Jakarta, TheStance - Pemerintah kembali didorong menguasai 51% saham PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Isu lama yang mengemuka dengan narasi "mengembalikan uang rakyat," tetapi biasanya berakhir mengambang layaknya kompromi.
Dua dekade setelah skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Presiden Prabowo Subianto mendapat desakan untuk tidak berdiam diri dan segera mengungkap secara transparan hilangnya dana negara dalam megaskandal BLBI.
Desakan itu datang dari seorang Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sasmito Hadinegoro, yang juga merupakan Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN).
Belakangan, anggota Komisi III DPR Abdullah dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mendesak pemerintah menuntaskan "megaskandal" BLBI-BCA, membongkar dugaan permainan dalam akuisisi 51% saham BCA oleh Djarum Group.
Transaksi yang terkait dengan kasus BLBI itu disebut-sebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp87,99 triliun.
Ia menilai presiden perlu merebut kembali 51% saham emiten berkode BBCA tersebut. Selain itu Presiden juga menurutnya perlu membentuk tim khusus untuk mengungkapkan tuntas atas dugaan keterlibatan mafia keuangan.
“Angin kencang beberapa kali telah kita tiup untuk mengusut kembali kasus BLBI-BCA. Pemerintah punya hak untuk mengambil kembali 51% saham BCA, tanpa harus bayar,” ujar Sasmito, Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Ia menuding ada rekayasa dalam proses akuisisi 51% saham BCA oleh Grup Djarum, konglomerasi milik Budi Hartono, yang terjadi di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Untuk memperkuat klaimnya, ia memaparkan data keuangan kala itu.
“Pada waktu itu, pada Desember 2002, nilai sahamnya (BCA) Rp117 triliun. Dalam buku, BCA mempunyai utang ke negara Rp60 triliun, diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya,” jelas Sasmito.
Sempat Dirintis di Era Jokowi
Menurut Sasmito, upaya penyelesaian BLBI telah dirintis di era Presiden Joko Widodo melalui pembentukan tim khusus berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres).
Dia mendesak Presiden Prabowo meneruskan langkah itu, agar seluruh indikasi permainan dalam skandal BLBI-BCA dapat dibongkar.
“Kenapa tim keppres pemeriksaan BLBI BCA tidak diteruskan? Pemberian obligasi yang sampai sekarang masih jalan per triwulan. Angkanya besar sekali. Mungkin saat ini sudah mencapai Rp1.500 triliunan. Ini kok luput dari perhatian,” tuturnya.
Sasmito mengaku pernah dikonfrontasikan secara langsung dengan pihak BCA dalam pertemuan yang digelar di Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko pada 4 September 2018.
“Saat itu, saya dipanggil KSP, Pak Moeldoko untuk dikonfrontir dengan Direktur BCA. Saya jelaskan semuanya. Mereka tak bisa membantah. Kita tidak mempermasalahkan BCA-nya, karena sudah berjalan. Tapi, jika kasus ini diusut tuntas, maka aset senilai Rp700 triliun bisa masuk ke Danantara Indonesia,” imbuhnya.
Dengan kondisi fiskal negara yang tengah terbatas, dibutuhkan langkah berani dan di luar kebiasaan untuk mendorong kepentingan negara.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Tiga Bank Mencengkeram Transaksi Bursa Kita
Sasmito bahkan menyatakan kesediaannya untuk turun langsung memimpin upaya pemberantasan mafia keuangan bila mendapat mandat dari Presiden Prabowo.
“Tinggal membuat satgas pemberantasan mafia keuangan negara saja. Jika dipercaya, saya bersedia menjadi Ketua Tim Satgas Pemberantasan Mafia Keuangan Negara. Demi kepentingan NKRI,” ujarnya.
Ia mengeklaim jika proses penegakan hukum terhadap skandal BLBI-BCA terus dibiarkan mandek, kepercayaan publik pada pemerintahan bisa terkikis, terutama di tengah janji Presiden Prabowo untuk menindak tegas segala bentuk korupsi.
Catatan Kwik Kian Gie
Dalam catatan almarhum Kwik Kian Gie, yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid, BCA sebagai bank swasta terbesar nasional memiliki utang pada negara, salah satunya dari BLBI.
Pada saat krisis moneter 1997, BCA mengalami rush (masyarakat menarik tabungan besar-besaran) sehingga harus menerima bantuan pemerintah dengan kucuran BLBI senilai Rp31,99 triliun untuk menanggulangi situasi.
Sebagai bentuk penyelesaian utang yang ditanggung keluarga Salim, pemerintah mengambil-alih saham BCA. Dari total kewajiban tersebut, tercatat pembayaran pokok Rp8 triliun dengan tingkat bunga mencapai 70% per tahun.
Sisa kewajiban yang belum terbayar mencapai Rp23,99 triliun. Nilai tersebut setara dengan sekitar 92,8% dari kapitalisasi saham BCA ketika itu.
Pasca-pengambilalihan, pemerintah kembali harus mengucurkan Rp60 triliun dalam bentuk Obligasi Rekapitalisasi Perbankan untuk memperkuat BCA, meskipun bank tersebut sudah mencatatkan laba bersih sekitar Rp4 triliun.
“Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp87,99 triliun (dibulatkan Rp88 triliun),” kata Kwik kala itu.
