Oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), akademisi yang mengawali karir di Institut Bisnis Indonesia (IBII), peraih gelar Magister Ekonomi Bisnis dari Erasmus University Rotterdam dan gelar profesional di bidang akuntansi manajemen dari Institute of Certified Management Accountants.

Tulisan ini sebagai jawaban atas imbauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar Prof. Mahfud MD (baca: masyarakat) melaporkan dugaan korupsi kereta cepat Jakarta-Bandung.

Oleh karena itu, tulisan ini juga sekaligus berfungsi sebagai Pengaduan Masyarakat (Dumas) secara terbuka atas dugaan korupsi Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung kepada KPK.

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sepanjang 142,3 kilometer (km) sejak awal sudah penuh masalah dan sarat korupsi.

Sungguh aneh kalau KPK masih mempertanyakan hal ini, bahkan menghimbau masyarakat melaporkan dugaan korupsi yang sudah terbentang jelas di depan mata. Hal ini mencerminkan komisioner KPK saat ini tidak kompeten.

Dugaan korupsi Proyek KCJB dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, indikasi markup. Biaya Proyek KCJB sangat ketinggian. Awalnya, pihak China menawarkan US$5,5 miliar, yang kemudian naik menjadi US$6,02 miliar, atau setara US$41,96 juta per km.

Nilai ini jauh lebih tinggi dari proyek sejenis di China, yang hanya menelan biaya US$17-30 juta per km. Sebagai contoh, kereta cepat Shanghai–Hangzhou sepanjang 154 km, dengan batas kecepatan 350 km/jam, hanya menelan biaya US$22,93 juta/km.

Artinya, biaya Proyek KCJB lebih mahal sekitar US$19 juta/km dibandingkan Proyek Shanghai-Hangzhou, atau kemahalan sekitar US$2,7 miliar. Patut diduga, nilai Proyek KCJB yang sangat tinggi tersebut karena penggelembungan, alias markup.

Markup ini sangat kasar dan sangat serakahnomics. Karena, data investasi Proyek Kereta Cepat di dunia sangat transparan dan dapat diketahui oleh siapapun dengan mudah.

Partisipasi Jepang Diduga Jadi Alasan Markup

KCIC

Dugaan markup sangat kuat, karena proses evaluasi proyek sangat tidak profesional dan cenderung berpihak kepada pihak tertentu, sehingga terindikasi melanggar proses pengadaan barang publik.

Keikutsertaan Jepang dalam pengadaan KCJB nampaknya hanya untuk "pendamping" saja, untuk memenuhi prasyarat proses tender, dan nampaknya untuk mengatrol (baca: markup) harga Kereta Cepat China agar bisa mendekati penawaran Jepang.

Tidak heran, penawaran China yang awalnya US$5,5 miliar lalu naik menjadi US$6,02 miliar, mendekati harga penawaran Jepang US$6,2 miliar.

Penawaran Jepang kemudian digugurkan dengan alasan pihak Jepang minta jaminan APBN, sedangkan China tak minta jaminan APBN karena mengikuti skema business-to-business, yang sekarang ternyata terbukti bohong besar: utang proyek Kereta Cepat China minta disuntik dana APBN.

Kedua, komponen bunga pinjaman. Baik Jepang maupun China menawarkan skema pembiayaan utang sebesar 75% dari nilai proyek, dengan tenor 50 tahun dan masa tenggang (grace period) 10 tahun.

Selama 10 tahun pertama, pemerintah hanya membayar bunga pinjaman saja. Jepang menawarkan bunga 0,1% per tahun, sedangkan China menawarkan bunga 2% per tahun, atau 20 kali lipat lebih tinggi dari bunga Jepang.

Dengan nilai proyek US$6 miliar dan pembiayaan utang US$4,5 miliar (75%), bunga pinjaman proyek Jepang hanya US$4,5 juta/tahun (atau sekitar Rp73,35 miliar pada kurs Rp16.300/USD).

Di sisi lain, bunga pinjaman proyek China US$90 juta per tahun, atau 20 kali lipat lebih tinggi, atau sekitar Rp1,47 triliun. Dalam 10 tahun grace period, bunga pinjaman proyek Jepang hanya US$45 juta, sedangkan proyek China mencapai US$900 juta.

Pengabaian Komponen Biaya Proyek Adalah Pidana

WhooshKalau beban bunga pinjaman ini masuk faktor biaya dalam evaluasi finansial proyek, maka penawaran China akan lebih mahal dari penawaran Jepang: US$6,92 miliar (China) vs US$6,25 miliar (Jepang).

Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan ada manipulasi dalam evaluasi pemilihan proyek untuk memenangkan penawaran dari China.

Kesengajaan mengabaikan komponen biaya bunga dalam pembiayaan proyek termasuk pelanggaran serius terhadap proses evaluasi proyek publik, dan termasuk tindak pidana.

Karena, bunga merupakan salah satu komponen biaya yang sangat penting untuk menentukan kelayakan finansial proyek: penentu mati-hidup proyek.

Tidak heran, dengan tingkat bunga pinjaman China yang begitu besar, Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) saat ini megap-megap tidak mampu membayar bunga pinjaman tersebut, dan masuk kategori default: gagal bayar bunga.

Ketiga, pembengkakan biaya (cost overrun). Lebih parah lagi, biaya proyek membengkak US$1,2 miliar, sehingga total nilai proyek menjadi US$7,22 miliar atau sekitar US$50,5 juta/km. Pembengkakan biaya sekitar 20% ini jelas tidak normal.

Dalam proyek infrastruktur, pengerjaan proyek seharusnya bersifat turnkey (fixed price). Artinya, cost overrun wajib ditanggung oleh kontraktor proyek, yaitu pihak China. Tetapi, anehnya kenapa harus dibebankan kepada proyek? Ada apa?

Baca Juga: Jalur Berliku Sang Naga Baja: Kereta Cepat

Yang lebih parah, 75% pembiayaan utang dari cost overrun tersebut, atau sekitar US$900 juta dikenakan bunga pinjaman sebesar 3,4% per tahun, atau 34 kali lipat dari bunga yang ditawarkan Jepang.

Sehingga, total bunga pinjaman Proyek Kereta Cepat saat ini mencapai US$120,6 juta, atau sekitar Rp1,97 triliun/tahun (kurs Rp16.300 per dolar AS). Bayangkan, penawaran bunga pinjaman dari Jepang hanya sekitar Rp75 miliar saja.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka KPK harus segera menyelidiki dugaan markup dan korupsi Proyek KCJB ini. KPK jangan berkelit lagi. Rakyat mengawasi.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.