Jakarta, TheStanceID – Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) menyusul wabah campak yang melanda Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Sejak Januari 2025 hingga pekan ketiga Agustus, tercatat 2.035 kasus infeksi dengan 17 anak meninggal dunia. Angka infeksi ini melonjak drastis dari tahun lalu, yang hanya mencatatkan 319 kasus.

Tingginya kasus campak di Sumenep tahun ini disinyalir karena rendahnya cakupan imunisasi di wilayah tersebut, menyebabkan penularan semakin masif.

Pemerintah daerah pun kini mempercepat program vaksinasi untuk menekan penyebaran virus campak.

Takut Imunisasi dan Termakan Hoax Vaksin Haram

Wabah Campak di Sumenep (Foto : Sumenepkab.go.id)

Dikutip dari BBC Indonesia, Ahmad Mufidan (7 tahun), warga Dusun Angsanah, Desa Bragung, Kecamatan Guluk-Guluk, mengeluhkan gatal-gatal dan terlihat bintik-bintik merah atau ruam di beberapa bagian tubuhnya.

Sudah hampir sepekan, siswa kelas dua SD tersebut dirawat di ruang klaster lima Puskesmas Guluk-Guluk Sumenep, karena campak.

Selain Mufidan, Moh Syaiful Bahri (3 tahun), juga dirawat di Puskesmas Guluk-Guluk karena penyakit campak.

Warga Gadu Timur, Kecamatan Ganding, itu sudah empat hari mengalami panas tinggi disertai batuk. Namun, belum muncul ruam.

Ada kesamaan antara Mufidan dan Syaiful Bahri, yakni keduanya diketahui belum mendapat imunisasi campak. Mereka belum divaksin karena orang tuanya "takut" dan tak dapat melakukan imunisasi gara-gara karantina pandemi Covid-19 pada 2020-2022 lalu.

Banyak warga yang takut dan bahkan menolak vaksin. Mereka termakan hoaks "vaksin haram" atau menganggap vaksin berbahaya.

Ini disinyalir sebagai pemicu tingginya kasus campak di Sumenep.

"Sangat-sangat banyak sekali kendala [imunisasi]. Ada ketakutan, hoaks vaksinnya haram, dan lain-lain," kata tenaga kesehatan Puskesmas Guluk-Guluk Sumenep, dr Fita Rabianti.

"Cakupan imunisasi belum maksimal, belum membentuk herd immunity atau kekebalan tubuh secara berkelompok." tambahnya.

Cakupan Imunisasi Dibawah 80%

Achmad Syamsuri

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DKP2KB Kabupaten Sumenep, Achmad Syamsuri, mengakui bahwa cakupan vaksinasi belum memenuhi target.

Bahkan di wilayah angkanya di bawah 80% alias belum mencapai herd immunity. Sementara cakupan imunisasi lengkap idealnya harus lebih dari 95%.

"Penyakit campak atau virus campak ini masih dianggap penyakit yang tidak berbahaya atau istilahnya orang Madura itu adalah tampek. Sehingga kadang-kadang kalau tidak parah tidak diperiksakan," katanya.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DKP2KB) Kabupaten Sumenep, tercatat ada 200 kasus campak pada 2022.

Pada tahun berikutnya, tak lama setelah pandemi Covid-19, kasus campak melonjak jadi 1.400 kasus.

Setelah itu, pada 2024 jumlahnya menurun jadi 319 kasus.

Tapi pada tahun ini, hingga pekan ketiga Agustus, melonjak menjadi 2.035 kasus dengan 17 anak meninggal dunia.

Vaksinasi Massal

Vaksinasi Campak massal di Sumenep

Lebih lanjut, Achmad menjelaskan pemerintah akan segera menggelar vaksinasi massal.

Vaksinasi ini akan menyasar 78.569 anak dengan target usia 9 bulan hingga 6 tahun. Pelaksanaan akan berlangsung selama 21 hari, mulai 25 Agustus hingga 14 September 2025.

"Vaksinasi akan kami gelar di 26 puskesmas di daratan dan kepulauan se-Kabupaten Sumenep dan tiga rumah sakit pada 25 Agustus 2025, sesuai hasil keputusan rapat lintas sektor tadi," kata Achmad Syamsuri, dalam keterangannya, Senin (25/8/2025).

"Kami sudah menginstruksikan kepada semua kepala puskesmas untuk mempersiapkan pelaksanaan program ini, dan mulai besok vaksin untuk masing-masing puskesmas kami kirim," tambahnya

Jumlah vaksin yang kini tersedia untuk program vaksinasi massal itu sekitar 18 ribu vial, setara dengan lebih dari 80 ribu dosis. Jumlah tersebut dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan program vaksinasi darurat ini.

Campak dan Alarm Keras Sistem Imunisasi Nasional

Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menyampaikan keprihatinannya atas munculnya wabah campak di Sumenep, yang sampai merenggut 17 nyawa.

Menurutnya, kasus ini menjadi alarm keras bagi sistem imunisasi nasional yang masih rapuh pascapandemi.

"Ini bukan hanya akibat virus tapi juga akibat miss opportunity imunisasi, hoax juga disitu ada, dan lemahnya respon awal," kata Dicky kepada TheStanceID, Senin (25/8/2025).

Dia menjelaskan, campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan menular melalui percikan ludah ketika seseorang batuk atau bersin.

"Tingkat penularannya sangat tinggi, dengan laju reproduksi (R0) 17-18. Artinya, satu orang yang terinfeksi bisa menularkan kepada 17 hingga 18 orang lain di sekitarnya," jelasnya.

Gejala campak antara lain demam tinggi, batuk, pilek, mata merah, hingga ruam pada kulit. Komplikasi penyakit ini dapat berujung fatal, seperti pneumonia, diare berat, hingga gangguan neurologis. Risiko kematian semakin tinggi apabila penderita adalah balita dengan kondisi gizi buruk atau gangguan kekebalan tubuh.

Menurut Dicky, campak merupakan penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Dua dosis vaksin dengan cakupan minimal 95% di setiap komunitas mampu melindungi anak dari risiko kematian.

Namun, berbagai hambatan membuat cakupan imunisasi di Indonesia mengalami penurunan.

“Masalahnya bukan semata karena masyarakat anti vaksin. Faktor utamanya adalah kombinasi persoalan programatik, sosial, dan logistik. Mulai dari layanan imunisasi yang terganggu selama pandemi, akses transportasi di daerah terpencil, kualitas data yang kurang baik, hingga lemahnya komunikasi risiko,” jelasnya.

Selain itu hoaks seputar vaksin, termasuk isu halal-haram dan ketakutan efek samping, turut memperburuk kepercayaan masyarakat.

“Kelompok antivaksin garis keras jumlahnya kecil, tapi keraguan masyarakat (vaccine hesitancy) yang ditunggangi hoaks inilah yang paling berbahaya,” tambahnya.

Data WHO tahun 2023 mencatat bahwa 14,5 juta anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi (zero dose), dengan Indonesia menempati posisi keenam tertinggi, yaitu 1.356.367 anak tidak menerima imunisasi dasar pada periode 2019-2023.

Sementara, dalam Survei Kesehatan Indonesia di tahun 2023, diketahui 47% anak tidak diimunisasi karena tidak diizinkan keluarga, 45% karena takut efek samping, 23% tidak mengetahui jadwal imunisasi, dan 22% menganggap imunisasi tidak penting.

Potensi Campak Jadi Wabah Nasional

Dicky mengingatkan, merujuk pada data Kementerian Kesehatan hingga awal Agustus 2025, dengan ditemukannya 40 kejadian luar biasa (KLB) campak di 37 kabupaten/kota, pola penyebaran kini bersifat multilokasi. Jika respon tidak cepat dan komprehensif, potensi terjadinya gelombang nasional sangat besar.

Karena itu, ia mendesak pemerintah bergerak cepat memadamkan “kantong-kantong rawan” dengan strategi vaksinasi massal, pemberian vitamin A, serta perbaikan gizi.

“Targetnya jelas, cakupan imunisasi dua dosis harus lebih dari 95% dan merata di seluruh kabupaten/kota. Kalau hanya 85% untuk dosis pertama dan 65% dosis kedua, masih ada kolam kerentanan yang besar,” jelasnya.

Selain memperkuat logistik vaksin dan vitamin A, Dicky juga menekankan pentingnya mikro planning berbasis desa, strategi komunikasi risiko yang transparan, serta keterlibatan tokoh masyarakat dan ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk meyakinkan masyarakat akan pentingnya imunisasi sekaligus menegaskan kalau vaksin halal dan perlu.

"Respon 90 hari pertama ini sangat krusial. Jangan sampai dinas kesehatan hanya jadi pemadam kebakaran. Harus ada data harian, stok vaksin aman, dan komunikasi publik yang terpercaya. Waktu adalah musuh utama menghadapi campak,” katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.