Namun demikian, saham BCA kemudian dilepas kepada konsorsium Farallon Indonesia (Grup Djarum) yang menang melalui tender, dengan nilai Rp10 triliun.
Artinya, menurut Kwik, pemerintah menanggung kerugian sekitar Rp78 triliun, jauh melampaui kerugian Rp33 triliun karena ada selisih valuasi 108 perusahaan milik keluarga Salim yang dijadikan pembayaran utang.
Sesuai Ketentuan
Corporate Secretary BCA I Ketut Alam Wangsawijaya menegaskan penjualan 51% saham BCA seharga Rp5 triliun pada saat itu berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasalnya, nilai pasar perusahaan saat itu berkisar Rp10 triliun, yang dihitung dari rerata harga saham di pasar dikalikan dengan jumlah saham beredar.
Angka tersebut kata dia, kemudian menjadi acuan valuasi saat transaksi perpindahan separuh saham BCA ke Djarum dilaksanakan. Dengan demikian, akuisisi 51% saham BCA senilai Rp5 triliun merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu.
“Tender dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara transparan dan akuntabel," jelas Ketut.
Ketut juga menegaskan tidak benar akan kabar terkait perusahaan yang memiliki utang kepada negara senilai Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun per tahun.
Faktanya, neraca BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009.
Dia juga mengoreksi kesalahan Sasmito dalam memaknai angka. "Angka Rp117 triliun yang disebut dalam narasumber merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan," kata dia, dalam Keterbukaan Informasi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Bahaya Ketidakpastian
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai argumen yang mendukung akuisisi 51% saham BCA berangkat dari memori krisis 1998—ketika negara harus menanggung beban rekapitalisasi dan jejak BLBI.
Namun, penolakan datang dari pihak yang khawatir bahwa intervensi demikian justru akan merusak kepastian hukum dan iklim investasi.
Di tengah klaim akuisisi BCA oleh negara bisa menambah ruang fiskal, Achmad menegaskan yang perlu diperhatikan bukan sekadar apakah negara boleh bertindak, melainkan bagaimana negara bertindak.
“Pasar tidak alergi terhadap intervensi pemerintah. Yang ditolak pasar adalah ketidakpastian,” ujarnya kepada TheStance.
Ia menekankan, selama kerangka hukum jelas, kompensasi kepada pemegang saham wajar dan komunikasi kebijakan konsisten, kebijakan pemerintah terkait korporasi swasta justru bisa mengurangi risiko sistemik, bukan ancaman politik.
Dengan begitu, negara tetap bisa memperkuat rasa keadilan tanpa meruntuhkan kepercayaan investor. Namun, langkah yang sebaliknya justru bisa membahayakan iklim investasi dan usaha.
Achmad mengingatkan, krisis 1998 meninggalkan jejak ketidakadilan: ongkos publik untuk menyelamatkan perbankan sangat besar, namun keuntungan pascakrisis terkonsentrasi pada segelintir pihak swasta.
“Move on dari krisis bukan berarti menutup buku tanpa koreksi, melainkan memastikan akibat krisis terselaraskan dengan rasa keadilan sosial,” jelasnya.
Tiga Gagasan Akhiri Polemik BLBI-BCA
Sebagai alternatif, Achmad mengajukan tiga gagasan yang menurutnya adil bagi publik sekaligus bisa diterima logika pasar. Pertama, kontribusi stabilitas atau bank levy, pungutan prospektif bagi bank sistemik berdasarkan profil risiko.
Kemudian yang kedua, penerapan golden share, yakni hak veto terbatas bagi negara pada bank yang benar-benar strategis. Ketiga, akuisisi terukur dengan kompensasi wajar, tujuan jelas, serta peta jalan keluar yang mengikat.
Menggunakan analogi bendungan, Achmad menggambarkan krisis sebagai banjir besar dan rekapitalisasi perbankan sebagai bendungan darurat yang menyelamatkan kota. Setelah air surut, aliran sungai kembali normal, tetapi distribusi air tidak adil.
“Menambah pintu air atau kanal publik bukanlah merusak sungai, melainkan tata kelola modern,” katanya.
Begitu pula dengan sektor perbankan, penataan ulang bukan berarti menutup pasar, melainkan mengelola arus nilai agar manfaat stabilitas yang dulu dibiayai rakyat kembali mengalir ke publik.
Polemik BLBI–BCA akhirnya menegaskan satu hal: bukan soal benar atau salah dalam sejarah akuisisi, melainkan negara tak pernah memberi konfirmasi lugas dan tuntas, guna memastikan bahwa polemik tersebut tak menjadi bahan daur ulang politik.
Pada akhirnya, publik menunggu langkah tegas pemerintah membuka seluruh tabir masa lalu secara transparan, dan membuat solusi yang adil dan profesional. Atau seperti yang sudah-sudah, membiarkan kisah lama ini mengendap dan menyandera BCA.
Yang pasti, saham berkode BBCA sudah drop 6,2%, dari Rp8.925 pada 13 Agustus ketika isu BLBI pertama muncul, menjadi Rp8.375 kemarin (25/8/2025). Mereka yang ingin beli saham BBCA di pasar pada harga murah, tentu tersenyum riang. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStance.