vape meski bahayanya sama besar.

Apalagi berdasarkan Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia 2021, pengguna rokok elektronik di Indonesia telah meningkat tajam dari 480 ribu menjadi 6,6 juta orang.

Manik Marganamahendra, Ketua Indonesia Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), menyayangkan narasi “lebih aman” tersebut yang kemudian dijadikan bahan promosi yang begitu masif di media sosial oleh para pebisnis vape.

“Produk ini dipromosikan secara agresif melalui influencer, kemasan modern, varian rasa yang dirancang menarik remaja, iklan terselubung di konten musik, gaming, hingga event orang muda,” tuturnya.

Paparan tersebut diperparah oleh e-commerce yang masih menjual produk ini tanpa verifikasi usia ketat, menjadikan vape hadir seolah-olah sebagai produk lifestyle modern yang mudah diakses oleh generasi muda.

Baca Juga: Berbagai Negara Larang Vape, Indonesia Beda: Menggelar World Vape Fair

Dia mengingatkan bahwa BRIN memiliki mandat untuk melindungi publik melalui riset independen, transparan, dan bebas dari keberpihakan industri.

Maka, kata dia, ketika lembaga penelitian negara tersebut menghasilkan kajian yang sarat konflik kepentingan dan berpotensi menyesatkan masyarakat, BRIN dinilai tak hanya gagal menjalankan amanat ilmiah, tapi juga mengingkari mandat konstitusional.

Ia berharap, BRIN kembali memastikan masyarakat memperoleh informasi berbasis bukti yang mendorong kehidupan sehat, dan bukan sebaliknya. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance