Jakarta, TheStance – Indonesia dan Singapura menemukan kontras baru di bidang kebijakan. Ketika Singapura ramai menganggap vape atau rokok elektrik membahayakan laiknya narkoba, Indonesia malah jadi pasar besar vape di Asia Tenggara.

Dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan, vaping adalah aktivitas menghirup uap yang dihasilkan oleh rokok elektronik (e-rokok) atau perangkat serupa.

Rokok modern ini bekerja dengan memanaskan cairan yang biasanya mengandung nikotin, pelarut dan perasa, menghasilkan uap yang kemudian dihirup penggunanya.

Secara umum dipandang sebagai pilihan yang lebih sehat daripada merokok tradisional, vape juga menyimpan potensi bahaya yang tidak boleh diremehkan. Meski zat berbahayanya lebih sedikit, dampak buruk vape terhadap kesehatan tetaplah ada.

Sejumlah negara pun memperketat bahkan melarang total rokok elektrik, mulai dari impor, penjualan, hingga kepemilikannya. Bahkan mereka menerapkan sanksi hukum bagi yang melanggar. Seperti halnya yang dilakukan Singapura.

Dikutip dari CNA, Singapura akan memperlakukan vaping sebagai “masalah narkoba” dan meningkatkan penegakan hukum, dengan memperkeras sikap terhadap rokok elektronik ilegal yang semakin marak di kalangan anak muda di negara itu.

“Selama ini kita memperlakukan vaping seperti tembakau, paling jauh kita kenakan denda. Tetapi itu tidak lagi cukup,” kata Perdana Menteri Lawrence Wong, pada Minggu (17/8/2025).

Denda dan Sanksi Mengintai

Lawrence Wong

Dalam pidato National Day Rally yang digelar di markas Institute of Technical Education College, Ang Mo Kio, Wong bilang akan menerapkan hukuman yang jauh lebih berat, termasuk penjara dan sanksi bagi penjual vape dengan kandungan zat berbahaya.

Kandungan berbahaya tersebut diketahui bersifat adiktif, yakni etomidate (obat bius kerja cepat yang berbahaya jika dipakai di lingkungan non-medis. Vape yang dicampur etomidate dikenal sebagai Kpods, yang belakangan disorot di Singapura.

“Vape itu sendiri hanyalah perangkat pengantar. Bahaya sesungguhnya adalah apa yang ada di dalamnya. Saat ini isinya etomidate. Di masa depan, bisa saja sesuatu yang lebih buruk, lebih kuat, jauh lebih berbahaya,” tuturnya.

Kampanye edukasi publik besar-besaran juga rencananya akan digelar dari sekolah, institusi pendidikan tinggi, hingga masa wajib militer. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan akan memimpin upaya ini.

Wong mencatat anak muda Singapura kini menikmati lebih banyak kesempatan dan keuntungan yang tidak tersedia di generai sebelumnya. Namun, mereka juga menghadapi tantangan baru yang berbeda dan lebih kompleks.

“Setiap generasi selalu khawatir tentang pengaruh negatif terhadap anak muda mereka. Hari ini, tidak ada yang menganggap hal-hal itu berbahaya. Tetapi ada risiko-risiko baru, dan sebagian di antaranya nyata,” tuturnya.

Dengan kebijakan tersebut, Singapura menjadi satu dari sejumlah negara yang serius dalam menangani peredaran vape. Wong mengaku khawatir sebab potensi penyelundupan vape akan tetap terjadi meski ada larangan resmi.

Thailand Juga Larang Vape

rokok elektrik

Negara lain yang juga melarang Vape adalah Thailand. Mereka bahkan menyebutkan pelarangan tersebut di dalam Undang-undang. Wisatawan yang membawa vape ke negara tersebut akan didenda penjara hingga 10 tahun lamanya.

Menyusul Thailand dan Singapura, ada Taiwan, India, Brunei Darussalam, Korea Utara, Qatar, India, hingga Sri Langka. Namun Indonesia sampai sekarang masih santai-santai saja.

Ketika dikonfirmasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengatakan hingga saat ini Indonesia belum menerapkan larangan total terhadap rokok elektronik atau vape.

“Belum. Sementara ini masih pembatasan sesuai UU dan PP kesehatan,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, kepada TheStance.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa regulasi yang lebih detail terkait pengendalian vape masih dalam tahap pembahasan lintas kementerian dan lembaga.

“Lebih detil masih dalam pembahasan,” ujar Kemenkes, menandakan bahwa pemerintah masih memerlukan kajian menyeluruh sebelum mengambil langkah tegas seperti yang diterapkan di beberapa negara lain.

Kebijakan Kesehatan yang Konsisten

Pakar Keamanan Kesehatan Global sekaligus Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menilai langkah Singapura memperketat aturan rokok elektronik atau vape merupakan bagian dari strategi kesehatan publik yang konsisten.

Menurut dia, kebijakan tersebut bukanlah keputusan mendadak, melainkan kelanjutan dari regulasi ketat yang telah lama diterapkan Negeri Singa terkait produk tembakau dan turunannya.

“Singapura memandang rokok elektronik sama berbahayanya dengan produk tembakau, bahkan bisa lebih berisiko. Cairan vape mengandung nikotin tinggi dan bahan kimia beracun yang berdampak pada jantung, paru, dan perkembangan otak remaja. Apalagi efek jangka panjangnya belum sepenuhnya terungkap,” ujar Dicky kepada TheStance.

Ia menambahkan, promosi vape dengan rasa buah dan kemasan menarik justru meningkatkan risiko adiksi pada kelompok usia muda, sehingga tidak heran negara maju seperti Singapura memilih protektif demi melindungi generasi mudanya.

Di Indonesia, Dicky menilai penerapan kebijakan serupa di Indonesia menghadapi tantangan besar. “Tapi masalahnya ada pada penegakan hukum yang lemah dan literasi publik yang rendah. Banyak orang mengira vape lebih aman dari rokok biasa.”

Ia mendorong pemerintah memperkuat regulasi penjualan dan pemasaran, membatasi akses bagi anak-anak, serta mengatur standar kandungan nikotin dalam cairan vape.

“Indonesia perlu memperkuat regulasi, menegakkan aturan rokok tradisional maupun elektrik, serta meningkatkan literasi publik. Jika tidak, generasi muda akan menjadi korban adiksi nikotin, baik dari rokok konvensional maupun vape,” tegas Dicky.

Menolak World Vape Fair

anti rokok

Isu Vape sempat diangkat di Car Free Day Jakarta pada Minggu (24/8/2025) oleh ratusan mahasiswa kesehatan masyarakat yang tergabung dalam Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI) Jakarta Raya.

Bersama Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) dan sejumlah komunitas, mereka menggelar Pawai Generasi Sehat Tanpa Rokok untuk menolak penyelenggaraan World Vape Fair di Jakarta Convention Centre pada 30–31 Agustus 2025.

World Vape Fair dikenal sebagai pameran rokok elektronik terbesar, menampilkan ratusan merek dan menyedot ribuan pengunjung, dengan promosi masif di berbagai kanal digital.

Namun bagi para peserta aksi, ajang tersebut tidak bisa dipandang sekadar pertemuan bisnis, melainkan upaya sistematis menormalisasi produk adiktif yang menyasar generasi muda.

“Padahal, UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP No. 28 Tahun 2024 sudah mengatur tegas bahwa iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau maupun rokok elektronik dilarang, termasuk di media digital,” tegas Qurrota Aini Al-Bahri, Koordinator Daerah ISMKMI Jakarta Raya, di sela aksi di Taman Dukuh Atas.

Munculnya pameran rokok elektrik yang diklaim berskala internasional tersebut menunjukkan betapa lemahnya pengawasan pemerintah terhadap industri yang merugikan kesehatan publik.

Menurut Survei Global Adults Tobacco, prevalensi pengguna rokok elektronik meningkat 10 kali dalam 10 tahun terakhir, dari 0,3% pada 2011 menjadi 3% pada 2021.

Tren tersebut menandakan strategi promosi industri berhasil memikat remaja dan anak muda, sekaligus memperlihatkan bahwa kebijakan yang berlaku belum cukup melindungi masyarakat.

Kampanye Berkelanjutan Industri Rokok

rokok elektrik

Aksi Pawai Generasi Sehat Tanpa Rokok di CFD menjadi simbol perlawanan sekaligus solidaritas anak muda untuk melindungi diri dari gempuran promosi industri rokok dan mendorong pemerintah sekaligus mengajak publik lebih peduli pada isu tersebut.

Melalui gerakan kolektif ini, ISMKMI bersama jejaringnya mendesak pemerintah agar tidak menutup mata, segera membatalkan acara World Vape Fair, serta memperkuat perlindungan masyarakat lewat regulasi yang ditegakkan secara konsisten.

“Ini bukan sekadar soal aturan tertulis, melainkan soal keberanian negara menempatkan kesehatan publik di atas kepentingan industri. Kami tidak ingin generasi kami dijadikan korban oleh perusahaan yang menjual adiksi demi keuntungan,” ujar Aini.

Bagi mahasiswa kesehatan masyarakat, World Vape Fair hanyalah bagian dari strategi panjang industri adiktif. Setelah acara ini, Indonesia bahkan akan kembali menjadi tuan rumah World Tobacco Asia pada Oktober mendatang di Surabaya.

“Indonesia seolah dibiarkan menjadi etalase internasional bagi industri tembakau dan rokok elektronik. Padahal, generasi muda sedang menghadapi risiko serius terhadap kesehatan dan masa depannya,” lanjut Aini.

Dia juga menyalahkan sikap pemerintah yang tidak tegas. "Hingga saat ini Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta belum juga disahkan, penolakan hanya akan berhasil jika ada komitmen nyata dari pemerintah daerah setempat."

Sebelum turun ke jalan, ISMKMI Jakarta Raya telah melakukan kampanye daring melalui petisi, gerakan di media sosial, hingga surat terbuka yang melibatkan jejaring kesehatan masyarakat dari berbagai daerah.

Baca Juga: Cukai, Solusi Adil Mengatasi Lonjakan Klaim BPJS Kesehatan Akibat Rokok

Menanggapi dorongan larangan vape di Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen Suyudi Ario Seto menanggapi bahwa wacana itu memungkinkan terjadi tetapi harus dipelajari dan dievaluasi lebih lanjut.

"Ini tentunya akan menjadi bagian dari pendalaman kami, tentunya perlu duduk bersama dulu dan kami akan lihat ke depan seperti apa," ujar Suyudi Ario Seto di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (25/8/2025).

Menurut Suyudi, memang ada sejumlah kasus penyalahgunaan narkotika yang melibatkan rokok elektronik. Namun, ia menekankan bahwa hal itu tidak serta merta bisa dijadikan alasan utama untuk langsung melarang peredarannya.

"Kemungkinan itu pasti ada saja. Tapi kan harus lihat data yang sesungguhnya. Beri saya kesempatan untuk kami nanti mendalami hal ini. Yang jelas narkoba harus kita tindak tegas. War on drugs for humanity," pungkasnya. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.